Menulislah Hatiku

Oleh Ardi Mulyana H.

tulislah hatiku ini duhai perindu jiwa ini
aku ingin mereguk kehampaan ini bersama sekelebat bayang semu yang menggores jiwaku dengan sembilu
karena aku menyemai benih-benih hampa ini bersamamu
tetapi, tanpa peduli engkau tertawa di atas mega yang kulihat seperti mega yang mendung
tulislah hatiku ini dengan pena yang sempat kugoreskan di pasir pantai kerinduan hatimu duhai kekasih
tulislah lantas engkau camkan dalam pita rekaman jiwamu
sentuh hatiku bersama sepoinya anak angin dari horison senja malam yang mulai menyeruak
mengembaralah sejenak beserta kerendahan hatimu itu duhai makhluk yang mulia
jangan, jangan engkau mereguk tuba yang ada di sampingmu itu
karena aku adalah madu yang tak sempat engkau reguk
tulislah hatiku dengan tinta yang pernah aku berikan di alam bawah sadarmu
jikalau engkau capai, tidurlah bersama untaian kata hasil tulisan hatiku itu
duhai jiwa yang sedang berkelana


Garut, Mei 2010

Sebuah Bahasa, Bahasa Cinta

Oleh Ardi Mulyana H.

bahasa manusia tetap sampai mana pun akan menyentuh apa yang menjadi sebuah nama, cinta
namun sebenarnya cinta tak akan terasa apalagi akan dirasa indah jikalau tak pernah ada izin dari-Nya
bayangkan ketika kita mengecap rasa manis, tetapi oleh-Nya kita tidak diberi kesempatan untuk
mengecap rasa tersebut
apalah jadinya ketika semua kesenangan ...di dunia ini tanpa ridho dan izin dari-Nya
kita diajarkan untuk menengadahkan kedua tangan kita dengan berucap rasa syukur...
ya Alloh terima kasih atas segala anugrah...
seperti kami ini adalah sebutir zarah di padang pasir yang takkan pernah terlihat,
namun dengan izin-Mu kami mempunyai nama, ZARAH...
kami bagaikan sepotong roti yang mengambang di permukaan samudra yang begitu lengang,
tanpa teman dan kawan
begitu pula kami sering menarikan tentang sebuah tembang yang ingin selalu dilantunkan kala gemuruh
ombak menerjang karang
dan itu semua hanya dengan izin-Mu ya Alloh
kami tersapu menepi di pantai yang begitu asing karena kami tak pernah ke sana
namun, apalah hendak mau dikata...kami dipungut oleh jodoh kami ketika lautan luas tak lagi mampu
membatasi apa yang sudah ditakdirkan oleh-Nya
dan genggam tangan ini duhai makhluk yang mulia...
sekadar kita berpegangan tangan menari di atas pasir untuk mengukir nama kita berdua...
cinta yang kemudian akan terhapus kembali oleh ombak
namun, cinta pada-Mu ya Alloh...cinta yang tak pernah terhapus...

Garut, Mei 2010

Sebait Pesan

Oleh Ardi mulyana H.

apa yang hendak kutulis dalam syair ini semlohai anak-anakku?
rasanya hela nafas yang seringkali berbisik tentang satu jawaban
wahai anak-anakku, muda belia dikau dibalut jiwa-jiwa penuh damba
titip ibu pertiwi jikalau daku tlah tiada!

tiap waktu, daku jualah risau sendiri
melenggang, menapaki titian peraduan kesunyian
walau tanpa fajar pengetahuan yang cukup
namun, sebersit tanggung jawab menerangiku

sendu, pohon randu bergoyang menari merindu
ilmu yang sepenggal lalu, amalkan walau pilu!
tiap tarikan nafas, oksigen menyebar ke seluruh tubuh
mereka bercerita tentang Indonesia, Pancasila, dan Nasionalisme ini

rasakan, nikmat sekali duhai anak-anakku
bersenandung dalam keseorangan tanpa teman
tapi, ramai dibuai ke-terang-an
laksana bunga teratai menari di padang pasir

ingat, air yang dikau reguk sekarang
tanah yang dikau tanami sekarang
itu semua ditebus dengan darah!
ya, darah para pahlawan nan mulia

ingatlah dikau dengan sketsa senjata dahulu kala?
bambu runcing melawan penjajah sang durjana
lihatlah sekarang semlohai anak-anakku
bambu runcing menjadi pena dan penjajah menjadi rasa malas

tusuk, maju serang rasa malas itu dengan penamu
agar kesuma bangsa tersenyum melihat penerusnya
mulut berkata agar mata membaca; telinga menyimak;
dan tangan menulis sebuah cahaya pelita bagi, nusa dan bangsa


Garut, Februari 2010

Sajak Mata

Oleh Ardi Mulyana H.
--untuk para pelajar yang tuna netra--

risaumu, menandakan perjuangan
tangan yang terampil itu bergulat dengan braile
inilah yang kumaksud, ada rasa yang bertemu
engkau kegelapan, namun aneh, cahayamu terang-benerang
terpukul jua rasa malas di hatimu
menangis, meronta-ronta tak karuan
dia berkata, “duhai gelap, besar jiwamu menggilas diriku
hatimu tersenyum mencerabut mimpi-mimpi dalam anganmu
jangan berhenti wahai gelap, percayalah walau daku ini rasa malas
satu pintaku, jadilah pelita di hari esok”
kami duka tapi tak lara
kami suka tapi tak bangga
kami luka tapi tak terasa
oleh karena itu, kami nyata ada
melayang, terengah di tengah lamunan
suatu rindu tentang cerita rasa
ada kata berujung makna
walau kami gelap, kami tak mudah patah semangat



Garut, Maret 2010

Pekael Itu

Oleh Ardi Mulyana H.

pak, beri kami waktu
anak kami butuh seragam
pak, beri kami rindu
anak kami terlihat sendu

biar udara batuk-batuk di bisingnya kota
di trotoar kami berteriak
ini kami pak! sama seperti bapak!
ini kami pak! sama seperti bapak!

pak, kami mau bercerita tentang indahnya kota tanpa kami
laksana curat-coret di pasir pinggir pantai
tersapu ombak, hilanglah kami ini pak
hilang tanpa cemerlang dan gilang-gemilang

“anak kami itu lho pak ingin sekolah
sekolah itu ingin lho pak sama anak kami
pak, lho ko ingin anak kami tak sekolah
kami lho pak anak yang tak sekolah
tapi anak kami pak harus tetap sekolah”

dua hati tertarik dilema
ini manusia yang ingin tetap memanusiakan manusia
yang satu ingin rapi
yang satu ingin anaknya sekolah

kisah, ini kisah di antah berantah
namun, janganlah bapak membantah
cerita kami bukan cerita sampah
tapi bukan pula cerita yang mewah

kebijakan, itu dia harapan
kami juga ingin rapi
tentulah nanti kan tiba saatnya
jika anak kami sudah melahap kapur dan bor sekolah


Garut, Maret 2010

Kidung Seorang Guru (Sukwan)

--bagian dua--
Oleh Ardi Mulyana H.

Beberapa tahun lalu, kami tak pernah menyangka
Bisa berdiri di depan para murid
Sedangkan, kemarin saja kami masih duduk di bangku yang sama dengan mereka
Barangkali ini mimpi yang menjadi nyata
Ruang kelas yang tak berjendela
Bor yang hampir bolong-bolong
Serta kapur yang habis setengah karena lelah menari
Ada seorang murid yang bertanya:
“Pak, tuturkan apa yang dimaksud tentang ilmu pengetahuan itu?”
Manis sekali Nak pertanyaanmu,
Baiklah, Bapak akan menjawabnya:
“Pejamkan matamu wahai muridku,
di dalam gelapmu engkau bisa menemukan setitik cahaya
cahaya itu tidak datang secara tiba-tiba, berusaha dan berdoalah
jikalau engkau sudah melaksanakannya, niscaya cahaya itu akan terlihat
lalu, hampirilah dengan berjalan menggunakan kakimu sendiri di antara keinginan dan
cita-cita
namun ingat wahai muridku,
sematkan dalam hatimu sebuah ketakwaan
sebab jikalau engkau meraih cahaya itu tanpa ketakwaan,
pastilah akan terjerumus ke dalam lembah kenistaan
engkau pun bisa melihat orang yang merasa dirinya pintar
tanpa mau merendahkan pandangannya ke bawah
sehingga dia berjalan dengan wajah agak menghadap ke atas
apa yang terjadi wahai muridku?
ya, engkau pastilah mengetahuinya”


Garut, April 2010

Kidung Seorang Guru (Sukwan)

--bagian satu--
Oleh Ardi Mulyana H.

Pak, ini kami haturkan beberapa lembar kertas
Yang kami raih susah payah selama empat tahun
Ijazah, akta empat, serta transkrip nilai yang tidak cum laude
Terserah pada Bapak, kami tetap apa adanya

Dengarlah Pak, gejolak jiwa kami tentang pendidikan
Pendidikan mengajarkan kami keindahan, pendidikan pula yang menyemangati kami
Membuka lazuardi pengetahuan untuk digugu dan ditiru
Berdiri di garda paling depan demi bangsa ini

Laksana setangkup logam mulia yang masih hijau
Yang digali ke dalam perut bumi
Setahap demi setahap kami menggali
Suatu keniscayaan, kami jatuh bangun meraihnya

Jikalau dunia mengajarkan nilai perjuangan
Itu pula kami melakoninya
Hingga mengucurkan air mata kami yang tak lagi bening
Berubah menjadi air mata darah

Namun, ketahuilah wahai yang berkuasa
Kami ikhlas menjaga rindu hati seorang murid
Yang berjalan meraih mimpi-mimpi indahnya
Pun kami akan mengantarkannya dengan selamat

Biarlah, semua getir kami yang jalani
Tetapi, tidak untuk para murid kami dan bangsa ini
Inilah kami, cerita indah yang tiada bertepi
Namun pasti, kami hidup untuk ini


Garut, April 2010

Akankah?

Oleh Ardi Mulyana H.

Tercenung sepi di riuhnya suara yang masih hijau
Duduk menepi di ujung kelas
Bermandi sinar fajar yang masih bersahabat
Diiringi racau pipit bernyanyi

Semlohai, berseri sekali dikau anak-anakku
Di atas kepalamu masih putih bersih
Beda denganku, banyak tulisan yang tak rapi
Dengan sisa nafas daku berlari sambil tertidur

Bermimpi tentang tugasku
Kian lama kian suka
Namun, masih abstrak di depanku
Tentang nasib tungku di dapurku yang masih tak berasap

Dengar, wahai dunia pendidikan
Ada permata di antaramu
Yang mengerling
Dia bercerita padaku tentang lamunan,
Menerawang:

“Berdiri di kaki harapan lantas berjalan di jalan setapak
di samping ilalang bernyanyi; bergoyang diterpa angin,
itu dia jiwa yang mengembara
mencari tempat untuk berteduh,
ada luka ada rindu
ada suka menyampaikan ilmu
cukuplah bagiku untuk bersenandung, bersenandung tentang angan…”


Garut, Maret 2010

Tafsir Sebuah Rasa

Oleh Ardi Mulyana H.

Kenangan yang terjerumus kala desau nafas dimadu perih pengalaman silam
Kupandangi jauh ke dalam
Yang ada hanya cermin seolah diri dibui oleh ketidaklekangan waktu
Kian saja kian terluka lirih oleh sayatan-sayatan perasaan
Itu dialah ketakziman yang menelikung sukma terdalam
Hatiku berkata:
“Jikalau mengemis cinta, bukan pula aku yang berbentuk fisik,
aku hanyalah sebutir pasir yang terdampar di riuhnya padang hati
hingga, tak nampak pula aku terjerumus dalam permainan bawah sadar,
semakin kujauhi, semakin pula menjadi gelora yang menafikkan dirinya
di malam seraut kerinduan, ada pula jiwa yang menikam sudut peristirahatan alam raya
hingga dirinya mengupas kulit ariku sampai aku tersungkur di wajah malam
cukuplah aku sendiri yang tahu tentang apa yang terpendam dalam lubuk qalbu,
biar aku sendiri yang menggembalakan nyanyian sunyi yang selalu kutembangkan
jika gemuruh pembaringan jasad-jasad perkasa terbangun dan tersedak karena mimpi buruknya;
merdeka pula di pucuk harapan tentang sebuah kidung yang ingin kulantunkan,
namun, tunggulah waktu yang akan terkenang
ketika sepasang wajah saling melempar senyuman pada hatiku,
yang satu adalah cintaku di dunia dan
yang satu lagi cintaku di akhirat, kelak kugenggam kedua tangan mereka
seraya kubawa pada puncak lamunan tertinggi yang manusia pernah miliki
dan kan kupersembahkan sepotong hatiku untuk mereka berdua
kala seraut tubuh tergerak oleh sepoinya angin yang membawanya padaku
untuk kupeluk sampai ajalku datang menjemput”


Garut, Maret 2010

Simfoni Nada

Oleh Ardi Mulyana H.

Berawal dari dawai yang tak sanggup kupetik
Walau selimut begitu cantik
Tatapan buram menemaniku saat itu
Terlalu indah dawai-dawai ini berlalu
Mata batinku berdecak melihat pijaran cahaya terang benerang
Kuterbangun dari mimpi gelapku
Kusibak selimut pergi melayang
Kudapati dawai melintas dalam anganku
Kuraih
Kupetik
Melantun berdenting menyentuk syahduku
Merona merasuk asaku
Menggores mampu dalam anganku
Terbawa alunan indah membuka mata qalbu
Menyongsong cahaya terang benderang
Aku coba ulurkan tangan
Aku terbang
Aku ringan
Aku peluk dawai
Aku tengadah ke atas
Terima kasih Ya Alloh,
Petunjuk-Mu


Garut, Oktober 2009

Lara

Oleh ardi Mulyana H.

Jika sudah harus pergi
Mengapa tak berlari
Diri ini rapuh
Tertimpa pilu jeritan gaduh
Waktuku tak panjang
Untuk dikau sang lajang
Aku lara dibuang hina
Aku sedu ditimpa duka
Kejamnya jiwamu bak raja durjana
kou pengkhianat cinta
Aku yang lebih tak peduli
Karena aku lelaki


Garut, Mei 2008

ES BATU

Oleh Ardi Mulyana Haryadi

termangu sepi di keramaian dekat indahnya pekaja yang menguncup di pejaka
dari sebrang jalan sayup-sayup gerobak warna-warni memanggil kehidupan
mengusik dahaga yang semakin terlupakan
sejauh lirik menerawang, segar sekali kiranya sop buah itu kawan

kuacungkan telunjuk laksana sang diktator mengomando, satu mangkok Bang!
dengan senyuman, kuterima semangkok sop buah
tapi tatap ini mulai berkelahi di hadapanku dengan rangkaian besi-besi bercat gilang-gemilang baku melewat saling bersahutan
bersama kepulan asap dari cerutu mesin-mesin yang serba mewah

dorcicit! mengapa sop buah ini tak sedingin hatiku?
yang kulihat hanya sebuah es batu sedang menangis di samping nangka
wahai semata wayang es batu, ada apa gerangan dikau menangis?
mengapa hanya seorang diri dalam sop buah ini?

”teman-temanku tlah mati meleleh karena panasnya hawa nafsu kaummu,
lihat di sana di kutub utara dan selatan yang pegah itu, mereka mencair dari kebekuan hatinya
hanya daku yang mampu bertahan karena ikut bersama tukang sop buah itu
daku ingin mendinginkan dahaga manusia dengan segarnya daku dan buah hasil alam.” jawab es batu sambil menyeka air matanya

kuterdiam dan terpaku, apa maksudmu wahai es batu?
dengan lantang es batu menjawabnya, ”banyak tangan kreatif manusia yang mudah memantik jiwa sang alam dan membuat sang alam sering mengeluh sesak paru-parunya.”
kumasih tak mengerti wahai es batu,
apakah dikau rindu pada me-ji-ku-hi-bi-ni-u yang bermain dengan riak kecil di air terjun tempatnya fauna dan flora bercinta mesra?
apakah dikau mencintai lembayung di lazuardi senja yang merona itu?
apakah dikau menyayangi oksigen yang kian lama kian tenggelam?
apakah dikau memimpikan paras bintang timur yang kerap mengganggu tidurku?
apakah dikau mencandu kicau burung di hutan hujan perawan samping rumahku?

”ah, tentu wahai anak muda, ya, daku sebentar lagi umurku siang sebentar lagi akan petang sampai menghilang jelang melintang jika selang melayang kalang rembulan bintang-gemintang mulai berdatang.” kata es batu seraya memalingkan wajahnya.


Garut, Januari 2010

Kopi Susu

Oleh Ardi Mulyana Haryadi

anggun menerpa paras ratna kencana empat belas
kerlip mutumanikam, tampak mulai berbaris bebas
mengantai bercumbu mesra dengan hutan hujan perawan
membuat adidaya lain iri, walau mereka kawan
semilir oksigen yang masih syahdu nan merdu
merona dalam lazuardi senja yang kian melagu
mengingat nusa zamrud khatulistiwa, yang mengerling antara dua samudra
dari Swarnadwipa sampaikan Papua

semlohai! daku lirik dari segelas anggur
melihat pepohonan beton semakin mabuk dan tumbuh subur
disertai besi-besi bercat gilang-gemilang, baku melewat saling bersahutan
bersama kepulan dari cerutu mesin-mesin yang serba menawan
pun jelaga-jelaga riang berlarian melahap udara tanpa ampun
membuat sesak khatulistiwa laksana dicekik sang penyamun
pena-pena yang kehijau-hijauan di belantara raya lebur menjadi legenda
karena serakah tangan-tangan kreatif, hingga kopi susu tumpah dimana-mana

air mata khatulistiwa kian membeku
menemani es batu yang tinggal satu
mengganti kutub utara dan selatan yang pegah itu tlah meleleh
pun daku menangis pilu, ini semua tlah terperoleh
mana ada jiwa yang tak getir, melihat khatulistiwa yang kian renta
bayangkan, kemilau sutra madukara kian masuk buku-buku cerita
khas, berjejer rapi dalam rak perpustakaan
syahdan hari ini bercerita, esok dan lusa tinggal kenangan


Garut, Januari 2010

Kering di Akhir Hari

Oleh Ardi Mulyana H.

ada juga keistimewaan dalam hidup
bersolek di ujung senja
tercenung di dalam ramainya perdebatan tentang hidup
huru-hara; bersimbah darah di bawahnya
di sebelah kanan, orang angkat senjata
di sebelah kiri, senjata diangkat orang
saling serang, baku maki
padahal kita, tetap kita sendiri
antar saudara tikam-menikam
ada hari, jadi kelabu
sesama, melempar luka
padahal kita, tetap kita sendiri
yang kalah memendam dendam
yang menang memendam keangkuhan
yang tertawa, itu dia hawa nafsu
dia berkata juga pada jiwa yang terbakar amarah
“duhai manusia, tega nian engkau melukai sesama
ada jarak di antaranya, memakai tali kekang
mengolah nafsu angkara, meracau dalam dunia tanpa cahaya
pergi sendiri, menghujam belati pada hati sendiri.”
padahal, kita masih bisa
menyelesaikan masalah
tanpa,
harus mati


Garut, Maret 2010

Kidung Seorang Guru (Sukwan) bagian tiga

--untuk para pelajar--

Oleh Ardi Mulyana H.

di fajar yang terang terlihat sinar gilang-gemilang
ada tanya datang menantang
pak! bagaimanakah caranya untuk meraih cahaya tersebut?

berjalanlah di antara keinginan dan harapan
dia akan menuntunmu di kala seraut senja tenggelam
kian merasuk jiwa-jiwa yang penuh hasrat

tanggalkan semua kemalasan dalam paku hatimu

lihatlah, dawai akan bertepuk tangan andaikata
engkau tersenyum kala meraihnya
jangan pernah berpangku tangan jikalau cahaya tersebut tak pernah disampaikan kembali

karena cahaya itu adalah ilmu untukmu
jagalah agar dia ranum
laksana buah apel tumbuh lebat di taman-taman hati


Garut, April 2010

Tulisan Populer