Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Jumat, 15 Januari 2010
0 comments
Oleh Ardi Mulyana H.
Angin darat meniup rantai kekar sang sauh
Sebuah armada panji ular merah-putih
Terpaan air ketika malamku tak lagi melaut
Siapa aku?
Apakah aku sang destroyer berpangkat laksamana?
Atau, hanya kelasi ber-strip satu?
Ah, bercanda saja,
Aku-lah khayal dalam mimpi
Tapi!
Aku tahu dalamnya atlantik
Tapi, mengapa aku tak tahu dangkalnya hatimu
Hanya tersiram air asinkah kou berlayar
Dengan sejuta malam gelombang melaut
Armada menapak sancang prabu kiansantang
Menggentar selendang sutra maya
Termangu saja-lah aku sepi serindu laksa bunga kembang tak jadi
Tak mengapalah aku mega mendung ber-laut timur memesonai alam
Ber-hujan hutan tropis perawan borneo
Me-rasamala men-jati diri dalam rimba layar hindia
Tapi, aku gembira
Cintaku, ada di dermaga Nusantara
Merak, September 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Rumahku yang penuh pesona
gilang gemilang gemerlap lantai
kusapu sebuah debu sambil berlalu
tak kukira gagang sapu patah hilang membisu
sang debu belum beranjak dari takhtanya
lantai sendu berirama merindu
rindu bersihnya dari debu
andai debu pergi
lantaiku kembali berseri
dan rumahku mewangi sendiri
aku ber-ujar
inilah sajak si lantai
Garut, September 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Aku ini seorang pemahat
jika kupahat sebongkah batu yang ter-onggok di depanku untuk dinda
kan kuukir dengan jari manis milikku
kugoreskan sewindu laksa kerinduan dan gundahnya jiwaku
sebongkah batu itu kan jadi prasasti
kan kubawa dan kusimpan rapi di dalam hatimu
sebagai tanda aku pernah meraja-i kehidupanmu
dinda kecil, janganlah berduka lara
aku ini hanya seorang pemahat batu
memahat, lalu pulang dan pergi
bacalah prasasti yang kupahat
isinya me-legenda cinta Arjuna Sasrabahu
walaupun, aku tak lagi nyata untukmu
tapi prasasti cintaku kekal abadi bersemayam di dalam hatimu
Garut, September 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Bulat berputar engkau melaju
jari-jarimu kekar mengurat kawat gatot-kaca
aduhai sedapnya kou menjerit ketika karetmu menyentuh aspal
menerobos lorong-lorong kota
basement parkir kelas dunia acapkali kou menelan ludah
dan hening malam selimut mesramu
secuil nasi terselip di gigimu
berteriak-teriak memanggil kawannya
untuk sekedar masuk ke perut
menonton musik keroncongan
Garut, September 2009
Otobiografi: Aku Kala Gemuruh dalam Jiwaku
Oleh Ardi Mulyana H.
Perasaan ini berkecamuk, entahlah aku tidak pernah tahu. Aku ini gelap dalam siang. Aku ini hitam dalam putih. Ribuan kertas merayu bersama semilir angin dengan nafasnya yang agak terengah-engah itu datang tanpa aku sadari. Aku menoleh ke kanan kulihat sinar surya tertidur lelap. Kembali kutoleh ke kiri, kulihat cahaya rembulan sepi merindu seraut paras yang pernah tertulis di hatiku. Samar gelap mega mendung terburai oleh raga cakra gemulai jiwaku. Kulangkahkan kaki ini sudah 48 sekian rembulan mesra membalut meluruskan tingkah laku-ku. Dan aku tidak menyadari, beban berat kupikul sebagai anak bangsa. Kelak sekarang dan nanti. Tanda baca itu harus kupertanggungjawabkan. Demi engkau anak-anakku segores tinta dari madukara kulukis anggun di otakmu. Walau aku tidak pantas untuk kou gugu dan tiru. Kian asa melagu mengiang dalam gurat rindu dia menyambang. Tampak malu-malu hampiriku. Di kampus itu aku digodog dengan selaksa derajat panas bara api. Apakah dia yang kucari? Antara tanda baca, aku, paras itu, anak-anakku kian-kah nyata? Segenap raga beku kian mencair dalam aliran kanal-kanal telaga sewindu mawar bersolek desa. Lazuardi tampak kekar dengan kebiru-biruannya. Camar kecil diam terpaku mewarna cakrawala horizon Nusantaraku. Aku ini cuma abstrak yang lalu terus berlalu. Merah lambang kartu as itu mulai hinggap kembali di jantungku. Kala kupercik air putih berwarna zamrud dalam relung-relung akar cintamu terasa indah main-main di kulitku. Aku gundah jiwa, gundah rasa, gundah segala hingga aku bermain-main dengan sedikit sastra-ku. Ini sekedar meluapnya darah dari nadi sesekali pandai menari-nari dengan kata-kata. Tidak ada tanah yang keras tersiram air mata alam Nusantara-ku. Aku cinta Nusantara-ku, anak-anak-ku, paras mawar kelurahan tempat aku tinggal. Tanda baca itu kian semarak meledak dalam rongga paru-paruku. Ah, aku tahu tidak sempurnanya catatan syarat tanda baca itu. Catatan itu kurebus dengai air deskriptif kualitatif. Kuaduk dengan studi pustaka, pengamatan, dan parafrase, interpretasi, analisis data. Catatan itu kian rapi kala besok 10 Oktober aku pertanggungjawabkan. Aku rindu ruang jurusan yang sekali (pun) naik tangga. Di ruang itu, meja ketua, sekertaris, dan satu meja komputer kian terkenang. Apalagi itu, sebuah rak kaca berisi kertas-kertas pengetahuan. Aku ingin, kelak namaku tercatat sebagai riwayat hidup penulis dalam bungkus sampul ilmu pengetahuan. Ruang jurusan itu aku meninggalkan jejak baik-burukku. Letak ruang itu terfotokopi dalam tinta-tinda pengabdian maha-guru-ku. Terima kasih kampus-ku, kelak kan kuharumkan namamu dengan uraian-uraian air mata ini hingga aku mampu berteori. Rasanya seribu triliun melanda ria gegap gempita dalam alunan simfoni-simponi buku-buku cabang kebahasaan. Aku anggap ini sejarah awal perjalananku. Dariku untukmu Nusantaraku dan cinta-ku. Tunggu aku cita-citaku. Dan alam (pun) tersenyum melihatku.
[dipetik dari gundah segala jiwaku]
Garut, 09-10-2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Sepi meraut angin malam melukis garis indah gelombang parasmu
menjulai meriak waktu rambutmu menutupi terangnya parasmu
yang menggergaji asaku adalah parasmu
yang melukis c berakhir a adalah parasmu
yang menarik simpul mesraku adalah parasmu
dalam teras rumahmu ada parasmu
yang kemarin aku tatap adalah parasmu
kata-kata di ruang tamu itu adalah parasmu
aku rindu akan parasmu
aku jatuh adalah parasmu
sejuta pesona adalah parasmu
sepasang delima merekah cantik ada parasmu
senyum mendayu itu parasmu
seindah mutiara terpancar dari parasmu
aku sejati untuk parasmu
rasa batuk-batuk mencuat dari parasmu
dimana parasmu
disini aku parasmu
aku rindu malam kemarin melihat parasmu
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Asap mulai mengepul dari jajaran mesin-mesin pemikir
sebatang pena dan potlot teman setiamu
dikau anak-anakku
walau daku bukan darah dagingmu
tapi daku denyut nadimu
sehelai kemeja dan tas kain yang tak sempat daku cuci
merekalah tameng dari teriknya zaman
terkadang, anak-anakku sering membuatku kesal
namun kalianlah calon-calon pelita bangsa
hanya beberapa potong ilmu yang sanggup daku berikan
daku begini dan tetap begini bertanggung jawab demi masa depan bangsa
anak-anakku, dalam bukumu daku wariskan jejeran angka-angka hasil belajarmu
walaupun tak cukup untuk bekalmu
kelak, goresan-goresanku itu kan tertanam dalam relung-relung jiwamu
ingatlah, di papan tulis daku pernah menulis
tulisan-tulisan untuk bekal hidupmu
tiap pagi, daku duduk dihadapan kalian semua
berteman secangkir teh khas bertema penghormatan kalian
kusebut nama kalian satu demi satu
tak lama, kapur daku tarikan di papan tulis yang tak lagi muda
anak-anakku, jikalau daku sudah renta
izinkanlah pengabdianku menjadi keberhasilanmu wahai anak-anakku
biar dunia tahu
Indonesia jaya selalu berkatmu wahai calon pelita bangsa
muridku
rindukan daku.
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Rebah gemulai rambutmu berlarian diterpa malam
roda waktu berteriak tak sabar melihat alur alismu
senyum menyepi dalam kaca ruang tamu-mu
aku laksana hujan badai dalam senyum manis-mu
entah kapan dapat daku kecup merah delima dalam anggun-mu
sehati berteriak
daku kenang simpul tawa-mu
malam itu,
malam elok satu warna
hitam legam gelap gundah gulana
namun terang cahaya di ruang tamu-mu
daku tersenyum dikau tersenyum
daku sakit dikau sakit
daku cinta dikau cinta
daku malam dikau malam
jarum jam waktu itu menunjuk larut
dikau tahan agar daku tak segera pulang
daku jatuh dalam peluk cintamu
dalam segitiga malam bertabur bintang
dikau, tunggu daku dalam tanggal penuh bahagia.
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Malam kemarin daku terbaring lemah
Tanpamu,
10 jam daku merana menggergaji waktu
Pernah dikau mewarnai wajahmu oleh hadirku
Betapa senyap bibir tipismu akhir-akhir ini
Gejolah daku bertalu dalam upacara perhelatan asmara kecilku
Dinda, tahukah dikau, daku sendiri rindu membiru
Daku ini terbang, tapi tak terbang
Terikat rantai wajahmu
Dinda, kutuang segelas wedang jahe untuk menghangatkan tubuhku
Namun, tubuhku tlah hangat oleh kasihmu
Dinda, daku izinka dikau mengoyak tali jiwaku
Dinda, izinkan daku mengoyak keangkuhan rasa bencimu, padaku.
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Duduk sendiri dalam ruang sempit tempatku berteduh
Sesekali kulihat di luar riak-riak hujan kecil saling berlarian
Seringkali asa kilau menyilau mata gundah gilang-gemilang
Tertunduklah aku merayu mengerling indah lirikanmu
Aku bersandar pada tembok yang tak lagi kokoh
Dalam tatapan semu, aku melihat gaun putih tipis menyelimuti ragamu
Berdosakah aku, jika aku menyelami moleknya tubuhmu
Aku melihat, riak itu bercumbu saling melempar bisu
Berderailah aku menelan jemariku yang tak sempat aku gigit
Wahai, dara-dara, hiasilah ragamu itu dengan layar agar tertutup suci
Agar aku tidaklah menjadi bejat
Agar aku bisa mendayung dalam parit kehormatanmu dengan sah
Jika sampai pada akhirnya, gaun itu tersibak tertiup angin selatan
Aku akan membiru dan membeku di kutub utara
Biar aku menjadi hujan untuk menjaga kehormatanmu
Izinkan aku menjadi terbaik untukmu
Wahai, dara-dara, hiasi mahkotamu dengan untaian selendang sutra maya
Sewindu laksa kan aku tabur mawar merah dalam taman hatimu
Pekik, hujan berdecak kagum andai mereka mengisi
Parit-parit kehormatanmu
Dan aku anggun sendiri melihat hujan itu melegenda
Serta membeku, perlahan-lahan engkau memelukku
Ketika itu, kutub utara
Membekukan abadi namaku dalam lemari hatimu
Wahai dara-ku, sambutlah andai aku hujan mengaliri parit kehormatanmu
Garut, 17 November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Tak ada dusta andai dinda tak ada
Biarkan sewindu kala memercik merajut pesona
Jikalau riuh angin menolakmu,
Tapi tidak bagiku
Aku senyum wahai semampai
Aku gontai elokmu bohai
Aku angin engkau badai
Aku kuat engkau lunglai
Gadis aku sipu melulu
Melihat aku menghapus sembilu
Jadi aku mengais qolbu
Malam warna dalam hidupmu
Jangan pergi melewat slalu
Jangan semlohai kalau tak aku
Nanda jiwa menyifat alam
Menyirat mulus itu parasmu
Lentik menyapu,
Aku merayu ini sastraku
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Sudut itu menghitam kelam kala lembayung ditelan senja
Jemarinya melukis malam menghantar surya kian tenggelam
Pagar gaya hijau daun bergaya dalam takhta gulita
Pucuk randu kapuk rindu menggolak di tengku asmara
Masa aku gadis manis pemikat pilu
Menebang randu di sudut alam rindu
Seloka raya mangkuk cinta sewindu
Semesta maya nan nyata tlah berlalu
Randu itu merindu bernyanyi tiap waktu
Dalam jajar sudut pagar jiwaku
Randu tumbang digergaji rasa selingkuh
Buruk rindu mengubah alam menjadi sendu
Di jawadwipa daku merayu lewat alun kata pujangga alam tidurku
Bersalin raga merupa jiwa
Dikau pergi aku sepi
Andai halaman tinggal tunggul
Tanggal tanggul jebol daku muncul
Raja tega gergaji teman
Teman sebaya aku tlah tumbang
Dikau gadis senyum berdua
Dalam aku kala gelap gulita
Meraut waktu mengitung jaman
Dikau pergi daku sendiri
Biar sepi daku menari
Menari jari merangkai puisi
Biar sepi daku berlari
Lihai hati menggemgam hari
O gadis yang tlah pergi
Tinggal tunggul tanggal ini
Terima kasih buat hati
Daku pujangga di malam ini
Jerit cinta meledak rasa
Buai mesra pelukmu dulu
Rasa randu tinggal rindu
Malam sendu makin berlalu
O gadis maya alamku dulu
Dendangkan kapuk rindu dalam bantalmu
Gelora daku dalam qolbu
Rindu daku akan dirimu
Sepi menjulai daku mawas diri
Melihat dikau kian bahagia
Daku sendiri larut berlalu
Menulis puisi untuk gadisku
Laksa jiwa penuh rasa
Daku penari tanpa hari
Berlalu waktu berlalu
Menulis puisi mengusir sendu
Garut, November 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Andai aku ditakdirkan, menjadi maestro
Aku kan mengkhayal mewarnai putihmu
Kan ku gores tinta madukara dengan kuas sang legenda
Amploi, jelang riang menyambut jalang
Aku lukis dikau tak habis-habis
Sayang, aduhai pribumi
Aku lelah kuasku patah
Parasmu pilu dalam sketsa tanpa arah
Maaf, daku mengucur terus
Sayang, aku tak jadi terurus
Tapi, aku gores kembali
Tuk mlukis rembulan dalam parasmu
Daku tahu ini semu
Daku tahu piluku biru
Namu, jika aku sendu
Jangan rusak rembulan dalam parasmu
Garut, Desember 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Tebasan katamu menyilau malam itu
Angin malam merintih dan berdarah
Daun ranting saling berpegangan tangan
Pelangi larut dan menangis
Purnama kala kehausan cinta
Pun malu-malu dimabuk kepayang jantung hatimu
Semesta najam bertaburan di keningmu
Laksana mutumanikam nusahati; nusawiru; nusanusa; palung jiwa ini
Sekoi, jangan menangis kasih
Sayang aduhai membiru di taman seloka
Parasmu berkejaran satu sama lain dengan crysanthenum di taman hijau
Menggembala di sela pembabakan cinta dua belas purnama
Oksigen dalam matamu mendidih duhai kasih
Selaksa caci aku terima
Engkou kasih, bukan parasmu yang aku cinta sekoi
Tapi aku cinta kaligrafi namaku di hatimu
Jerit lazuardi semakin melengking saja kasih,
Melagu balada cinta aku paduka sri maharaja
Seroja pun ikut bernyanyi dalam pupuh dewi asmarandana
Sontak gemulai nyiur menari untukmu
Jikalau sawit tak lagi berminyak
Izinkan aku memetik caci maki untukku
Aduhai, semlohai aku ini kasih
Meluruh caci menjadi cinta
Sewindu kala rasanya
Hati ini membatu dan mengeras
Dikalung putusnya rantai cinta darimu, sekoi
Hahai, kerling matamu menyesal rupanya
Tak usah kou harap aku, sekoi
Pengabaian itu mendidik aku dengan guru sang pujangga malam
Sekoi, jangan menangis
Terlalu sayang jika menangisiku sekoi,
Aku bersedih dalam gembiramu
Yang aku sebut, engkau sekoi
Yang aku peluk, engkau sekoi
Yang berkhianat, engkau sekoi
Yang sesal, engkau sekoi
Jangan merinduku lagi andai kelam malam tak lagi gelap
Beradu rasa bergulat rindu
Jangan kesumat, sekoi
Ini aku, pelangi di malam itu, kekasihku, dan engkau pula sekoi
Sekalah sungai di parasmu
Aku tersenyum dalam bima sakti
Dan bercerita,
Dahulu, ini kita berdua sekoi, kini tiada lagi.
Wanaraja, Desember 2009
Catatan:
Sekoi adalah nama pengganti ... merpati hatiku, yang kini meninggalkan sejuta rindu dalam dada ini.
Oleh Ardi Mulyana H.
Menari di depan mataku
Elok permai debur sang malam
Cucuran rasa rindu kian menipis
Merayu semesta waktu
Hening, jangan merayuku wahai jiwa-jiwa yang terlupakan
Dunia hijau terpancar di tengah malam ini
Menimpa, menghujam jiwa abadi nan membeku
Jikalau sesuatu terbang dan berkumandang
Tentu itu kumandang peperangan tempo dulu
Rasa ini berkelahi tak pernah berhenti
Tanpa malu walau di keramaian sang waktu
Usaha raya menggempur sisian dinding hati
Berkata makna tanpa arti
Hee, wahai jiwa-jiwa mati
Bersatu padu membentuk pusara
Beringin muda terlihat membisu
Menatap aku elok di malam ini
Sesekali parasmu kerap menelanjangi mata ini
Menutup hati dan kokohnya tameng alam sunyi
Dan aku tak lebih peduli duhai jiwa-jiwa yang tlah mati
Tertawalah, tertawalah sepuas hati
Tunggulah, tunggulah aku kan datang
Dalam waktu yang takkan terbatas
Ingatlah, cahaya rindu niscaya menghantui
Pun juwita malam akan menghampiri
Setengah jiwamu dan setengah jiwaku
Di malam sunyi ini
Pangandaran, Desember 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Berlayar dari ufuk timur
Sauh bersahutan menentang gelombang lazuardi
Cahaya-Mu menyelimuti tahun ini
Menyeka kelam perhelatan ketidakadilan
Jika ridho-Mu mengiringi kami
Aturlah kebodohan kami dengan izin-Mu
Pun mata kami tak kuasa melihat cahaya-Mu
Hingga air mata mengalir dalam alam ujian-Mu
Ya Alloh, tolong kami
Ya Alloh, lindungi kami
Ya Alloh, luruskan kami
Ya Alloh, ridhoi kami
Di tahun baru hijriyah ini
Catatan:
Doa kami di tahun baru Islam ini.
Wanaraja, Desember 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Ada raga yang menghitung sepi
Tiap kala tiap alkisah dalam catatan hariannya
Waktu bersalin saat
Nafas menghela kian tak pernah kan terhitung
Hanya kerlip cahaya suci-Mu kian menerang hati yang berkabut
Syahdan, alam pun tak kuasa tanpa-Nya
Malam-malam semakin tenggelam
Gelap di gelap aku bersimpuh pada-Mu
Wanaraja, Desember 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Muda belia paras senja sore
memanis hari yang tak lagi pagi
begitu pula dengan hati-hati yang mati
terkubur kelam dalam tanah merah
memantau kekacauan polah sandiwara hidup
mewujud tirani dalam jendela kebebasan
aduhan menggurita cerita lara tanpa cinta
se-zaman ini (m.s.y.t.t-a.m.h)
Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Sabtu, 09 Januari 2010
0 comments
Oleh Ardi Mulyana Haryadi
Detik itu tak karuan berdetak
Perlahan berjalan menyusuri tepian pantai
Ombak kecil begandengan tangan memecah karang-karang kemunafikan
Nusa di ujung hanya diam dan membisu saja
Sampan nelayan menari melawan ganasnya gelombang hidup
Pun mereka bagai riak kecil di tengah samudra
Menjala nilai perjuangan hati penuh makna
Di sini aku asoi sendiri
Memantau cakrawala dan samudra yang saling berciuman
Anak-anak berlarian kian kemari bersama birunya lautan negeri ini
Merangkai mutiara ekasenyum tunas bangsa
Aku hanyalah diam berteman sebatang rokok yang tak mau aku hisap
Aduhai asoi rasanya
Nyiur murung terpaku sedih
Dirinya sudah lama tak dibelai angin laut
Pun aku pula begitu
Tlah lama tak dibelai alam
Samudra lepas terbentang dari timur ke barat
Ikan-ikan kecil meloncat kegirangan laksana hati yang riang
Mata mentari kerap menyilau hamparan pasir putih
Mendorong kepiting kecil untuk bernyanyi
Aneh, hanya perasaan ini yang tak bergembira
Tambatan hati tak menemaniku tuk mlukis alam Nusantara ini
Camar-camar pun malu menampakan dirinya
Melihat aku murung sendiri
Yang aku layari adalah lautan
Yang aku selami adalah lautan
Yang aku lihat adalah lautan
Yang aku rindu adalah lautan
Pangandaran, Desember 2009
Oleh Ardi M. H.
Ibu tua memandangi anaknya bermain dengan sebatang pena
Air matanya tak kuasa melihat anak kedelapannya itu semangat melahap bangku sekolah
Ya Tuhan, moga seragam hari ini di esok hari akan berubah jadi seragam besi
Ya Tuhan, moga air mata ini kan mengalir membawanya ke terangnya masa depan
Ibu itu berpakaian lusuh
Compang-camping tak karuan
Hari ini, bisa makan entahlah di esok hari
Hari ini, bisa sekolah entahlah di esok hari
Wanaraja, Desember 2009
Oleh Ardi Mulyana Haryadi
Pagi menyusun embun dalam daun yang tak bertangkai
suasana bersahabat kian menjauh berubah menjadi benih-benih pertempuran
jika jiwaku menyepi batuk-batuk dalam udara pagi merona
sampai siang jelang hilang menghilang melayang tanpa kalang gemilang
kata-kata itu sering menggergaji pohon jiwaku
terkadang daun-daun itu berguguran tanpa aku sadari
merasa asa rasa terasa berasa mesra
pulang pergi sekan sekian serta merta
dalam cahaya remang daun itu berubah mengering tanpa sebab
embun-embun itu menjauh bagai magnet dua kutub berlawanan
jika alam tahu galaunya rasa ini
titip kasih sayang penggundah jiwa
serang terjang karang aral malang melintang
senyum sipu luluh lantak karang itu
sendu rindu menyapu qalbu
diriku menyeruak menyeka air mata tanpa kou pinta
Garut, 28 Oktober 2009
Oleh Ardi Mulyana Haryadi
Berdiri aku di ujung jalan
Bersama kunang-kunang berlarian sejauh jalan terbentang
Langit malam merayu menggenggam tangan ini
Membawa aku terbang dan menghilang
Muda-mudi bersatu kian kemari tanpa mengenal waktu
Aku sendiri berteman batang-batang tembakau yang tak terhitung lagi
Kuhisap, perlahan menusuk jantung
Ah, mataku sudah lelah rupanya
Namun, jiwa ini berontak dan aku pun merayu sang pena
Walau malam semakin larut saja
Dari kejauhan, aku dengar debur ombak berkelahi dengan tiga perempat malam
Amboi, indah nian aku memacari malam ini
Sejuta rasa kian terlukis di malam ini
Sebuah rindu, sebuah nikmat, sebuah rasa
Ah, tak ada duanya
Malam ini di tepi jalan dekat pantai, milikku seorang
Angin laut menggelitik telinga ini seraya berbisik
Di mana tambatan hatimu pemuda?
Entahlah duhai angin
Aku sendiri selarut ini
Hanya purnama cahya yang membelaiku seorang diri
Pun nyiur terdengar memanggil namaku
Aku pun menangis pilu dan berlayar ke tengah samudra
Hilang petang dihalang karang gelombang
Malam, malam suka penuh luka
Aku berkibar tanpa hembusan angin
Badai meriak menyapa hanyut diriku ini serta berkata
Kemarilah pemuda, aku mencintaimu
Pangandaran, Desember 2009