Garekgok

Ku Ardi Mulyana Haryadi

har, rarupekna dunya
ku saha ruksana kahayang papada manusa

teuing ku saha
teuing di mana

dina enggoning hate nu estuning
teu paduli teu wawuh kacapiring
humaregung bae dina luhur jukut na lamping

na enya ku manusa
na enya ku teu rumasa

paguron teu jadi harti nu hariring
lamun teu bisa riksa diri anaking

na enya eta carita
nu bener eta kirata

humarurung na jero samping
ngaji diri ngaji rasa bati kayaning

Bandung, Oktober 2015

Sajak-sajak nu Kungsi Kaliwat

Ku Ardi Mulyana Haryadi


geus lila, geus sabara taun kuring teu ngaguar carita
lain poho, lain, lain poho
teu pisan pisan poho kana carita

euh, kuring geus ngalalana ngalaan cangcaya-cangcaya
kuma aranjeun, urusan aranjeun rek ngahartian ieu sajak
kuring lain poho, lain poho teu pisan pisan

angin, nya heueuh ieu angin, angin peuting ngadalingding
pohara nyoranganna mintonkeun karupekan hate pamake
teuing geus kamana palidna rasa basa nu matak ngoncara

teu karasa waktu seserelekan kayaning cai tingkalucur tina lamunan
ah, kuring geus cape teu hayang nyieun deui kadoreksaan diri
kiwari mah kuduna leuwih hade loba babati kanu Sajati

kaheman, rasa heman teu weleh ngurangan
lain harti diapikan ku feminim feminim anu medakeun sasaji kuring
teu kapalire dina jumantara sawangan kamari


Bandung, Oktober 2015

Bahasa Indonesia dan Disiplin Berbahasa


Bahasa Indonesia dan Disiplin Berbahasa (esai keempat dari seri tulisan Bahasa dan Budaya)

Oleh Ardi Mulyana H.

Fungsi serta kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara memang sampai sekarang masih patut untuk dikembangkan secara taat asas. Dalam artian merujuk pada suatu aturan atau konvensi yang telah ditetapkan bersama. Menyoal pada penggunaan bahasa Indonesia tidaklah terlepas dari dua macam sikap, yakni sikap positif dan negatif. Sikap positif dapat diidentifikasi pada penggunaan bahasa Indonesia secara sadar, baik, santun, dan tepat. Artinya digunakan secara baik dan benar sesuai konteks di mana bahasa itu digunakan (bandingkan dengan pendapat dari Dell Hymes dalam sosiolinguistik SPEAKING). Sedangkan sikap negatif pun dapat diidentifikasi dari kekurangsadaran pemakai bahasa dalam mempergunakan secara sadar, baik, santun, dan tepat. Dalam hal ini para ahli bahasa dan guru bahasa (jangan kacaukan arti dari ahli bahasa dan guru bahasa karena keduanya mempunyai tugas yang berbeda namun saling melengkapi) dibuat khawatir. Pasalnya pembinaan serta pengembangan bahasa Indonesia belum dapat dikatakan berhasil. Mengapa? Sebab para pemakai bahasa Indonesia seringkali melakukan campur kode dengan bahasa lain—terlebih dengan bahasa asing. Oleh karena itu, dapatlah kita simak secara nyata bahwa banyak para remaja dalam mempergunakan bahasa nasionalnya secara serampangan dengan mencampuradukkan bersama bahasa lain serta mempergunakan ejaan ortografis dengan kombinasi angka-angka, mempergunakan huruf yang besar kecil seenaknya—terlebih dengan bahasa asing padahal di dalam bahasa Indonesia sudah ada padanannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana pembinaan serta pengembangan bahasa Indonesia di tingkat pendidikan formal? Jangankan para remaja, para intelektual pun seringkali bercampur kode dengan bahasa asing. Barangkali untuk gagah-gagahan supaya terlihat keren. Tetapi yang menjadi persoalan di sini tidak hanya penggunaan bahasa Indonesia secara lisan. Secara tulisan pun—khususnya di dalam produk makanan—banyak ditemukan digunakannya bahasa asing. Konsumen, di sini mayoritas adalah pribumi yang kebanyakan kurang mengerti akan bahasa asing tersebut. Dengan demikian seluruh elemen bangsa ini telah bersikap negatif jika demikian terhadap bahasa Indonesia. Penulis di sini melakukan beberapa pengamatan terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang secara nyata kuranglah memuaskan. Sebagai contoh, seringnya dikacaukan penggunaan “di” yang merupakan kata depan dan imbuhan (prefiks). Seperti pada kalimat, “tanah ini akan di jual”, “rumah ini di kontrakkan”, “sepatu dan sandal harap di buka”, dsb. Dan lebih parah lagi jika ditemui penggunaan “di” yang salah pada label instansi pemerintahan. Sikap sadar akan bahasa di negara kita memang masih perlu pembinaan secara meluas dan menyeluruh pada lapisan masyarakat. Berkait dengan hal ini menurut Prof. Dr. J. S. Badudu bahwa pengajaran bahasa Indonesia di sekolah/pendidikan formal bersifat gramatikasentris. Artinya terlalu berpusat dan fokus terhadap tata bahasa saja. Sedangkan sikap untuk menumbuhkembangkan rasa sadar dan cinta akan bahasa Indonesia kurang digalakkan. Oleh karena itu, kita sebagai pemilik bahasa Indonesia (yang sebagian besar bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena bahasa ibunya bahasa daerahnya masing-masing) patut bersikap positif terhadap bahasa sendiri. Kita patut bangga karena kita mempunyai bahasa yang mampu mewakili/mengantarkan komunikasi ilmiah, sastra/seni, serta mampu mengembangkan budaya. Dan bahasa Indonesia memiliki kemampuan itu. Apakah kita masing kurang berbangga dengan jadinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Asean (lihat juga BIPA). Sekali lagi, banyak penggunaan bahasa Indonesia yang salah kaprah. Semua itu tidak lepas dari sikap negatif kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sebagaimana yang diucapkan oleh pujangga kita M. Yamin, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Dan tinggal kita menentukan sikap, positif atau negatif? Wallohualam bishawab.

Garut, Juni 2011

Penulis adalah peminat linguistik.

Tulisan Populer