Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Minggu, 21 Februari 2010
0 comments
Sahabat saya Arnita Setiawati telah berbaik hati dengan memberi judul "Senandung Galau" pada beberapa bait pesan yang saya kirimkan untuknya. Alangkah terkejutnya saya, karena beliau menerbitkannya dalam catatan fesbuknya. Dan inilah komentar saya pada catatan sahabat saya tersebut.
--untuk yang mencari cinta--
Sastra yang diucap, lalu hilang digulung kerancuan rasa
Laksana tebing yang tinggi semakin tipis dipahat kegalauan samudra
Jikalau rumput di atasnya mati, itu pula hari semakin turun
Merajut, merenda selimut untuk samudra andai kelam memancar
Dengar, desau penyair terdengar pilu di atas awan
Dia menyilet kesendirian hingga tersungkur di samudra
Lukanya terbalut air garam
Semakin memilu tebing zaman yang tak lagi muda
Tahukah di kedalaman kata, ada makna tak terduga
Pun jua semampai bergoyang diterjang ombak keasingan
Bila, aku berdiri menyibak alam
Ada cerita tentang legenda
Pujangga masa lalu, kini tercenung menapaki dalam yang tak pernah terselami
Pejamlah jika ingin melihatnya
Hembuskan cinta padanya, niscaya, ada pelangi yang tak lagi bisu
Dalam samudra, tentu tak lebih dalam dari cinta
Ceritakan, cinta apa yang sejati! Adalah bahtera keropos yang memaksa bergelut dengan hantu laut Dia berlayar, dari hati ke hati
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
tercenung daku bersama sebatang pena
lembaran kertas putih jua menemani
tak banyak yang bisa kulakukan
selain menyelami dalamnya kata
jikalau angin bisa terbang
tentulah namanya angin
jikalau pikiran bisa terbang
tentulah namanya imajinasi
dalam terpejam, pun daku melihat siapa daku
bersalin dari raga, menyusuri takdir dari-Nya
tanda, adalah cinta yang tak bertuan
tuan, adalah tidak pula itu cinta
rasakan, berkecamuk dalam rongga dada
suatu rindu yang tak bertepi
camkan baik-baik duhai pena dan kertas
daku merindunya dalam malam dibalut dingin
laksana guntur yang gegap gempita
menumpurkan rasa yang gagah berani
ada benci, ada rindu
benci digilas rindu
puisi, adalah letupan empunya
empunya, adalah penikmat kedalaman hati
yang tak terukur bagaikan dalamnya rasa ini
tak ada suatu yang menjadi pengganti daku
selain, tulisan yang ditulis saat kacaunya jiwaku
ya, puisi adalah kacaunya jiwa
mereka berpegangan dalam paku-paku hati
dan berkata, “duhai wajah malam, kecup nian daku seorang, tanpa sepotong rasa iba, jangan bertalu andai tak sepi.”
sepi, adalah jiwa yang menari
dia berjalan perlahan, mengangkang ditiup angin
tangannya menunjuk ke lazuardi yang kian tenggelam
di safana hati, kicau kupu-kupu berbisik:
“duhai sang malam, ke marilah
sentuh daku dengan kemilauan
buai daku dalam mimpi tentang cinta
biarkan daku larut dan tenggelam.”
sepi termangu masih di tempatnya
meski kupu-kupu telah bersyair
biar duka bersalin suka
kembali sang sepi duduk dan berkata:
“jikalau jiwa tak ada sepi
itu pula jiwa tak berarti
terbang terus berlari sambil menutup wajah
hendak ke mana menggantung diri?
se-sunyi ini semlohai…ratapan malam
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
denganmu, ada rindu yang mengharu
di pertemuan hati, matamu tersenyum dan berkata:
“aku tak lebih dari sebuah rindu, aku hanyalah debu di antara jiwa yang hanyut, memesona dalam kehampaan paku asmara, apalah artinya aku?”
tak apalah, wahai kerendahan hati, aku pun sama denganmu!
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
luka hati, itu ranum yang berbuah pahit…
jika sudah begitu, ke marilah, genggam tanganku dan lihat tanah bergoyang
bagai riak air yang bergulung memecah kesunyian, janganlah lara dinda!
Ini aku sang pujangga, jika ingin harta, aku tak punya, namun, jika ingin makna, aku punya beberapa
sambutlah dalam heningmu
pejamkan matamu untuk melihatku, ada suatu rindang yang suka
berbuah di taman hati, bagai bidadari memetik mawar merah
semerahnya jiwa penuh cinta
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
--untuk para pelajar--
kertas, mengepul jadi pesawat
andai, tinta kita torehkan
ingat, lima indra kita
mari bersenandung, "mata membaca; telinga menyimak; hidung merasa; mulut bermakna; tangan menulis. pun hati akan pintar merasa
pintar merasa
apa yang dirasa
untuk kita
dari kita...
agar Indonesia, gagah perkasa selamanya...
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
--untuk yang suka mengumbar kekerasan--
adapun, kesalehan di antara kita
antar sesama, saling angkat senjata
wahai, salah paham adalah jiwa yang terkurung, dibalut nafsu yang menggila
padahal, tahukah, kita beda, tapi tetap satu jua
lihat, darah mengalir, oleh kita sendiri
setan-setan bertepuk tangan
melihat, satu sama lain baku tikam
adalah, kekhilafan yang tegak diusung angkara,
namun, kita bisa
berbicara dari hati ke hati
Garut, Februari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
suara nasi menjerit di pasar
iri hati pada jagung
rakyat lebih suka padanya
nasi berteriak pada jagung,"hendak, engkau janganlah mengganti pemeran utama, tempatku, nyahlah kau."!
apa pembelaanmu wahai jagung? "hendak hati menyapamu, tega nian engkau menikam, aku hanyalah pergi menonton musik keroncongan di perut para lapar, jikalau aku enyah, turunlah engkau dari keangkuhanmu wahai nasi, agar kau dapat menonton parade keroncongan rakyat."
Garut, Februari 2010
Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Minggu, 14 Februari 2010
0 comments
Oleh Ardi mulyana H.
ragaku bersalin dari sketsa gemerlap kasih sayang
membuka kancing-kancing dari laparnya hati
lantas, mengembaralah dalam kenangan akan permata yang telah hilang
o, sang rembulan, sekalah racau yang tak karuan itu
ke marilah rembulan, duduk di sampingku!
tahukah kau rembulan? “ku tlah kehilangan cinta yang terbawa arus duniawi”!
aku tak menyadari keranuman jiwa yang kulewatkan hari-hari itu
pun jualah aku memandanginya penuh kemesraan, jiwaku dan jiwanya seaakan melebur jadi satu,
ingatlah rembulan? Aku ingin engkau berjalan di atas lembaran kenangan antara aku dan dia, merajut suasana hening nan nyaman
kugenggam syahdunya, seakan kami tak ada beda
tahukah engkau rembulan? Matanya berbicara padaku seakan berbisik, “jangan pernah tinggalkan aku wahai pujangga cinta.”
salin waktu bertilam jaman, elok permata kian terkikis ketamakan hawa nafsu
diiris, dipahat, digerus tsunami perkasa kegelapan
seakan…..ah, aku tak kuat lagi memegang permata itu
tanganku wahai rembulan, pedih tersilet jiwa yang bergentayangan
ah….., aku tak sanggup lagi, terlepas dari genggamanku wahai rembulan!
permata hatiku digulung nafsu semata, hilang tak berbekas
tahukah, tubuhku hancur berderai, berserakan menjadi kepingan-kepingan kaku
laksana ceceran genting yang dipalu sang maestro cinta
lihatlah, nun jauh di sana, permata hatiku terdengar kembali berkilau
rembulan, tolong sampaikan padanya, “di sini aku merindukannya.”!
dengan lirih jiwaku berbisik, “janganlah engkau larut dalam masa lalumu, tataplah, masih banyak permata-permata yang begitu indah, merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu.”
namun, apa yang terjadi wahai rembulan, malaikat cinta berkata sangat mesra, “cintamu padanya takkan terburai oleh jaman, namun carilah cinta yang sama dengan cintamu padanya, lalu tampakkan pada semangat rindu hati yang akan menyambutmu, mengangkatmu menjadi raja di hatinya.”
“aku terbangun dari tidur, ternyata benar sekali, aku tak lebih dari seorang pemimpi.”
Garut, Februari 2010
Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Senin, 08 Februari 2010
0 comments
Oleh Ardi Mulyana H.
Ah, hijau kiranya terhampar di depanku
namun hanya diam sendiri membisu
terpaku dibelai angin rindu tentang cerita cinta yang lalu
pun jua terkenang simfoni pipit memadu suara
terbangkan gelora jiwa setinggi rasa
mengkritik lirih desir bambu yang bercumbu
laksana cambuk hati peluruh sukma
apa daya aku terpaksa layari cakrawala biru
gerombol alam saling mengantri
berteriak, berlarian memanah kesenduan hati
melebur menjadi raga
penuh sewindu laksa gundah gulana
jangan sepi wahai kicau alam
temani aku merangkai ketentraman jiwa
deru aku disapu angin tenggara
memanis hati yang telah remuk
albasiah bergoyang, gagak meracau
semakin saja melagu tentang balada alam ini
nyiur tersenyum mentari melamun
semlohai, sedap sekali aku bercengkrama dengan peri hari
memberi rasa menombak kehampaan
menggeliat menggurita
laksana kuntum mawar merekah di taman gaib
melukis sketsa kecintaan pada Ilahi
senyum kalau tak ada badai menerjang
tangisi alam yang tak mau bernyanyi
merona horison senja hari ke hari
mengepak suasana dalam bingkai cinta dari-Nya
Garut, Februari 2010
Posted by Ardi Mulyana Haryadi
Sabtu, 06 Februari 2010
0 comments
Oleh Ardi Mulyana H.
Ada cerita di rak buku
Rak buku di samping meja yang ada kopi susu
Kopi susu tumpah di mana-mana
Hai kawan, pohon jati sedang menangis
Menangis karena temannya banyak jadi mebeul
Mebeul di rumah orang kelas wahid
Pun tak kenal ampun
Rimba rata dengan cara
Cara membabi buta
Buta karena harta
Harta demi nafsu belaka
Durjana! Tega nian polah
Polah tanpa arah
Arah asal kenyang sendiri
Sendiri tanpa memikirkan nasib yang lain
Garut, Januari 2010
--untuk N. S. Rahayu--
Oleh Ardi Mulyana H.
Dalam pelangi ada rindu
Dalam rindu ada rasa
Dalam rasa ada pilu
Dalam pilu ada suka
Itulah engkau dinda,
Tertawalah jikalau kubawa sehelai cinta
Hingga memekar di tebing hutan tropis
Tempat daku menanam kasih?
Senyumlah di ujung jalan tempat kita bertemu
Dalam lorong asmara kita bersua
Melupa raga hinggap di peraduan duka lara
Melanggam balada kisah-kasih seiya-sekata, itu kita
Dinda, tuak yang kuteguk tak memabukkan raga ini
Tapi setetes air matamu sanggup memabuk-ku
Apa ini dinda?
Kemarilah pemuda, pejamkan matamu!
Ah, apalah ini artinya?
Dikau mencuri rindu yang sendu,
Maafkan aku pemuda!
Tutup matamu, aku pergi, selamanya...katamu itu, Niar!
Garut, Januari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
Pijakan pertama dalam tangga rasa
Menyepi suka menyeka kala
Itupun dikau, dinda
Sewindu salam dari raga yang bersalin sukma
Patrian nama menyungging simpul senyum, bibir tipismu
Seakan merayu laku sekian masa lalu
Menyublim mesra di teras SMA
Terdengar, kemarilah, duduk di sini pemuda
Daku menyipu sedikit malu
Ada apa gerangan dinda?
Hai, siapa namamu?
Ah, hendak bertanya nama rupanya!
Kala itu, matamu menatap dan menyilet
Mengukir rasa asmara yang mulai tumbuh
Menjadi pohon menguncup rayu dalam kwartet
Cinta dimadu badai yang riuh
Ingatlah, sandinganmu mengisi takhta rasa
Samar kicau sangkakala malihwarna
Bertalu melagu bak armada pulau sewindu
Pun terkenang cinta yang pilu, tempo dulu
Garut, Januari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
Hendak ke mana jualah daku berlayar?
Sedang, samudra tenang banyak menenggelamkan
Ah, kembali daku tak bisa
Melaju daku tak mampu
Di pertemuan arus daku terhenti
Memilih buah simalakama
Ke sini, daku cinta
Ke sana, daku rindu
Bagai riak kecil daku berlarian
Tumpur hampir karam ditelan lautan
Pergi mengarung mencari sandaran
Aduhai sayang jika terlewatkan
Bahtera daku mulai terasa tergenang
Tergenang air kehampaan
Wahai pemuda, hendak ke manakah engkau?
Daku hendak tenggelam bersama gadisku yang telah karam, tempo dulu
Garut, Januari 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Jika dibui merasa sendiri
Itu juga aku terpenjara sepi
Begitu pula dengan dunia cinta ini
Memadam lilin di sunyi hati
Tak ada teriak tak ada teman
Aduhai sendu ini kawan
Melihat masa lalu yang menawan
Hidup terasing di perantauan
Garut, Januari 2009
Ku Ardi Mulyana H.
Ceuleungkeung manehna datang
Gek diuk dina korsi hate
Kalah sare teu hudang-hudang
Mapaes deudeuh nancep hese
Jreng layung beureum mepende manehna
Nyieun seumat pikeun kanyaahna
Rurundayan mawa kadeudeuh nu harita
Teu kungsi lila manehna
Ngajak kawin taun ayeuna
Garut, Januari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
Terkenang tanah pusaka
Sejak dulu ditempa cerita
Kejam nian VOC menjajah permata
Menusuk tanah air tercinta
Di sini, di Banten, di pelabuhan Merak kuterdiam
Membuka catatan, di gelapnya malam
Ombak menyahut menyabung kelam
Tetap saja indah bagai mutumanikam
Negaraku, tumpah darahku
Indonesia tetap satu
Berteman nusa membisu
Dirantai molek indahnya gadisku
Sepi, ditebak sauh armada laut
Mengajak bercerita sampai larut
Pemuda, tahukah kemelut?
Di sini di Banten VOC bertekuk lutut
Merak, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Bapa, Bapa teh tos da'wah nya?
Ujang resep gaduh bapa ajeungan
Muhun Jang, Bapa tos da'wah!
Na kumaha kitu?
Lain Pa, cek Ema naha teu mawa amplop?
Ujang, kadieu, danguken, Bapa dipasihan amplop teh ngan saukur kanggo ongkos cenah
Jadi, eta amplop ku Bapa dipasikeun ka tukang ojeg keur ongkos we
Kaharti?
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Kunaon Ema teh beut ceurik?
Ujang aya salah nya Ma?
Lain Ujang, tingali ka luar, dulur-dulur urang teh kalah maraksiat wae
Naha Ema nu sedihna?
Etateh Jang, lanceuk-lanceuk Ujang kabeh
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Eta Jang, ecag-eun ari beurat mah!
Deudeuh teuing anaking
Heug geura sare kadinyah!
Kenwae ku Ema neangan beas mah
Sing emut Jang, beunghar teh lain ku dunya, tapi ku aherat
Kaharti Jang?
Kaharti Maa!
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Sok atuh kadieu wanimah
Sok atuh prak petakeun
Wani ka kuring?
Ah teu, da abdi mah cacah
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Rek angkat ka sakola
Sieun ku maung kajajaden di kebon hui
Alah kumaha Ema?
Kuring moal bisa jadi presiden!
Kenwae atuh Jang
Nu penting mah kabeuli beas we atuh!
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Kahatur emang
Aya surat ti Garut
Ker pamaringpin kuring,
Daramang?
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Nyeletuk kana hate
Carita kaheman taun kamari
Akang, nyai bogoh ka akang!
Samalangsa pabalik nyaan tina caritaanana
Teu kungsi lila, kuring sorangan ditinggalkeun
Heup nyai, nepi dieu akang rek sono
Jung, indit
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Simpe dina raraga hojahna
Dek wae ka saha ieu mementa?
Ka gusti pangeran abdi
Taya daya taya upaya
Ya Alloh nu sajati
Ieu abdi tulungan, kabawa palid ti kamari
Garut, Januari 2010
Ku Ardi Mulyana H.
Katumiri kokojayan dina kaheman
Deudeuh reueus ti wanci kamari
Istuning ngemut kasono nu taya katepi
Jung, lumangsur dina gawir hate
Jung, lumayan nyeredet ka si manehna
Rek kadieu, taya guna
Ret ka hareup, puncengis rarayan bulan opat welas
Apay-apayan dina carita cinta nu baheula
Garut, Januari 2010
Oleh Ardi Mulyana H.
Ufuk timur kerap menyembunyikan pelangi yang menangis sendu
Membeli beras yang beribu-ribu
Ibu senyum, tapi tak tulus
Gemuruh pasar hari ini tak sesemangat dulu
Isak tangis menyelimuti raga yang tinggal separuh
Entahlah jerit-jemerit tak terelakkan,
Mengingat anak yang tinggal delapan,
Mereka butuh makan bunda
Jelata serta derita membuka mata dalam cerita
Bubuhkan cinta dalam sepiring nasi penuh lara
Garut, Januari 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Ada rindu di malam tadi
Dara ayu merayu mesra di mimpiku
Dia berkata, aku merinduku
Tak mungkin aduhai, duka lara menyilet benang asmara tahun silam
Terpukau saja aku sendiri
Riwayat cinta tlah lalu kembali pilu
Dalam catatan dara ayu pengisi rinduku
Apa tanyamu dara?
Terpilu aku melaut gelombang dalam ketakziman asmara setia
Tidak perlu kou lagi aduhai dara
Aku tak lagi dulu
Dan aku tak lagi pilu
Garut, Januari 2009
Oleh Ardi Mulyana H.
Kembaliku bercerita
Tak mau aku bersembunyi
Tumpur sudah aku dan kau
Abu arang hitam legam
Tunjuk, jambaklah malam yang menangis dengan hawa nafsumu
Tidak selalu kou
Enyah dari indra mataku
Luluh lantak sudah aku
Menyirami tepian hatiku oleh air laut dan kesombonganmu
Semlohai duka pegah murah amarah
Tak andai peduli lagi
Tega pati laksa hujam hatiku
Mendarah pedih disilet polah-polahmu
Garut, Januari 2009