Sastra dalam Kacamata Budaya (esai ketiga dalam seri tulisan Bahasa dan Budaya)


Sastra dalam Kacamata Budaya (esai ketiga dalam seri tulisan Bahasa dan Budaya)

Oleh Ardi Mulyana H.

Dalam ilmu bahasa ada yang disebut diksi dan gaya bahasa. Misalnya dalam penggunaan ragam bahasa satra yang mana bahasa di sini mempunyai perbedaan antara pemakaian bahasa dalam kesehari-harian. Sastra di sini mempunyai pengertian yang lazim disebut tulisan yang indah. Sebagaimana manusia yang bersastra bisa disebut manusia yang mempunyai nilai lebih akan relativitas kehidupannya. Seperti pada pernyataan yang kerap dikutip dalam antropologi: “As language distinguishes man from animal, so writing distinguishes civilized man from barbarian” (Sebagaimana bahasa membedakan manusia dari binatang, begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab). Dengan kata lain tulisan hanya terdapat dalam peradaban, dan peradaban tidaklah ada tanpa tulisan (Gelb, 1969: 221-2 via Tarigan, 1994: 11). Kaitannya dengan pernyataan tersebut bahwa manusia memang memiliki kemampuan untuk menulis. Peradaban manusia bisa dilacak dari hasil karya manusia tersebut. Ya seberupa tulisan-tulisan (sastra). Semenjak dahulu budaya di Indonesia pun bisa diketahui dari naskah-naskah kuno (dalam hal ini linguistic historis komparatif serta filologi spesialisasinya). Setiap budaya pasti memiliki naskah sastranya. Umpamanya budaya Sunda, ada naskah sastranya. Budaya Jawa, ada naskah sastranya. Begitu pun budaya-budaya yang lain.

Mengapa Diksi dan Gaya Bahasa?

Dalam linguistik ada pendapat dari Vestergaard dan Schoder mengenai fungsi bahasa. Yaitu, (1) fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi informasional, (4) fungsi metalingual, (5) fungsi interaksional, (6) fungsi kontekstual, (7) fungsi puitik. Dan pada kesempatan ini penulis sengaja hanya memperdalam fungsi bahasa yang ketujuh, fungsi puitik. Dalam pemakain ragam bahasa sehari-hari unsure nahasa belum memiliki bobot seni. Akan tetapi jika menerabas bahasa dalam sastra mau tidak mau bahasa yang digunakan pasti memiliki bobot seni. Meskipun bahasa yang digunakan lazim digunakan dalam ragam bahasa sehari-hari. Karena, bahasa ragam sehari-hari jika masuk ranah wacana sastra akan mengalami perluasan makna leksikal—apalagi jika kreatif dalam pemilihan kata atau diksi. Dengan kata lain, bahasa bertransformasi sesuai konteksnya (lihat dan bandingkan juga konsep dari Dell Hymes tentang akronim SPEAKING dalam sosiolinguistik). Dan fungsi puitik dari bahasa bertujuan pada kodifikasi antara lambang makna secara selektif. Artinya kode bahasa dipilih secara khusus berdasarkan makna yang hendak disampaikan. Dengan begitu kita bisa mengetahui adanya ritme, rima, dan gaya bahasa sebagai bagian dari fungsi puitik bahasa. Sedangkan gaya bahasa yang penulis maksudkan adalah kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1984: 112). Pendapat dari Prof. Gorys Keraf (baca juga bukunya, Diksi dan Gaya Bahasa) tersebut mempunyai tekanan bahwa pemilihan kata dalam wacana sastra begitu penting. Umpamanya (ini parole sastra dari penulis), “Rembulan turun memecah sunyi, raga ya hening ditalu gemerisik dedaunan yang dibelai angin, seakan gelap semakin menjadi.” Jadi, interpretasi dari penulis sendiri ketika sendiri di kala malam dapat diungkapkan dengan kata-kata puitis. Berikut macam-macam gaya bahasa retoris (lihat juga Keraf 1984). Yaitu, (1) aliterasi, (2) asonansi, (3) anastrof, (4) apofasis atau preterisio, (5) apostrof, (6) asindenton, (7) polisindenton, (8) kiasmus, (9) ellipsis, (10) eufimisme, (11) litotes, (12) hysteron porteron, (13) pleonasme dan tautology, (14) periphrasis, (15) prolepsis, erotesis, (16) silepsis dan zeugma, (17) koreksio, (18) hiperbol, (19) paradox, dan (20) oksimoron. Dan berikut pula macam-macam gaya bahasa kiasan (figurative language). Yaitu, (1) simile, (2) metafora, (3) alegori, parable, dan fabel, (4) personifikasi, (5) alusi, (6) eponym, (7) epitet, (8) sinekdoke, (9) metonimia, (10) antonomasia, (11) hipalase, (12) ironi, sinisme, dan sarkasme, (13) satire, (14) innuendo, (15) antifrasis, dan (16) paronomasia—mengenai  macam-macam gaya bahasa tersebut akan dibahas secara mendalam pada tulisan lain. Di dalam wacana sastra pastilah dapat diidentifikasi adanya gaya-gaya bahasa tersebut. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam wacana sastra akan lebih cerah. Wallohualam bishawab.

Garut, Juni 2011

Penulis adalah peminat linguistik.

Tulisan Populer