catatan guru (sukwan) di tapal batas

Ardi Mulyana H.

miskin aku berangkat
papa aku pulang
laksana angin sepoi meniup ilalang
berlalu tanpa arti
detik jam mencekik waktu
semakin lama semakin gelisah
dapur-dapurku tak lagi berasap
oh bukan, berasap namun tersendat-sendat
inilah yang kualami laksana sarapan pagi
maka, tahukah dalam kelamnya zaman
aku ingin mencipta pelita
lewat puisi aku memelita serta menulis:
“adalah, peraduan memancar binar di ufuk timur
terbit bersama surya namun tak terlihat
karena gemawan berarak hitam menutupinya
sebentar lagi menangis, sebentar lagi hujan
oh, pancaroba dalam kegilaaannya, menerabas batas
antara suatu harapan yang mungkin hampa
di sini di garut aku berpaut
oh, angin yang menghiliwir memecah sunyi
mengganggu arti dalam artinya sebuah sepi
tanpa ada jaminan dalam titian kehidupan
jikalau lazuardi kian membiru
itulah aku terbang bersama kata-kata
yang mungkin bahagia, yang mungkin kecewa
oh, gemunung yang berbaris laksana prajurit padjadjaran
semakin melantangkan suara ini dengan kedigdayaannya
demi harapan hidup dan cita luhur yang menggantung”
obat rindu, ah apalah artinya
semlohai indah jika jatuh dalam prahara
dengan badai yang kian menajam
dan barisan pohon-pohon berbagi keteguhan
ketika topan tlah menerjang
maka nyatakanlah aku hadir
di alam fana aku hidup
sang mimpi menggantung
dia berkata:
“oh, engkau terlalu senja kawan
jikalau engkau diam dan menyerah
gapailah aku dengan daya penamu
tulislah aku dengan tinta yang kou punya
dan, lukislah aku menjadi sketsa-sketsa pengetahuanmu
agar engkau berjalan menujuku,
aku pun akan berlari hendak memelukmu”
oh, kegalauan, mimpi apa yang terkatakan
semakin menombak semangat
hingga terbakar dan terbakar menjadi gelora
yang teramat sangat panas dan menggebur
laksana meteor terbakar menuju bumi
jelegur dan menggema
seperti gemuruh gunung merapi
tahukah, baris-baris syair ini kutulis dengn rasa tumpur
namun tetap berontak dengan kata-kata
maka, tiada hal yang selau kunyanyikan
selain kecewa karena kata-kata
namun, aku bukanlah keputusasaan
justru akulah gelora lahar merapi
sebutir debu halus berkata dan menghampiriku:
“apakah artinya engkau kawan?
Berbagi rasa yang kerap menautkan lewat gunung merapi
Apakah engkau pernah hidup di gunung merapi?
Ataukah hanya lamunan tanpa kejelasan?”
Aku mengerling pada penaku lantas menulis:
“aku adalah raja ketika aku menarikan pena di atas kertas
aku bisa mencipta kekacauan
aku bisa mencipta keindahan
dan aku bisa mencipta padang sahara serta merapi”
oh, selaksa riak air menerpa
tak disangka lazuardi menumpahkan air matanya
basah yang sedikit kering membagi sejuknya
oh, gelora, hujan padam akupun redam
oh, gelora, biar hilang dua terbilang
aku tetap hidup bersama buaian angin yang menghiliwir
aku tetap hidup untuk mengabdi pada-Mu
sejatinya, tiap detik dan menit aku berjalan menuju-Nya
tiap hari berpeluang untuk mati
maka padamu jua Ya Alloh aku memohon
semlohai dzat yang tak pernah tidur
kalungkanlah tenaga dalam raga ini
agar aku bisa member arti pada indonesiaku ini
oh, ibu pertiwi
aku dingin dan membeku
aku belum sempat member arti yang haqiqi
indonesiaku, gemah ripah loh jinawi aku ingin
tapi tunggulah, aku bangkit serta bangun
berusaha mencipta generasi bangsa
yang sidiq, amanah, patonah, dan tabliq
esok lusa jikalau aku mati
aku ingin bangsa ini:
“menimak, berbicara, membaca, dan menulis
dari hati ke hati
meneruskan cita yang luhur
biarlah aku mewariskan cahaya meski kecil
laksana biji zarah di padang sahara”
jiwaku kian melemah
menyaksi prahara tanpa arah
maka lewat puisi aku berpesan kembali untuk bangsa ini:
“jagalah rindu hati seorang murid
yang ingin meneruskan impiannya
jagalah bahasa kita, bahasa Indonesia
karena pujangga kita m. yamin berkata: bahasa menunjukkan bangsa”
jikalau aku menyudahi syair ini
itulah tandanya angin mulai bertiup
sauh diangkat, kemudi di buritan aku nahkodai
dan layar pun terkembang oleh angin cinta
pertanda aku mulai menyemai harapan mewujudkan cita dan hasrat
menuju satu harapan
oh, indonesiaku, “aku rindu padamu”
di samudra yang mengeplak membiru
celoteh camar-camar berbisik:
“semlohai pemuda, aku peneman perjalananmu”
berlaju melaju membelah samudra
berlaju menuju membelah deburnya ombak
menandai menerjang karang-karang yang menghalang
aku akan pamit menuju gelora
aku kan pamit menjulang tinggi ke angkasa
akulah si penjelajah kata-kata
berbagi cerita lewat pena dan kertas
berbagi rindu antara rakyat-rakyat indonesia
memecah sunyi
dan aku akan menghias nusantara
semlohai, mari kita mengarak senyum
untuk bangsa ini
aku datang bersama gelora
aku jelang dengan kabut kata-kata
dan aku menulis: “ibu pertiwi, aku cinta padamu”


Garut, Oktober 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer