Reviu Jurnal Morfologi

Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia. Oleh Lilie Suratminto. Universitas Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 1-10
Direviu oleh Ardi Mulyana Haryadi, Universitas Pendidikan Indonesia

Pendahuluan
Proses pembentukan kata hampir selalu dipengaruhi oleh masyarakat penuturnya mengingat banyak sekali ditemukan abreviasi atau penyingkatan dalam sebuah bahasa. Kridalaksana (1993: 1) mendefinisikan abreviasi sebagai, “Proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian dari kombinasi leksem sehingga tejadi bentuk baru yang berstatus sebagai kata.” Akan tetapi dalam abreviasi sebuah bahasa dapat diidentifikasi antara penggalan, singkatan, dan akronim. Penggalan merupakan penghilangan sebagian suku kata atau silabel dari suatu kata. Misalanya saja prof dari profesor, perpus, dari perpustakaan, bang dari abang, kak dari kakak, lab dari laboratorium, pak dari bapak, dan dari komandan, mang dari emang. Dengan demikian penggalan tersebut hanya menghilangkan satu atau beberapa suku kata. Dan penggalan yang baik adalah penggalan yang tak menghalangi makna dari kata utuhnya. Sama halnya dengan penggalan, singkatan pun berupaya memendekan kata dari satu kata yang utuh. Namun berbeda dengan penggalan, singkatan biasanya hanya mengambil huuf pertama dari sebuah leksem. Misalnya saja UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), TNI (Tentara Nasional Indonesia), NPWP (Nomor Pungutan Wajib Pajak), SMS (Short Message Service), dan SOS (Save Our Soul). Namun dalam singkatan tidak hanya mengambil huruf pertama dari sebuah leksem saja, dari beberapa leksem pun biasa digunakan. Misalnya saja bhs (bahasa), dng (dengan), alm (almarhum), dan hlm (halaman). Singkatan pun ada juga yang disatukan dengan kombinasi angka-angka. Misalnya saja 3D (dilihat, diraba, ditrawang), P3 (partai persatuan pembangunan), dan  LP2P (laporan pajak-pajak pribadi). Singkatan yang diambil dari huruf pertama dan terakhir dari sebuah leksem misalnya saja Ir (insinyur), dan Pa (perwira). “Pembentukan kata lain ialah apa yang disebut dengan akronim, yang berbunyi seperti kata dan diambil dari suku-suku kata tertentu berupa kata” (Samsuri, 1988: 130). Misalnya saja Kopasus dari komando pasukan khusus, Kopaska dari komando pasukan katak, Paskhas TNI AU dari pasukan khas TNI AU, Kapolsek dari kepala polisi sektor, Bakorwil dari badan koordinasi wilayah, dan Alutsista dari alat utama sistem persenjataan. Namun untuk mempertajam pemahaman maka akan diberikan pendapat dari pakarnya bahasa Indonesia. Badudu (1983: 87) menyarankan tata cara dalam hal penyingkatan kata di bawah ini.
1)      Ada singkatan yang mengambil huruf-huruf awal kata seperti: RI, RRI, TVRI, PGRI, MPR, DPR, US (United States), WHO (World Health Organization).
2)      Ada yang mengambil suku awal atau bagian awal kata seperti: Sekjen, Dirjen, Menlu.
3)      Ada yang mengambil bagian suku awal atau tengah kata seperti Pusdik (Pusat pendidikan).
4)      Ada yang mengambil suku akhir dan suku tengah kata seperti tilang (bukti pelanggaran).
5)      Ada yang mengambil suku awal dan suku akhir kata seperti wadam (wanita adam), koptu (kopral satu).
6)      Ada singkatan yang dibentuk hanya dengan mengambil bagian kata yang menonjol bunyi-bunyinya, atau gabungan jenis-jenis singkatan yang sudah disebutkan di atas; misalnya, Pusdikif  (Pusat Pendidikan Infantri), berdikari ( berdiri di atas kaki sendiri), Hankam (pertahanan dan keamanan), urhibjah (urusan hiburan dan kesejahteraan).
Demikianlah pendapatnya sebagai panduan pembentukan penyingkatan yang taat asas.
1.      Isi Jurnal
Berdasarkan pendahuluan di atas, jurnal yang berjudul “Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia” mengangkat persoalan abreviasi atau penyingkatan dalam batu nisan pada masa VOC. Tempat penelitiannya adalah Museum Taman Prasasti, Museum Wayang Jakarta, dan Gereja Sion. Museum Taman Prasasti terletak di Jl. Tanah Abang I dan Museum Wayang di Jl. Pintu Besar Utara no.27, Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta. Ternyata penggunaan abreviasi ternyata telah berlangsung sejak zaman dahulu hingga sekarang. Abreviasi yang dipakai pada batu nisan masa VOC disinyalir merupakan penghematan penggunaan huruf dalam leksem karena luas dari batu nisan itu terbatas. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Ada hal lain yang mempengaruhi penggunaan abreviasi dalam batu nisan tersebut di antaranya data nonverbal berupa simbol-simbol tertentu sebagai penambahan informasi dari teks yang ada dalam batu nisan tersebut. Dengan demikian ini pula melibatkan analisis semiotik untuk mempermudah pemahaman dari apa yang ingin dikomunikasikan dari batu nisan. Misalnya data yang ada dalam jurnal tersebut mengidentifikasi batu nisan Jacobus Lindius dan Cornelis Lindius sebagai berikut:

HIER ONDER LEGT BEGRAEVEN JACOBUS
LINDIUS COOPMAN IN DIENST DER E.-
COMP.
OVERLEDEN DEN 28 DECEMB:1683 OUD
31 JAEREN 7 MAENDEN 21 DAEGEN
MITSGADERS D. EER W. D° CORNELIUS
LINDIUS IN SIJN LEVEN 45 JAREN
GETROUT LEERAAR DER GEMEYNTE GODS
GEBOREN
A[nn]° 1618: EN ALHIER GODSALIGLYCK
IN DEN HEERE ONTSLAPEN
12 JUNY 1686 OUT 67 JAREN 8 MAANDEN
EN 16 DAGEN
ITEM
NICOLAAS PILLETIER OUDSTE SOON VAN
DEN COOPMAN E.S. NICOLAAS PILLETIER
SAL. OVERLEDEN 8 AUG .1687 OUD
9:IAREN 11: MAANDEN: EN 3: DAGEN.
H K N ° 30

Yang berarti:

’Di bawah ini dimakamkan Jacobus Lindius
Saudagar yang berdinas pada Kompeni Yang Mulia
Meninggal pada tanggal 28 Desember 1683 usia
31 tahun 7 bulan 21 hari
Juga yang terhormat
Cornelis Lindius semasa hidupnya
45 tahun taat sebagai guru agama dari
Jemaat Gereja, lahir
pada tahun 1618 dan jenazahnya dimakamkan di
sini pada tanggal 12 Juni tahun 1686
dalam usia 67 tahun 8 bulan
dan 16 hari
Di sini juga (dimakamkan)
Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat
dari seorang Saudagar
dan Nicolaas Pilletier
meninggal dengan damai pada tanggal 8 Agustus tahun 1687 dalam usia 9 tahun,
11 bulan dan 3 hari.

Di atas teksnya ada seberupa ukiran lambang nonverbal yang memberikan informasi tambahan selain dari teks. Dalam semiotik lambang kode nonverbal/visual merupakan salah satu system tanda yang bermakna di samping bahasa. Oleh karena itu dalam batu nisan masa VOC banyak digunakan bentuk nonverbal dan teks yang diwarnai dengan abreviasi morfologis. Di bawah ini akan dikutip sebagian data dari jurnal tersebut.

Tabel Data Berupa Abreviasi dan Akronim

No
Tempat
Atas nama
Abreviasi dan Akronim
1
TP                                                 
Cornelius Lindius
E.COMP; DECEMB.; D.EER W. CORNELIUS
LINDIUS; A.1618; SAL.,AUG.


2
TP                                      
                 Pieter Jansen
Van Hoorn
D.H. PIETER JANSE, SOON VAN D.H. P. V.
H. E. COMP.; DECEM.,A 1680.,NOV., D H.R
P.V., D.H, OVERL., BATA. D.H. F., OVERL.,
WED. V.D.H., P.V.H.

3
TP
Sara Pedel
L.G., N=T, A.1690.









……….







……….












Source:
Jurnal MLI: Abreviasi dan Akronim Pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia

E. COMP merupakan singkatan dari Edele Compagnie.
DECEMB merupakan singkatan dari December.
D. EER W merupakan singkatan dari  De Eerwaardige ‘Yang Sangat Mulia’ Cornelius.
D.H. => De Heer ‘tuan’ Pieter
COMP.; Compagnie.
DECEM merupakan singkatan dari December.
BATA merupakan singkatan dari Batavia.
LG ==> Laudate Gloria in Excelsis Deo ‘Pujilah Tuhan Yang Maha Mulia’           
N=T, A.1690. ‘Sesuai hukum alam untuk kamu sudah saatnya pergi’ di Tahun 1690.

Kita bisa melihat bahwa dari data nama yang ada pada batu nisan ditemui proses abreviasi dalam pemebntukan katanya. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Belanda abad 17. Dan itu menyulitkan karena berbeda dengan bahasa Belanda modern seperti sekarang. Pada dasarnya proses abreviasi di atas sebenarnya masuk juga pada kategori pembentukan kata seperti yang diungkapkan oleh Prof. J. S. Badudu. Dengan demikian proses abreviasi pada semua bahasa disinyalir mempunyai prinsip yang sama.

2.      Komentar
Abreviasi merupakan proses morfologis yang mencakup penyingkatan, pemenggalan, kontaksi, dan akronim dalam sebuah bahasa. Di dalam bahasa mana pun dapatlah diidentifikasi keberadaan abreviasi sebagai bagian dari proses pembentukan kata atau proses morfologis seperti itu. Jurnal “Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia” membuktikan bahwa sejak dahulu bangsa-bangsa Eropa (khususnya Belanda) sudah marak menerapkan abreviasi dalam salah satu bentuk pembentukan katanya. Pada zaman colonial tersebut, bangsa Belanda menjajah Indonesia sehingga di daerah Batavia (Jakarta dan sekitarnya) banyak ditemukan pemakaman orang Belanda. Jurna ini pula mengangkat persoalan bahasa secara diakronik karena bahasa Belanda yang mengalami abreviasi adalah bahasa belanda zaman dahulu. Adanya abreviasi dalam batu nisan tersebut disinyalir karena untuk menghemat tempat. Jadi abreviasi pada dahulu dan sekarang tidaaklah jauh berbeda. Kita mungkin bisa melihat abreviasi-abreviasi yang ada pada nama-nama lembaga maupun deretan took-toko. Oleh karena itu abreviasi dalam semua bahasa merupakan hal yang tak bisa dipisahkan.
3.      Simpulan
Jika kita mengambil initisari dari pemikiran Prof. J. S. Badudu menyoal abreviasi dalam bahsa Indonesia (dalam jurnal ini abreviasinya bahasa Belanda), kita selaku pengguna bahasa Indonesia mesti menge-rem meng-abreviasikan bentukan kata. Hal ini bisa mengahambat kemafhuman penutur sehingga menghalangi aspek semantisnya—Noam Chomsky menyebutnya barrier dalam The Case Filter. Dengan demikian persoalan yang menggejala ini mesti disikapi baik-baik. Allah Swt. Berfirman dalam Al Quran (Annisa: 63), “Dan berbicaralah (sampaikanlah)  kepada mereka dengan bahasa (linguistik) yang kena di hati.”




REFERENSI
Al Quran
Badudu, J. S. 1983. Membina  Bahasa Indonesia Baku 1. Bandung: Pustaka Prima.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.  

Suratminto, Lilie. “Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia” dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Tahun ke-18, No. 1, februari 2010, 1-

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer