Harewos Cacah (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi Mulyana H.

Heug ku kaula dianteur
Di palataran rek kumawantun
Jung gera cumarita
Lain agul lain jumawa

Tanyakeun kecap nu pernah medal basa harita
Dina mangsa usum ngecrik sora
Lain sono rek ngaloloho
Tapi nginget-nginget nu ges poho

Sabab kuring cacah bakal salah
Lamun teu ngelingan acan
Sok atuh gera petakeun
Sangkan rahayat hirup barokah

Garut, April 2010

Panon Duit (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi Mulyana H.

Sok gera tingali jaman kiwari
Panon duit pating araclog dina meja
Siga bandar jeung nu meuli
Adu tawar adu kahayang

Batin mah ceurik tapi teu bijil
Naha bet kieu
Naha bet kitu
Naraha nya?

Kuring teu sadar jeng teu apal
Jol-jol ngaguprak tina risbang
Paingan kieu paingan kitu
Singhoreng simanahoreng

Eta kajadian teh aya dina alam impenan

Garut, April 2010

Bentang Gumujeng (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi Mulyana H.

Cag ngarumbay kana manah
Salembar rasa kaheman
Bibilintik ti leuleutik
Mapay-mapay gawir lamunan

Lur diulur, tot dibeutot
Kaditu kadieu
Silih asuh kasono
Silih baledog katersna

Dek kamana duh mojang nu kamari
Basa eta basa wanci lelengkah halu
Anjeun datang mawa kecap,
“Akang, Nyai teh kersa jadi bojo Akang!”


Asana moal aya kabingah nu nyeuleucep tiis kana hate
Salian kecap jeung laku lampah Nyai sauyunan
Sabab jalma mah omongan nu dicepengna
Seug Nyai, wartoskeun ka Ibu Rama anjeun


“Lamun bulan moncorong caang jeung bentang garumujeng
Wanci angin leutik mepende, nebak kekembangan di buruan
Sing yakin sing percaya
Akang datang jeung kolot, baris nanyaan”

Garut, April 2010

Neng Maya (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ardi Mulyana H.

teu bisa sare
gara-gara cikopi
jadi nulis
di raray neng maya

Garut, Oktober 2010

cat. neng maya= internet (yang jadi gaya/metafor saya tersendiri meski semaunya)

Waduhai

Ardi Mulyana H.

malam ini
aku menggantung
pada hatimu

Garut, Oktober 2010

Ah Parasmu

Ardi Mulyana H.

wajahmu manis
semanis dodol garut
yang kumakan

Garut, Oktober 2010

Geriuhnya Rindumu 2

Ardi Mulyana H.

engkau hadirkan wajahmu lewat tutur kata
hingga jelas tersenyum melihatku
datang dan duduk serta memandang horizon nun luas
dan matamu terbelai oleh geriuhnya anak angin dari benua kesunyian
datanglah duhai kerinduan
datanglah duhai gelora
kemarikan hatimu untuk kutuliskan sbagai prasasti yang indah
hingga mampu menghias rindu ini
lihatlah duhai kasih
lihatlah dengan jiwamu
di depan menghampar menghijau rerumput setaman
yang bergoyang tentang balada alam indonesia ini
dan sapulah dengan matamu pada gemawan yang berarak itu
dan belailah dengan tanganmu
fatamorgana indahnya kemerlingnya aliran sunyi
di ujung dataran kasih, belailah dengan cintamu
pun pepohon menyipu melihat kita
ber-prelude di bulan oktober
melukis cinta dan alam negara kita
oh indonesia, elok beserta isinya
hawa yang menusuk kala pagi menghantar surya
mengalahkan gelap yang menjerit-jerit habis waktunya
oh, gelora cinta
sapu aku bersamanya dalam peraduan untuk kudendangkan
bersamamu


Garut, Oktober 2010

Geriuhnya Rindumu

Ardi Mulyana H.

pergi hatiku, pergilah hatiku
karena rindu tiada yang bertepi
seperti gugusan pantai van java
bagaikan aliran air yang terus mengalir
tidakkah kalian mengetahui tentang makna syair ini
yang datang dari benua kesunyian
yang datang dari kegalauan hati yang tercabik
oleh tingkah yang membuat angin gundah gulana
datanglah, datanglah oh sketsa rindu masa lalu
datanglah serta tumpahkanlah pada wajahmu yang mengisi aliran dalam jiwa ini
datanglah oh gelora cinta, sejenak kita melupa angkara murka
marilah genggam hati ini
kita berlari bersama saling berkejaran melawan angin
di tengah kehidupan, kita berdua bersama meregu gembira
serta tak lupa mereguk air tuba
proses pun berkerja dengan syahdunya
seraya menunggu keceriaan dua jiwa yang saling bertaut
aku dan engkau di kehidupan fana ini
menandakan esok yang mungkin berpisah
tertawa berkata-kata
kecewa berterus terang
di geriuhnya zaman
senantiasa terang dan benderang, layang


Garut, Oktober 2010

Bertempur dengan Badai

Ardi Mulyana H.

hujan menggaduh di luar
berbagi gemuruh setengah badai
seperti ribuan anak panah tentara padjadjaran
dalam yuda melesat menohok jejantung
berkata-kata bersama hari yang tak ada
bertalu-talu bersama gendang yang hampa
di luar, hujan begitu meriuh
bagaikan deru-deru ombak laut selatan
bersiap-siap menyelami waktu yang mungkin tak ada
bersiap-siap kecewa karena cinta
maka, tak pantaslah di hari ini rinduku bertepi
dan berujung lewat gemeriuhnya hujan yang datang bertubi-tubi
menyelinap relung pikiran di pertengahan oktober ini
oh, semlohai rindunya aku pada hatimu yang tak kunjung padam
yang datang meriak dan menggempur di hujannya air mata, saat ini


Garut, Oktober 2010

Engkaumu

Ardi Mulyana H.

engkau tlah merenggut wajahmu sendiri
hingga sirna dari tatapanku
pergi di petang kehidupan
mematikan pelita yang engkau sulut di hati ini
kasihku mengucur deras menggenangi seluruh jiwa
karena engkau tlah pergi mencerabut penyangga rindu ini
banyak yang engkau lakukan,
kecuali satu
engkau tak lagi menjadi kekasihku


Garut, Oktober 2010

Prahara dan Prahara

Ardi Mulyana H.

namaku yang menjadi haram di telingamu
karena prahara tempo itu antara kita
biarlah semua ini aku yang mulai
biarlah semua ini aku yang akhiri
dan aku mulai mengambil sebuah batu
dari benua kesunyian
biarlah kutulis sebuah bayangan masa lalu
agar terus abadi
seseorang yang sadar akan kehadiran wajahmu
biarlah dia menjadi seorang yang halal
kala birahi tlah menyatu dengan raga
maka, di sini aku mencipta gelora
akulah kegagalan namun terbang bersama kata-kata
laksana gemawan yang menggantung di angkasa
dan mencipta riuhnya buliran hujan
akulah kesalahan namun pulang dengan kemenangan
kemenangan akan jilatan-jilatan api
karena nafsu angkara murka diraja
menghanguskan hasrat ini
tahukah engkau dengan deretan gunung gemunung berapi?
aku kan memuntahkan lahar mereka lewat kata dan kata
dan juga membumbung layaknya gelora asmara
hingga mengumumkan aku adalah badai prahara


Garut, Oktober 2010

Elokmu Badai

Ardi Mulyana H.

merapatlah kemari semlohai buluh rindu
tahun ini berjalan tanpamu
berkata-kata tanpa arti
laksana meriam tanpa isi
merapatlah semlohai kawan hati
di luar kita berbagi cinta pada semua
di dalam kita berbagi rindu pada jiwa
hadirlah, hadirlah semlohai buluh rindu
katakan dengan gelombang yang mendebur
katakan dengan muntahan gunung meletus
bahwa;
rindu kian menjelma kala gelora padam mulai membenih
tumbuh dalam tebing-tebing hati
tumbuh hingga menjulang tinggi ke angkasa
mengartikan jiwa-jiwa yang penuh kehangatan
semlohai badai kian memuncar
menggerus karang-karang edannya zaman
menggerogoti air laut yang rindu pada petani garam
oh sang rindu, kemarilah elokmu gontai


Garut, Oktober 2010

Prelude Oktober

Ardi Mulyana H.

hujan senantiasa merapat
berbagi dingin bersama angin
waktu berjalan kian padam
melangkah untuk bersua bersama hasrat
genting di luar menggaduh tertawa
tertimpa hujan di pertengahan oktober
senantiasa membagi cerita dan bertanya padaku:
apa yang akan kou tuliskan?
tanpa sempat kujawab
perlahan aku mulai menulis:
‘temaram, engkau yang mencumbu hujan
kian menyayat dan mencabik hati serasa ditikam waktu
menggugah pribadi yang meraut malam tanpa rembulan
berjalan hanya melalui pena dan kertas
berjalan hanya untuk pergi dari sunyi
memalingkan muka dari luka hati yang mencabik
karena, begitu rindunya aku pada kehangatan kasihmu
semlohai, mabuk aku dibuatnya tanpa sadar
detik pun merayap naik ke ubun-ubun
lakasana gelora yang kian memuncak
maka, tahukah engkau semlohai pengirim rindu?
aku pun begitu mereguk buliran hujan yang meriak
bagaikan sebuah debu halus di padang sahara’
hujan, gemawan menangis memilu
horizon padam memayungi tanah
pertanda, dingin dan rindu makin melegenda
di sini, di dalam mencenung arti


Garut, Oktober 2010

catatan guru (sukwan) di tapal batas

Ardi Mulyana H.

miskin aku berangkat
papa aku pulang
laksana angin sepoi meniup ilalang
berlalu tanpa arti
detik jam mencekik waktu
semakin lama semakin gelisah
dapur-dapurku tak lagi berasap
oh bukan, berasap namun tersendat-sendat
inilah yang kualami laksana sarapan pagi
maka, tahukah dalam kelamnya zaman
aku ingin mencipta pelita
lewat puisi aku memelita serta menulis:
“adalah, peraduan memancar binar di ufuk timur
terbit bersama surya namun tak terlihat
karena gemawan berarak hitam menutupinya
sebentar lagi menangis, sebentar lagi hujan
oh, pancaroba dalam kegilaaannya, menerabas batas
antara suatu harapan yang mungkin hampa
di sini di garut aku berpaut
oh, angin yang menghiliwir memecah sunyi
mengganggu arti dalam artinya sebuah sepi
tanpa ada jaminan dalam titian kehidupan
jikalau lazuardi kian membiru
itulah aku terbang bersama kata-kata
yang mungkin bahagia, yang mungkin kecewa
oh, gemunung yang berbaris laksana prajurit padjadjaran
semakin melantangkan suara ini dengan kedigdayaannya
demi harapan hidup dan cita luhur yang menggantung”
obat rindu, ah apalah artinya
semlohai indah jika jatuh dalam prahara
dengan badai yang kian menajam
dan barisan pohon-pohon berbagi keteguhan
ketika topan tlah menerjang
maka nyatakanlah aku hadir
di alam fana aku hidup
sang mimpi menggantung
dia berkata:
“oh, engkau terlalu senja kawan
jikalau engkau diam dan menyerah
gapailah aku dengan daya penamu
tulislah aku dengan tinta yang kou punya
dan, lukislah aku menjadi sketsa-sketsa pengetahuanmu
agar engkau berjalan menujuku,
aku pun akan berlari hendak memelukmu”
oh, kegalauan, mimpi apa yang terkatakan
semakin menombak semangat
hingga terbakar dan terbakar menjadi gelora
yang teramat sangat panas dan menggebur
laksana meteor terbakar menuju bumi
jelegur dan menggema
seperti gemuruh gunung merapi
tahukah, baris-baris syair ini kutulis dengn rasa tumpur
namun tetap berontak dengan kata-kata
maka, tiada hal yang selau kunyanyikan
selain kecewa karena kata-kata
namun, aku bukanlah keputusasaan
justru akulah gelora lahar merapi
sebutir debu halus berkata dan menghampiriku:
“apakah artinya engkau kawan?
Berbagi rasa yang kerap menautkan lewat gunung merapi
Apakah engkau pernah hidup di gunung merapi?
Ataukah hanya lamunan tanpa kejelasan?”
Aku mengerling pada penaku lantas menulis:
“aku adalah raja ketika aku menarikan pena di atas kertas
aku bisa mencipta kekacauan
aku bisa mencipta keindahan
dan aku bisa mencipta padang sahara serta merapi”
oh, selaksa riak air menerpa
tak disangka lazuardi menumpahkan air matanya
basah yang sedikit kering membagi sejuknya
oh, gelora, hujan padam akupun redam
oh, gelora, biar hilang dua terbilang
aku tetap hidup bersama buaian angin yang menghiliwir
aku tetap hidup untuk mengabdi pada-Mu
sejatinya, tiap detik dan menit aku berjalan menuju-Nya
tiap hari berpeluang untuk mati
maka padamu jua Ya Alloh aku memohon
semlohai dzat yang tak pernah tidur
kalungkanlah tenaga dalam raga ini
agar aku bisa member arti pada indonesiaku ini
oh, ibu pertiwi
aku dingin dan membeku
aku belum sempat member arti yang haqiqi
indonesiaku, gemah ripah loh jinawi aku ingin
tapi tunggulah, aku bangkit serta bangun
berusaha mencipta generasi bangsa
yang sidiq, amanah, patonah, dan tabliq
esok lusa jikalau aku mati
aku ingin bangsa ini:
“menimak, berbicara, membaca, dan menulis
dari hati ke hati
meneruskan cita yang luhur
biarlah aku mewariskan cahaya meski kecil
laksana biji zarah di padang sahara”
jiwaku kian melemah
menyaksi prahara tanpa arah
maka lewat puisi aku berpesan kembali untuk bangsa ini:
“jagalah rindu hati seorang murid
yang ingin meneruskan impiannya
jagalah bahasa kita, bahasa Indonesia
karena pujangga kita m. yamin berkata: bahasa menunjukkan bangsa”
jikalau aku menyudahi syair ini
itulah tandanya angin mulai bertiup
sauh diangkat, kemudi di buritan aku nahkodai
dan layar pun terkembang oleh angin cinta
pertanda aku mulai menyemai harapan mewujudkan cita dan hasrat
menuju satu harapan
oh, indonesiaku, “aku rindu padamu”
di samudra yang mengeplak membiru
celoteh camar-camar berbisik:
“semlohai pemuda, aku peneman perjalananmu”
berlaju melaju membelah samudra
berlaju menuju membelah deburnya ombak
menandai menerjang karang-karang yang menghalang
aku akan pamit menuju gelora
aku kan pamit menjulang tinggi ke angkasa
akulah si penjelajah kata-kata
berbagi cerita lewat pena dan kertas
berbagi rindu antara rakyat-rakyat indonesia
memecah sunyi
dan aku akan menghias nusantara
semlohai, mari kita mengarak senyum
untuk bangsa ini
aku datang bersama gelora
aku jelang dengan kabut kata-kata
dan aku menulis: “ibu pertiwi, aku cinta padamu”


Garut, Oktober 2010

Engkau yang Mati

Ardi Mulyana H.

setahun yang lalu sayang
engkau mati berbaring di pelukku
kini engkau tlah mati
meninggalkan luka diri ini
aku tak pernah tahu
sebegitu indahnya kasihmu
meninggi laksana elang yang terbang
namun, kini engkau hanya catatan indah
maafkan duhai kasih
barangkali engkau tenang di alam sana
semoga engkau membawa retakan hatiku yang duka
tersenyum melihat senyumku
--ah, lazuardi garut yang berkabut—
menawarkan sejuta harapan
mengobati hatiku yang tercabik
karena engkau mati saat kumati


Garut, Oktober 2010

Sajak Orang Gila

Ardi Mulyana H.

mereka yang terabaikan dalam kenangan
bau nafasnya menghiasi udara di kota-kota dan di kampong-kampong
tampilannya seperti hulubalang tanpa kesaktian
gagah namun tanpa arah
berulang kali aku menulis tentang mereka
ah, baru satu kali, eh tapi dua kali
ah, berulang kali dalam sajak tanpa pena
bagaikan efek domino
ah, mereka senyum padaku
manis, namun tanpa rasa
mereka orang gila yang sadar
mereka memang gila
tapi tak pernah berbuat yang gila-gila
apalah artinya kegilaan, kesombongan yang hanya beda-beda tipis
berkata-kata layaknya diplomat yang gila
kata mereka, aku menuliskan sajak orang gila
berarti sama gilanya
tapi tunggulah dulu
pernah suatu waktu aku dan orang gila berbincang hebat
‘dari manakah kou?’
sembari senyum, tak menjawab, hanya berkata-kata namun bermakna
‘aku digilai zaman, edan’


Garut, Oktober 2010

Jalinanmu Bahasa

Ardi Mulyana H.

aku melalui jalianan kata-kata
tiap hari melatih empat ketrampilan berbahasa
menimak, berbicara, membaca, dan menulis
pertama, menimak hati yang penuh harap
laksana horizon yang membuka lembarannya di kala pagi
kedua, berbicara dari hati ke hati
menyelesaikan pertikaian tanpa kekerasan
mencipta sesuatu perkataan yang indah untuk dikecup
ketiga, membaca isi hati orang
agar bisa merasakan gejolaknya kehidupan
biar kita tak hidup sendiri
keempat, menulislah hatiku jika gelombang mulai terlihat
hancurkan dengan tulisan yang menohok kejamnya zaman
biar angkara murka tercerabut dari kesombongannya
memang, tak banyak yang aku lakukan
kecuali satu, melatih bahasa cintamu


Garut, Oktober 2010

Bayang-bayang yang Keempat

Ardi Mulyana H.

Aku naikkan syukur ini ke hadirat-Mu
Kini, aku mulai masuk pada bayang-bayang yang keempat
Aku mencintai Nusantara ini karena-Mu
Dari Swarnadwipa sampai Papua

Dari Arun sampai Freeport
Dari Borneo memberikan salam pada Khatulistiwa
Dengan dua musim dan juga kekayaan alamnya
Kemarau dan hujan; susah dan senang

Jawadwipa, tempatku dilahirkan dari rahim seorang Ibu
Ibu, kini aku tlah beranjak senja
Belumlah sempat kuberikan sesuatu bagi Nusantara ini
Selain hanya kata dan makna

Ibu, aku teringat dengan tetesan darah para pahlawan
Aku ngeri Bu tak bisa meneruskan perjuangan mereka
Laksana air terjun yang takut akan musim kemarau
Tapi, dengan-Mu aku bisa

Berkahilah Nusantara ini dengan rahmat-Mu
Jadikan segalanya gemah ripah loh jinawi
Dengan tasbih kupersembahkan raga ini
Tiada daya serta upaya

Bangsa ini semakin lama semakin dilanda
Kami ingin Engkau menjaga akhlak kami
Akhlak para pemimpin kami juga
Politik ekonomi, ah apalah namanya aku tak mengerti

Aku hanyalah sebuah raga yang menyusuri jalan menuju kematian
Tiap hari berpeluang mati, maka bisakah kita untuk sombong diri?
Segala puji hanya untuk-Nya duhai Dzat yang tak pernah tidur
Berkahilah hymne Nusantara dalam syair ini yang kutulis sembari mati


Garut, September 2010

Bayang-bayang yang Ketiga

Ardi Mulyana H.

Jawaban untukku adalah “tidak”
Kenyataan untukku adalah “pergi”
Katanya aku hanyalah sebuah bayang-bayang
Katanya aku hanyalah sebuah ketidakmampuan

Lapangan kerja kian habis ditelan zaman
Tak ada lagi kesempatan bagi diri ini
Kata mereka kini aku pengangguran yang sibuk dengan pena dan kertas
Aku memang tak pandai bicara, makanya aku sibuk menuliskannya

Aku sudah kehilangan darah dan semangat
Tapi, bukan, bukan itu maksudku,
Bukan keputusasaan, sama sekali bukan
Ini sekadar hanya sebuah keberhasilan yang lagi-lagi tertunda

Aku tertawa di dalam nadi dan pembuluh darahku sendiri
Aku ini ternyata masih hidup dan bernafas
Ah, terlalu banyak aku mengigau yang indah-indah
Kini saatnya aku memimpikan yang buruk-buruk


Garut, September 2010

Bayang-bayang yang Kedua

Ardi mulyana H.

Dialah yang terabaikan
Berjalan di lorong-lorong menuju kematian
Jiwanya tak tahu lagi dunia
Harusnya dia di rumah sakit-rumah sakit jiwa
Dan bukan berlarian dengan mimpi indahnya di jalanan
Baju yang compang-camping dalam raga kulit tinggal tulang
Ngeri aku ini meninjau dengan melihat serta mengintip kehidupannya
Ngeri aku ini melirik mereka senyum dan tertawa sendiri
Seolah-olah tlah menang lotre atau hadiah dari tabungan di bank
Tapi, bukan, bukan itu maksudku, bukan menang lotre ataupun dari tabungan

Mereka hanya sebuah bayang-bayang merdu
Dalam nada dari denting dawai eloknya zaman
Waktu yang berkilau melupakan keberadaan mereka
Kini akulah yang akan mengingat mereka kembali dalam syair ini
Kini akulah yang akan merekam mereka menjadi sebuah simfoni yang cemerlang
Kini akulah si gila yang menulis mereka dengan tinta-tinta kematian
Laksana kelembutan air yang meluluhlantakkan kota
Bak Dewi Drupadi yang elok keramas dengan darah Dursasana
Ah, terlampau jauh aku bermain dengan gaya bahasa
Ah, terlampau jauh aku bermain dengan gilanya orang-orang gila


Garut, September 2010

Bayang-bayang yang Pertama

Ardi Mulyana H.

Mentari, dia yang sunyi
Cahyanya menusuk membelai seperti tangisan bayi
Cahyanya jatuh menimpa sejumlah tanah di Nusantara ini
Dan bicara padaku tentang tanah-tanah kian menyempit

Seperti rimba yang menangis di pangkuan ibundanya
Meronta di antara cukong-cukong kayu yang gila
Tapi, mereka tak peduli
Batang-batang bergelondong menjadi almari koleksi

Borneo dan meranti menari sufi di atas kepunahan kaumnya
Pun si jati diri yang tak lagi menampakkan jati dirinya
Pasang matamu duhai kawan!
Dengarlah cerita yang ditulis oleh sebuah bayang-bayang

Hai kamu-kamu sekalian tahukah dengan kepunahan mereka?
Katanya, tiap tahun ribuan hektar belantara binasa
Ah, bukan, ratusan ribu hektar,
Ah, kini mereka benar-benar menjadi bayang-bayang


Garut, September 2010

Tulisan Populer