Menyoal Teori Tanda dalam Kakawihan Barudak Sunda
Oleh Ardi Mulyana Haryadi
Kakawihan merupakan salah satu unsur budaya yang ada dalam masyarakat
Sunda. Kakawihan ini lazim disenandungkan oleh anak-anak Sunda ketika memainkan
suatu permainan (kaulinan). Dengan kata lain kakawihan disenandungkan untuk
mengiringi sebuah permainan. Secara struktural bentuk kakawihan berupa
rangkaian teks yang memiliki kesatuan utuh sebagai satuan bahasa yang lengkap.
Kakawihan termasuk pada genre sastra karena di dalamnya terdapat harmonisasi
baik bunyi, nada, ritme, dsb. Sastra merupakan representasi budaya
(bahasa) yang diekspresikan oleh masyarakat suatu bahasa. Sastra juga merupakan
cara lain dalam mengungkap identitas (budaya) yang terkungkung oleh tirani.
Tentu sastra berkembang melalui media bahasa yang
merupakan alat komunikasi terbaik yang dimiliki oleh manusia (tinjau juga
konsep langage Ferdinand de
Saussure). Konsep sastra sebagai representasi dari masyarakatnya tidak bisa
dilepaskan dari analisis semiotika. “Pada dasarnya, teori semiotika dapat
digunakan untuk menganalisis apa pun yang berkaitan dengan sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain, atau sesuatu yang pada konteks budaya tertentu
memiliki makna” (Sukyadi, 2011: 181). Dengan demikian, teori semiotika bisa
menjadi sebagai mata pisau untuk membedah makna, termasuk (teks) sastra. Dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada aspek sastra daerah yang saat
ini mulai hilang ditelan zaman. Sastra daerah merupakan aspek fondasi dalam
struktur bangunan dari sastra nasional (teks sastra berbahasa Indonesia). Tanpa
adanya sastra daerah maka sastra nasional bisa kehilangan jati dirinya sebagai parole dari refleksi budayanya. Oleh
karena itu patut kiranya kita sebagai insan bahasa untuk mempertahankan sastra
daerah sebagai kearifan lokalnya. Dalam tulisan ini pula akan lebih kental
dengan aroma strukturalisme karena strukturalisme erat kaitannya dengan
analisis bahasa, budaya, dan masyarakat (lihat Sukyadi, 2011). Tonggak
kebangkitan strukturalisme diawali dengan hadirnya buku karangan Ferdinand de
Saussure yang berjudul Course in General
Linguistics. Buku tersebut merupakan kumpulan materi kuliah yang disusun
oleh murid-muridnya setelah Saussure meninggal. Ada beberapa gagasan utama
beliau yang sampai saat ini masih berlaku dalam linguistik. Di antaranya langue, langage, parole, signified,
signifier, paradigmatik, dan sintagmatik. Langue merupakan sebuah sistem bahasa tertentu, langage merupakan konsep bahasa yang
hanya dimiliki oleh manusia, dan parole merupakan
ujaran bahasa yang ada serta kongkret digunakan oleh masyarakat bahasa. Menurut
Saussure (dalam Sukyadi, 2011: 87) “tanda linguistik terdiri atas dua bagian,
yaitu signifier (pola bunyi sebuah
kata, apakah dalam proyeksi mental-seperti kita menghafal bait-puisi-atau dalam
bentuk aktual, realisasi psikis sebagai bagian dari ujaran) dan signified (konsep atau makna kata).”
1.
Teori
Ikonisitas
Ferdinand
de Saussure merupakan salah satu peletak dasar teori ikonisitas. Ada dua
pandangannya mengenai tanda bahasa yakni konsep dan citra bunyi. “Citra bunyi bukan merupakan bunyi material yang bersifat
fisik, tetapi merupakan kesan psikis bunyi itu, yaitu kesan yang dibuatnya
dalam pemaknaan” (Sukyadi, 2011: 213). Kedua istilah itu mempunyai hubungan
yang saling melengkapi. Misalnya kita memikirkan sebuah konsep yang disebut
benda dalam bahasa kita, lalu kita merujuk pada sesuatu yang menurut kita itu
benda yang dimaksud. Dengan kata lain konsep mewakili realitas yang sebenarnya
kita sepakati dalam konvensi kebahasaan. Hubungan antara keduanya disebut
dengan tanda. Dan itu lazim disebut dengan arbitrer atau manasuka. Pengertian
tersebut menyiratkan bahwa tidak adanya hubungan alami antar konsep dan citra
bunyi. Saussure (1959: 67 dalam Sukyadi, 2011: 214) menyebut “konsep sebagai signifie (petanda) dan citra bunyi
sebagai signifiant (penanda),
sedangkan kesatuan antara keduanya disebut signe
(tanda).” Akan tetapi tidak semua tanda itu arbitrer. “Walaupun Saussure berpendapat
hubungan antara konsep atau petanda dengan citra akustis atau penanda bersifat
arbitrer, tetapi ada juga yang tidak arbiter, yaitu onomatopea dan kata seru”
(Sutami, 1999). Berbeda dengan Saussure, Pierce yang merupakan filsuf
menyebutkan tanda itu ada tiga, yakni representamen,
interpretant, dan object. “Representamen adalah bentuk (form) yang tidak semata fisik. Interpretan adalah kesan yang
ditimbulkan tanda dalam pikiran pemerhati yang dapat menjadi tanda yang lain,
sedangkan objek adalah apa yang
direpresentasi oleh tanda” (Sukyadi, 2011: 214). Dengan bertolak pada tiga
tanda Pierce tersebut, hubungan representamen
bisa langsung merujuk pada interpretan.
Logikanya bahwa keduanya bisa merujuk kepada objek. Oleh karena itu hubungan keduanya bersifat tidak langsung.
Selain adanya hubungan triadik tersebut, Pierce juga menyebutkan beberapa
istilah yang lain. Namun itu untuk lebih menekankan kepada pemahaman pada tanda
triadik tersebut yaitu, first, second, dan
third. Hal tersebut sesuai dengan
Sutami (1999) ”Hubungan tiga serangkai (triadic
relations) antara first, second, dan
third merupakan ciri teori Pierce.”
2.
Ikonisitas
Sintaksis Urutan
“Struktur
beku merupakan pasangan idiomatis yang urutannya tidak dapat dipertukarkan”
(Sukyadi, 2011: 252). Struktur beku ini bentuknya tidak bisa berubah—frezee language. Pembentukan struktur
beku ini tidak bisa dikatakan arbitrer. Struktur beku itu termotivasi karena
pasti ada pola keteraturan di dalamnya. “Dalam diagram atau ikon diagramatik
susunan penanda dan petandanya itu tidak sembarangan, melainkan ada sebab-sebabnya
atau ada keteraturannya” (Kridalaksana, 2002: 83). Dalam bahasa Indo-Eropa ada
sarjana yang meneliti tentang struktur beku, yakni Y. Malkiel, yang
mengungkapkan beberapa aspek dalam struktur beku (dalam Kridalaksana, 2002:
84-5) sebagai berikut.
1.
Chronoloical priority of a (here and there, eat and
drink)
2.
Priorities inherent in the structure of a society (Adam
and Eve, boys and girls, kings and queens)
3.
Precedence of the stronger of two polarized traits (all
or none, black and white, friend and foe)
4.
Patterns of formal preferences (aches and pains, bow and
arrow, cops and robbers)
5.
Precedence of a due to internal diffusion (from head to
foot, head aver heels)
6.
Transmission of sequences through loan translation
(father, son, and holy ghost, fearless and faultless knight)
7.
Interplay of six forces
(1968: 338-50)
3.
Refleksi Akhir
Berdasarkan pemaparan sederhana di atas, pola bahasa yang terkandung dalam
kakawihan Sunda (lagu pengiring kaulinan
barudak) terpola berdasarkan urutan-urutan tertentu dengan harmonisasi
bunyi. Penulis berasumsi bahwa itu merupakan struktur beku atau frozen style. Selain itu, dalam
kakawihan pula tercermin budaya adi luhung Sunda yang kini mulai terlupakan. Tanda
terdapat di mana saja termasuk dalam kakawihan, di situ juga sekaligus terdapat
tanda budaya.
Daftar Bacaan
Kridalaksana,
Harimurti. (2002). Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis.
Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Saussure, Ferdinand
de. (1959). Course in
General Linguistics
(terjemahan Wade Baskin).
New York: Philosophical Library.
Sukyadi, Didi. (2011). Teori dan Analisis Semiotika. Bandung:
Rizki Press.
Sutami,
A. M. C. Hermina. (1999). Ikonisitas
dalam Sintaksis Bahasa Mandarin. Disertasi Doktor pada FIB Universitas
Indonesia. Tersedia: http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/003ad80f8d57d2a197b98fbff4f112cdccdbff42.pdf [2 Juni 2012].
1 komentar:
888 casino no deposit bonus codes 2021 | DrmCD
888 Casino 여주 출장안마 Online is the 이천 출장마사지 trusted online gambling brand with a vast catalog of games 김포 출장안마 and ways to win. 성남 출장샵 Click to see details on casino bonuses, free spins & 아산 출장안마 more.
Posting Komentar