Si Melankolis dan sebuah Prosa (sebuah prosa)


Ardi Mulyana Haryadi

aku telah menjadi durjana
menghalangi rindu makhluk Tuhanku
...
sunyi
...
dan menjadi senyap

ketika dua hati mulai bercerai dari peraduannya
aku hanya menyaksikan dari kedua matanya mengalir sebuah air surga
aku hanya menyebutnya, permainan bawah sadar


...
sunyi
aku tak bisa menyembunyikan 

Reviu Jurnal Sintaksis

Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa Indonesia. Oleh Tri Mastoyo Jati Kesuma. Universitas Gadjah Mada. Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 69-75
Direview oleh Ardi Mulyana Haryadi, Universitas Pendidikan Indonesia

1.      Pendahuluan

Syntax is the study of the principles and processes by wich sentences are constructed in particular languages” (Chomsky, 1957: 1). Sebuah konstruksi kalimat minimal diisi oleh dua fungsi sintaksis yaitu subjek (S) dan predikat (P). Namun demikian, “Secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), dan Keterangan (K)” (Chaer, 2003: 207). Fungsi-fungsi sintaksis tersebut sejatinya tidak melulu muncul secara bersamaan. Dan yang paling penting ialah hadirnya dua fungsi utama sintaksis, subjek (S) dan predikat (P) seperti pada contoh kalimat, “Dia berdiskusi.” Konstruksi tersebut boleh dibilang kalimat karena “dia” sebagai subjek dan “berdiskusi” sebagai predikat. Akan tetapi jika pada kalimat, “Dia berdiskusi tentang linguistik di kelas.” Jadi kalimat tersebut terbilang lengkap fungsi sintaksisnya, “dia” sebagai subjek, “berdiskusi” sebagai predikat, “(tentang) linguistik” sebagai objek, dan “di kelas” sebagai keterangan (tempat). Tidak semua fungsi sintaksis mesti hadir dalam sebuah konstruksi kalimat dan sebenarnya juga tidak ada salah satu fungsi yang mempunyai “hak khusus”. Verhaar (1990: 81) berkata, “Lazimnya subjek serta predikat dianggap merupakan fungsi inti (nuclear functions), dan semua fungsi lainnya merupakan fungsi luar inti atau fungsi sampingan (extranuclear functions).” Akan tetapi Chafe (1970; via Chaer, 2003: 209) mengatakan, “Bahwa yang paling penting dalam struktur sintaksis adalah fungsi predikat.” Dan indikator untuk menentukan itu sebuah kalimat atau bukan Ramlan (2001: 21) berpendapat, “Sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat bukannya banyak kata yang menjadi unsurnya, melainkan intonasinya.” Semua kalimat dalam tata bahasanya sendiri mestilah mempunyai derajat kegramatikalan atau the grammatical sequences. Dalam hal ini menarik untuk mengutip pendapat dari Chomsky (1957: 2):
      The fundamental aim in the linguistic analysis of a language L is to separate the grammatical sequences wich are the sentences of L from the ungrammatical sequences wich are not sentences of L and to study the structure of the grammatical sequences. The grammar of L will thus be a device that generates all of the grammatical sequences of L and none of the ungrammatical ones.
Dengan demikian analisis linguistik bisa mengetahui mana yang gramatikal maupun yang tak gramatikal berdasarkan rangkaian kata (atau frase) dalam suatu bahasa. Karena penutur suatu bahasa mempunyai tata bahasa nurani (innetenesess) yang terintegrasi dalam kompetensi berbahasanya. Dalam tinjauan Chomsky, generatif transformasi, struktur permukaan (performansi) merupakan refleksi suatu tata bahasa. Dan untuk merepresentasikannya diperlukan pengetahuan akan bahasanya (kompetensi) yang kemudian diwujudkan kepada struktur luar.

2.      Isi Jurnal

Dalam jurnal “Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa Indonesia” ini mengedepankan masalah verba transitif yang fungsi objek sebagai pendamping predikat dapat lesap. Kridalaksana (1993: 226) mengatakan, ”Verba merupakan kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat.” Sedangkan Verhaar (1990: 95) berpandangan, “Dalam banyak bahasa kata kerja itu dibedakan atas yang transitif dan intansitif ...” Verba disebutkan memiliki peran sentral dalam sebuah konstruksi kalimat. “Sentral yang dimaksudkan dalam arti verbalah yang pertama-tama menentukan adanya berbagai struktur konstruksi dalam bahasa yang bersangkutan beserta perubahannya” (Sudaryanto, 1983: 6; via Kesuma, 2010). Jadi, mesti dibedakan dulu antara verba transitif dan verba intransitif. Badudu (2001: 104) mendefinisikan kata kerja (verba) transitif ialah, “Kata kerja yang membutuhkan objek, dengan kata lain objek merupakan pelengkap kata kerja tersebut.” Kalimatnya dapat dicontohkan, “Andi menangisi kakinya”, “Ayah menggergaji kayu”, dsb. Dan verba intransitif ialah, “Verba yang menghindarkan objek” (Kridalaksana, 1993: 227). Verba intransitif dapat dilihat seperti pada kalimat, “Saya membaca”, “Mereka guru”, “Tidur itu menyehatkan”, “Padi menghijau”, “Kapal tenggelam”, “Ayahnya petani”, “Tubuhnya kedinginan”, “Dia kehujanan”, “Masakanmu memuaskan.” Verba transitif dibedakan menjadi dua kategori, yaitu verba monotransitif dan dwitransitif. “Verba monotransitif adalah verba yang diikuti oleh satu objek” dan “verba dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai pelengkap” (Alwi, dkk, 2003: 91).
Namun ada baiknya melihat tinjauan tagmemiknya Kenneth L. Pike,
Tipe Klausa               Pernyataan                Pertanyaan                Perintah
                                    S – i CI                        Q – i CI                       C – i CI
Intransitif                    John went                    Did John go?               Go, John!
\                                   S – t CI                       Q – t CI                       C – t CI
Transitif                       John ate it                    Did John eat it?           Eat it, John!
                                    S – eq CI                     Q – eq CI                    C – eq CI
Ekusional                    John is good                Is John good?              Be good, John!
                                                                                                            (Tarigan, 1989: 61-62)
Untuk mempertajam pemahaman maka perlulah kiranya permasalahan konstruksi sintaksis transitif dan intransitif ini ditinjau pula dari tinjauan generative transformation. Di bawah ini akan diuraikan dengan contoh kalimatnya.
(i)         Sentence à NP + VP
(ii)        NP à (T) + N
(iii)       VP à Verb + NP
            ....                               
                                                                                                            (Chomsky, 1957: 26)

(1) Polisi menembak                            (2) Ditembak polisi
à FN + FV                                     ∑ à FV + FN
Analisis struktur kalimat (1) FN         me       +          v          -           ()
                                                1          2                      3                      4
Transformasi
Analisis struktur kalimat (2)    di         v          +          FN       -           ()
                                                1          2                      3                      4

Dalam katagori kalimat di atas, lesapnya objek (O)  atau  zero object ()  terjadi karena orang pasti mengetahui makna maksud kalimat tersebut jika objeknya ada. Hal ini selaras dengan Badudu (2001: 105) yang mengatakan, “Kata-kata tersebut sudah merupakan ungkapan sehingga tanpa menyebutkan objeknya, orang telah mafhum bahwa itulah yang dimaksud.” Akan tetapi,”O biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu O langsung (OL) dan O tak langsung (OTL)” (lih. misalnya dalam Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:1-36; Kridalaksana dkk., 1985:152-153; Aarts, 1997:15-20; Kesuma, 2010). “OL adalah nomina atau frasa nominal yang melengkapi verba transitif yang dikenai oleh perbuatan dalam P verbal atau yang ditimbulkan sebagai hasil perbuatan yang terdapat dalam P verbal” (Kridalaksana, 2002:52). Seperti misalnya objek langsung afektif, “Saya membaca buku”, “Dia menulis cerpen”, “Ayah berkirim surat” Dan objek langsung efektif misalnya, “Mereka membuat robot”, “Nenek menyulam kain”, “Dosen menulis diktat”, “Ibu membuat kue.” Di samping objek langsung, objek tak langsung pun dapat diidentifikasi dalam sebuah konstruksi kalimat. “OTL adalah nomina adau frasa nominal yang menyertai verba transitif dan menjadi penerima atau diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat dalam P verbal” (Kridalaksana dkk., 1985:153; Kesuma, 2010). Contoh objek tak langsung seperti berikut, “Ayahnya membelikan ia sebuah mobil”, “Ibu membeli baju untuk saya”, “Dosen itu memberi kami nilai A.”

3.      Komentar

Secara keseluruhan, jurnal ini memaparkan mengenai konstruksi sintaksis yang secara umum tidak selalu muncul bersamaan dalam satu konstruksi. Seperti halnya pelesapan objek dalam kalimat intransitif yang tidak menghambat kegramatikalan sebuah kalimat. Namun, lesapnya objek tersebut maksudnya dapat diketahui oleh penutur suatu bahasanya karena mempunyai tata bahasa universal sebagaimana Chomsky utarakan. Chomsky berpandangan bahwa tugas utama teori linguistik ada tiga. Pertama, teori linguistik mesti mampu mendeskripsikan bahasa dengan kriteria eksternal. Kriteria eksternal itu menyangkut keberterimaan (gramatikal) sebuah konstruksi kalimat dalam suatu bahasa. Kedua, tata bahasa tersebut harus bisa mendeskripsikan suatu aturan yang dapat dipakai dalam bahasa tersebut. Ketiga, teori linguistik harus bisa memberi jawaban atas kaidah-kaidah suatu tata bahasa—mengapa harus berkaidah seperti itu. Akan tetapi, permasalahan transitif dan intransitif tidak hanya selesai sampai sini saja, penelitian lanjutan pun perlu dilakukan dalam bahasa-bahasa lainnya. Dan persoalan sintaksis tidak hanya berada dalam tataran fungsinya saja. Ada beberapa unsur pembangun konstruksi sintaksis yang lainnya seperti katagori sintaksis dan peran sintaksis. Namun demikian, permasalahan semantik pun patut diketengahkan. Seperti halnya suatu konstruksi kalimat memiliki derajat gramatikal namun secara semantis tidak berterima maka itu pun menjadi persoalan. Sedangkan pula hubungan pola sintaksis dengan pola pembentukan kata bisa juga menjadi bahan penelitian selanjutnya—morfosintaksis. Walau demikian, jurnal ini patut diapresiasi karena setidaknya telah memberi pemahaman baru mengenai fungsi sintaksis beserta penjelasannya yang komprehensif. Jika boleh menyebut, isi jurnal ini sangatlah bermanfaat bagi pengembangan dan pembinaan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia.

4.      Penutup

Sebuah kalimat dalam suatu bahasa mestilah mengikuti kaidah-kaidah dari tata bahasanya. Jika menyimpang dari kaidahnya itu maka dapat diketahui bahwa itu kegramatikannya dipertanyakan. Dengan demikian adanya aturan dalam sebuah tata bahasa dapat juga disebut dengan aturan linguistik. Suatu tata bahasa itu merupakan representasi dari sebuah kegramatikalan kalimat-kalimatnya. Dalam hal ini, seperti apa yang dibahas dalam jurnal ini, membahas aturan lesap atau tidaknya objek dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, lesapnya objek di sini bukanlah tanpa alasan. Lesapnya objek dalam hal ini diketahui karena masyarakat penutur bahasanya sudah mafhum dengan apa yang eksplisit dinyatakan dalam bentuk objek. Apabila suatu tata bahasa mampu menggambarkan kemampuan penutur bahasanya maka kalimat-kalimat yang dihasilkan pun mestilah mengikuti kaidah gramatikal.


Daftar Pustaka

Alwi, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Badudu, J. S. 2001. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV Nawaputra.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chomsky, Noam. 1957. Sintactic Structures. The Hague: Mouton

Kesuma, Tri Mastoyo Jati. “Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa Indonesia”  dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 69-75

Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

---------. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan. M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.

Silitonga, Mangasa. 1988. Pengantar Tata Bahasa Transformasi. Depdikbud

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Tata Bahasa Tagmemik. Bandung: Angkasa.

Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.








Mental Bangsa dan Pendidikan


Oleh Ardi Mulyana Haryadi

Sejatinya bangsa kita belumlah terbebas dari kungkungan imprealisme. Sejak abad 16 tahun 1596 perusahaan dagang Belanda VOC menginjakkan kakinya di tanah air tercinta ini. Suasana kolonialisme sudah terasa dan penjajahan berlangsung selama ratusan tahun. Sampai pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah itu nuansa Japanisasi pun dimulai dengan propagandanya, “Asia untuk bangsa Asia.” Hingga pada akhirnya bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Impreliaslisme fisik pun sudahlah usai melalui berbagai perjuangan para patriot bangsa. Yang ada sekarang adalah imprealisme mental. Di dalam realita yang ada, bangsa kita kerap kali dihadapkan pada beberapa isu-isu mengenai eksistensinya sebagai wadah yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia telah ditempa dalam kawah candradimuka sebagai negara jajahan bangsa asing. Memang semua itu telah berlalu dengan meninggalkan catatan historis yang panjang. Dahulu, hanya anak demang, wedana, dan anak-anak yang berdarah biru saja yang bisa merasakan bangku sekolah. Selebihnya hanyalah kumpulan anak-anak cacah kuricakan yang buta aksara. Alhasil, bangsa kita yang ketika itu dijajah semakin saja mudah untuk dibodohi oleh para penjajah. Akan tetapi, lahirlah beberapa tokoh dari berbagai golongan yang peduli pada pendidikan bangsa kita. Sebut saja di antaranya Bung Hatta, M. Yamin, dan Ki Hajar Dewantara. Beliau-beliau boleh dikata sebagai perintis kemajuan dalam dunia pendidikan. Pada waktu itu pendidikan masih dipandang sebagai barang langka.

Kontradiksi Pendidikan Zaman Sekarang

Meskipun pendidikan sekarang jauh lebih baik dari zaman kolonialisme, pendidikan sekarang sebenarnya mengalami beberapa kemerosotan. Hal ini diyakini sebagai dasar dari kesemrawutan sistem pemerintahan di negara kita. Padahal negara kita secara mental dahulu telah digodok dalam berbagai jenis kolonialisme penjajah. Serta konsep nenek moyang kita yang mewariskan faham bhinneka tunggal ika dengan adat ketimurannya telah menunjukkan bangsa kita mampu meraih kemerdekaan. Akan tetapi, mental bangsa dan pendidikan kita sekarang jauh panggang dari api. Alih-alih setara dengan keadaan pendidikan di negara-negara maju malah kita mulai disalip oleh negara tetangga. Ini menjadi PR kita semua. Bukankah tidak mungkin konsep pendidikan kita sekarang yang tampak dari luar begitu mulus. Tetapi di dalam mengalami keborokan-keborokan. Ini bisa jadi karena fenomena berikut ini. Pertama, aplikasi dari konsep bhinneka tunggal ika yang sering disalahartikan. Penerapan yang tidak tepat kerap menimbulkan kerawanan sosial yang dapat saja menimbulkan pertikaian, egoisme, salah paham, sentimen kelompok, SARA, dan sebagainya. Kedua, aparatur pemerintah yang menutup mata mengenai kesenjangan sarana prasarana pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan. Ketiga, guru sebagai garda utama yang luput dari perhatian (terlebih para guru sukarelawan yang tidak mendapat honor yang layak). Keempat, lemahnya budaya literasi di kalangan pendidik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para guru mayoritas tidak berkarya tulis. Kelima, derasnya pilihan budaya (teknologi) asing yang memanjakan anak didik kita. Oleh karena itu, peran serta orang tua diperlukan di sini sebagai pembimbing. Beda dengan dahulu sebelum teknologi masuk anak-anak tidak mempunyai pilihan lain selain membaca dan menulis. Sehingga banyak melahirkan penulis-penulis yang hebat di masa kini. Keenam, biaya pendidikan semakin tidak terjangkau. Ini sama ubahnya seperti pendidikan zaman kolonialisme. Bedanya sekarang hanya orang yang mampu yang bisa sekolah—khususnya pada jenjang pendidikan tinggi.

Salah Satu Solusi

Herialeiktos berkata, “Panta rei”, semua mengalir. Begitu pula dalam pendidikan yang merupakan sebuah sistem yang terus bergulir. Jika sistem yang satu tidak tepat maka akan berimbas pada sistem yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintah wajib oper perseneleng. Dengan artian mengubah paradigma lama mengenai pendidikan di negara kita. Salah satunya, universitas-universitas wajib menghasilkan lulusan-lulusan yang kreatif. Terlebih yang kreatif dan produktif dalam menulis. Seringkali lulusan-lulusan universitas menjadi pengangguran terdidik. Bahkan ada istilah sarjana salon—kredo Amin Rais, yang tidak mau berkarya tulis. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan yang sedang berjalan saat ini tidak ubahnya seperti pendidikan yang terkungkung oleh kolonialisme. Seperti apa artinya sebuah gelar akademik bila tidak kreatif dan selalu berpikiran sempit. Itu semua niscaya mempengaruhi mental bangsa dan pendidikan negara kita.


Garut, 18 September 2011

Pagi Ini


Ardi Mulyana H.

pagi memancar
sinar mentari berlari di atas marcapada
ombak meng-angin menyeru dedaunan

mata mengilap
laksana pijaran lampu pada temaram
bergerumul melahap ilmu

o, langit gemulai membiru
dan gemawan berarak mengantri pula
lazuardi hari ini membelai lembang

pikiranku melayang setinggi-tingginya
setinggi gedung pasca tempatku memetik ilmu
menjumput masa depan

o, hatiku berkelabat merindu
merindu permata di kota garut
selaksa tembangnya jiwa sepagi ini, bergelora

Kampus Bumi Siliwangi, 2011

Nu Geulis Raket Kinasih (sajak Sunda)


Ku Ardi Mulyana H.

nu geulis lulumpatan mawa kamelang
ngudag rasa nu estu marandang
lir saperti kaya ibun herang boborelakan sorangan

nu geuls ulah ringrang
ieu akang keur nyuprih pangarti 
salawasna lir ibarat angin lebak nebak kana raray

ieu sajak, akang nungtun kana diri
ngaji rasa pikeun sajati
nu kaya saperti koceakna guludug di langit nu hieum

dagoan geulis sakeudeung deui akang balik
mentrang carita tresna nu kungsi dijait di sisi laut pemengpek
sok najan guriang sagede gunung,akang moal tambelar

Garut, 2011

Sajak-sajak Lumeho (Sajak Sunda)


Ku Ardi Mulyana H.

kalawan hate nu melas
kulincir angin mepende ku hiliwir
sinari rasa nu nyeblak lumpat nyagak
netela hiji harti nu kacida tunggara
ka mana rek cumarita?
lian ka Anjeun nu kawasa
ieu sajak lumpat lumeho
tina ngaji kanu diri

Garut, 2011

Ti Kuring keur Aranjeun (Sajak Sunda)


Ku Ardi Mulyana H.

--kanggo rengrengan mahasiswa program studi linguistik sps upi angkatan 2011--

baheula kinasih nu can aya
kungsi mentrang tina lamunan
kungsi kasorang ku jumantara kahayang
kungsi marojengja teu aya tungtungna

ayeuna, nu dianti geus datang
geus raket pageuh dina sapotong sajak kuring
urang bareng sadudulur
miara elmu basa ku raga lir ibarat cai ngalir taya kiruh

Garut, 2011

Phonotactics: Segments in Sequence, Segment in Contrast, and Phonetic and Phonological Transcription


Oleh:
Ardi Mulyana Haryadi, S.Pd.
Hedi Setiadi, S.S.

Pendahuluan
          Sejatinya, dalam ujaran bahasa (lisan) sehari-hari tidaklah lepas dari bunyi bahasa. Terjadinya proses berbahasa dimulai dari adanya suatu bunyi. Bunyi yang tentu saja mempunyai makna di dalam suatu bahasa. Dari deretan bunyi-bunyi bahasa tersebut dapat memiliki makna. Seperti pada contoh kalimat (dengan transkripsi ortografis agar memudahkan pemahaman) [ayahmemperbaikimobilditeras]. Dalam kalimat tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu, [ayah], [memperbaiki], [mobil], [di], [teras]. Setelah itu dapat dibagi pula ke dalam beberapa bagian yang disebut silabel atau suku kata. [a], [yah], [mem], [per], [ba], [i] [ki], [mo], [bil], [di], [te], [ras].
          Lebih rumit lagi dalam bahasa Sunda karena kami mencontohkan kata dengan pengafiksasian infiks /ar/ produktif yang dalam bahasa Sunda menyatakan jamak atau plural [maranehannanamareulibajutehkabarandung]. Kami mencoba membagi ke beberapa bagian, [maranehannana], [mareuli], [baju], [teh], [ka], [barandung]. Setelah itu dapat dibagi ke dalam beberapa bagian silabel (sonoritas bunyi), [ma], [ra], [ne], [han], [na], [na], [ma], [reu], [li], [ba], [ju], [teh], [ka], [ba], [ran], [dung].
Dalam linguistik, untuk menentukan itu suatu silabel atau suku kata (ada juga yang berpendapat silabel itu kenyaringan) dapat dengan mudah hanya dengan menghitung vokal yang ada dalam kata. Seperti pada kalimat bahasa Indonesia di atas ada dua belas buah vokal. Dengan demikian dapat diidentifikasi kalimat itu bersilabel dua belas. Pada kalimat bahasa Sunda ada enam belas vokal dan secara otomatis bersilabel enam belas pula. Namun ada dua istilah yang seyogianya mesti diketengahkan dalam kajian ini yaitu, fonetik dan fonologi.
 Pertama fonetik. Menurut Kridalaksana (1993: 56) mendefinisikan fonetik sebagai, “Ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa.” Dengan merujuk pada pengertian dari ahli tersebut, di dalam linguistic, fonetik membicarakan bunyi tanpa menghiraukan bunyi tersebut membedakan arti atau tidak. Pendek kata, hanya menelaah bunyi melulu karena, “Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak” (Chaer, 2003: 103). Ada tiga kajian di dalam fonetik yaitu fonetik organis, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Namun kiranya yang menjadi kajian utama dalam linguistik adalah fonetik organis karena berhubungan dengan alat pengucapan bahasa.
Kedua fonologi. Ini boleh dikata sebagai cakupan dalam linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara luas. Fonologi merupakan, “Bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya” (Kridalaksana, 1993:57). Dengan kata lain, fonologi membicarakan sistematisasi bunyi-bunyi dalam bahasa. Sebagai contoh bunyi [e] pada [sate], [kera], [pemerintah], dan [kesehatan] dapat diidentifikasi perbedaan bunyi [e] pepet dan nonpepet.
Sebagai ilustrasi, dalam fonologi bahasa Sunda dikenal dengan adanya asimilasi. Menurut Kridalaksana (1993: 18) asimilasi didefinisikan sebagai, “Proses perubahan bunyi yang mengakibatkannya mirip atau sama dengan bunyi lain di dekatnya.” Seperti lesapnya fonem /m/ ketika bertemu /b/, fonem /n/ ketika bertemu /d/, dan fonem /g/ ketika bertemu /ng/. Sebenarnya kami sangat yakin bahwa kata di dalam bahasa Sunda jika fonem-fonem di atas bertemu maka asimilasi (fonetis) sering terjadi. Seperti pada contoh kata di bawah ini.
 /kolomberan/ à /kolomeran/
/kembang/ à /kemang/
/ember/ à /emer/
/kendang/ à /kenang/
/bendo/ à /beno/
/sendal/ à /senal/
/teundeun/ à /teuneun/
/kendi/ à /keni/
/sanggeuk/ à /sangeuk/
/sanggap/ à /sangap/
/teunggeul/ à /teungeul/
/eunggal/ à /eungal/
/enggal/ à /engal/
Itu merupakan sebagian kecil dalam bahasa Sunda. Silakan dicari kata apa lagi yang beranalogi seperti di atas. Lesapnya atau luluhnya fonem-fonem tersebut dapat diperikan sebagai berikut. Fonem /m/ dan /b/ dihasilkan secara bilabial voiced—bibir atas bertemu bibir bawah—namun yang membedakan /m/ dari atas ke bawah, sedangkan /m/ dari bawah ke atas. Fonem /n/ dan /d/ dihasilkan secara apiko-alveolar voiced—ujung lidah dan kaki gigi—namun /n/ dari bawah ke atas, sedangkan /d/ dari atas ke bawah. Dan fonem /g/ dan /ng/ dihasilkan secara dorsoveral voiced—pangkal lidah dan langit-langit lunak—fonem /g/ menghembuskan udara ke luas, sedangkan /ng/ udara relatif berputar di dalam mulut.
Di bawah ini akan dibicarakan istilah-istilah dari pendapat ahli yang lazim dalam kajian fonetik dan fonologi.
-          pangkal tenggorok (larynx) – laringal ( laryngeal)
-          rongga kerongkongan (pharynx) – faringal (pharyngeal)
-          pangkal lidah (back of tongue, dorsum) – dorsal (dorsal)
-          tengah lidah (middle of the tongue, medium) – dorsal (dorsal)
-          daun lidah (blade, lamina) – laminal (laminal)
-          ujung lidah (tip, apex) – apikal (apical)
-          anak tekak (uvula) – uvular (uvular)
-          langit-langit lunak (tekak) (soft palate, velum) – velar (velar)
-          langit-langit keras (hard palate) – palatal (palatal)
-          lengkung kaki gigi, gusi (alveolae, gums) – alveolar (alveolar)
-          gigi (teeth) – dental (dental)
-          bibir (lips) – labial (labial), dan dengan dua bibir: bilabial
-          (rongga) mulut (mouth/cavity) – oral (oral)
-          (rongga) hidung (nose/cavity) – nasal (nasal)

Sumber (Verhaar, 1990: 14)

Phonotactics: Segments in Sequence
            Dalam bahasa Indonesia bentuk ortografis phonotactics lazim diindonesiakan menjadi fonotaktik. Kridalaksana (1993: 58) mengemukakan fonotaktik sebagai, “Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa; deskripsi tentang urutan tersebut;  gramatika stratifikasi; dan sistem pengaturan dalam stratum fonemik.”
            Setiap pengguna bahasa (langue dalam peristilahan de Saussure), baik bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Spanyol, bahasa Italia, bahasa Arab, dsb. mempunyai pengetahuan mengenai sistem bunyi bahasanya. Baik itu bunyi yang gramatikal maupun nongramatikal. Hal ini disadari atas tata bahasa nurani yang dicetuskan oleh linguis Noam Chomsky. Oleh karena itu, setiap penutur bahasa memiliki kemampuan masing-masing yang automaticly terintegrasi dalam otaknya.
            Berdasarkan pemahaman tersebut, Chomsky mengeluarkan gagasan terutama ihwal kemampuan berbahasa yang dikenal dengan kompetensi-performansi. Kompetensi merupakan pengetahuan bahasa yang ada dalam benak penuturnya, sedangkan performansi adalah kemampuan mendayagunakan pengetahuan akan bahasanya. Dengan demikian, setiap penutur bahasa bisa membedakan antara bunyi dalam bahasanya dengan bunyi bahasa yang lain.
            Penutur bahasa Indonesia mengetahui kata “tradisi”, sedangkan “itrdsai” bukan. Dengan demikian penutur dalam suatu bahasa mampu mengidentifikasi kata-kata yang gramatikal dan nongramatikal. Dalam hal ini, fonotaktik merupakan suatu dasar acuan konvensi fonem yang memiliki makna dalam suatu bahasa.
            Rangkaian fonem dalam suatu bahasa tidaklah berdiri secara sembarangan. Tetapi mempunyai urutan yang tertentu. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa runtutan bunyi dalam suatu bahasa sebagai rangkaian yang mempunyai makna. Dan dapat disegmentasikan berdasarkan jeda, tekanan, dan silabel. Seperti  pada kata /makan/ terdiri dari tiga buah konsonan /m/, /k/, /n/, dan terdiri dari dua buah vocal yang sama /a/ saja. Silabel terbentuk atau terangkai dari beberapa vocal serta konsonan.
I.                   Rangkaian Klaster dalam Bunyi Bahasa
“Klaster adalah gugus konsonan dalam batas silabel” (Soeparno, 2002: 87). Klaster boleh dikata sebagai rangkaian konsonan dengan konsonan dalam suatu bunyi bahasa. Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh sebuah klaster.
/please/            /pl/
/proud/             /pr/
/pure/               /py/
/splat/               /spl/
/spring/            /spr/
/spew/              /spy/
/trade/              /tr/
/twin/               /tw/
/stop/               /st/
                        Sumber (Wallace Steven, hal 55 tahun tidak diketahui)
Dalam bahasa Indonesia pun dapat diidentifikasi beberapa contoh klaster. Di antaranya.
/produksi/        /pr/
/drama/            /dr/
/struktur/          /str/
/prakarsa/         /pr/
/klinik/             /kl/
/kreasi/             /kr/
Sedangkan contoh klaster dalam bahasa Sunda ialah sebagai berikut.
/geblug/           /bl/
/gejlog/            /jl/
/putra/              /tr/
/tamplok/         /mpl/
/tambelar/        /mb/
/gencet/            /nc/
/gajleng/           /jl/
/geblag/            /bl/
/kencring/        /cr/
/geunjleung      /jl/
/kampak/          /mp/


Segment in Contrast
            Dalam kajian fonetik dan fonologi selain mempelajari bunyi bahasa, dipelajari juga bunyi yang mempunyai fungsi sebagai pembeda. Fonetik hanya mengkaji bunyi bahasa melulu, sedangkan fonemik mengkaji bunyi yang dapat membedakan arti. Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita membicarakan fonem terlebih dahulu.
            Fonem merupakan satuan gramatikal yang berfungsi sebagai pembeda makna. Seperti pada kata /tap/ dan /tab/ memiliki perbedaan makna. Dengan demikian status /p/ dan /b/ boleh dikata sebagai fonem. Untuk mengetahui suatu fonem atau bukannya perlu dibandingkan dengan satuan kata yang lainnya. Dan lazim disebut sebagai satuan minimal.
            Untuk lebih jelas, kami akan mengurai beberapa contoh fonem dalam beberapa bahasa yang kami ketahui. Cara seperti di bawah ini merupakan cara pengidentifikasian fonem ala linguis struktural.

            Bahasa Indonesia
            /lari/ dan /tari/, /l/ dan /r/
            /raba/ dan /laba/, /r/ dan /l/
            /baku/ dan /bahu/, /k/ dan /h/
            /dua/ dan /tua/, /d/ dan /t/
            /perah/ dan /perih/, /a/ dan /i/
            /satu/ dan /sate/, /u/ dan /e/
            /buku/ dan /buka/, /u/ dan /a/
            /tahu/ dan /talu/, /h/ dan /l/
            /sambal/ dan /sambil/, /a/ dan /i/
            /tempe/ dan /tempa/, /e/ dan a/
            /tuduh/ dan /tadah/, /u/ dan /a/
            /cinta/ dan /pinta/, /c/ dan /p/
            /mandi/ dan /sandi/, /m/ dan /s/
            /kasih/ dan /fasih/, /k/ dan /f/
            /kembang/ dan /kembung, /a/ dan /u/
            /kendala/ dan /kendali/, /a/ dan /i/
            /mahir/ dan /mahar/, /i/ dan /a/

            Bahasa Sunda.
            /opat/ dan /opak/, /t/ dan /k/
            /awas/ dan /awis/, /a/ dan /i/
            /cadas/ dan /dadas/, /c/ dan /d/
            /lada/ dan /ladu/, /a/ dan /u/
            /gaplok/ dan /geplok/, /a/ dan /e/
            /kentrang/ dan /kentring/, /a/ dan /i/
            /cai/ dan /rai/, /c/ dan /r/
            /geblug/ dan /geblag/, /u/ dan /a/
            /matuh/ dan /matih/, /u/ dan /i/
            /peurah/ dan /peurih/, /a/ dan /i/
            /coba/ dan /loba/, /c/ dan /l/
            /bedog/ dan /bedag/, /o/ dan /a/
            /beledug/ dan /belegug/, /d/ dan /g/
            /artos/ dan /artis/, /o/ dan /i/
            /bati/ dan /pati/, /b/ dan /p/
/gebis/ dan /geulis/, /b/ dan /l/ (dalam hal ini kami keukeuh peuteukeuh bahwa /e/ dan /eu/ merupakan fonem juga)
/jago/ dan /jaga/, /o/ dan /a/
/balok/ dan /balik/, /o/ dan /i/
/kendang/ dan /kentang/, /d/ dan /t/
/cabak/ dan /cabok/, /a/ dan /o/
/hayam/ dan /haram/, /y/ dan /r/
/haji/ dan /hiji/, /a/ dan /i/
/tangkal/ dan /tangkil/, /a/ dan /i/
/uteuk/ dan /iteuk/, dan /u/ dan /i/
/salapan/ dan /dalapan/, /s/ dan /d/
/loma/ dan /loba/, /m/ dan /b/
/cabe/ dan /cape/, /b/ dan /p/
Sebenarnya masih banyak yang ingin dicontohkan, namun kiranya contoh identifikasi fonem dalam bahasa Sunda di atas cukup mempertajam pemahaman.
Bahasa Inggris
/ship/ dan /shop/, /i/ dan /o/
/sum/ dan /sun/, /m/ dan /n/
/fat/ dan /vat/, /f/ dan /v/
/back/ dan /bag/, /k/ dan /g/
/beck/ dan /beg/, /k/ dan /g/
/cot/ dan /got/, /c/ dan /g/
Jadi, kesimpulannya bahwa dalam setiap bunyi bahasa (tentu saja yang bermakna) dapat diidentifikasi sebuah fonem yang membedakan arti. Akan tetapi untuk itu mesti dikopmparasikan dengan pasangan minimalnya. Jika tidak, untuk mendapati fonem atau bukan agak terhambat. Kiranya kajian ini merupakan kajian yang sangat mendasar dalam linguistic atau ilmu bahasa. Namun demikian, seorang ahli bahasa mesti mampu mendayagunakan intuisinya dalam mengkaji ihwal fonetik dan fonologi ini.

Phonetics and Phonological Transcription
            “Transkripsi adalah suatu cara pengalihan bentuk bunyi di dalam abjad fonetis” (Soeparno, 2002: 85). Dengan kata lain, menuliskan bentuk bahasa dari bunyi bahasa. Organisasi fonetik internasional telah melakukan pengkonvensian symbol fonetik yang disebut the international phonetic alphabets (IPA).


Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Gussmann, Edmund. 2002. Phonology Analysis and Theory. Cambridge: Cambridge University Press
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Kanisius
Roca, Iggy. 1994. Generative Phonology. London: Routledge
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana
Stevens, Wallace. … . Phonetics: The Sound of Language. ... . …
Verhaar, J. W. M. 1990. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yule, George. 2006. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press


Tulisan Populer