Reviu Jurnal Pragmatik
Strategi
Kesantunan Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Makasar. Oleh Nurlina
Arisnawati. Balai Bahasa Ujung Pandang. Sawerigading No. 1, April
2012 Hal. 113-120.
Direviu oleh Ardi Mulyana Haryadi, Universitas
Pendidikan Indonesia
1.
Pendahuluan
Bahasa seseorang (dan masyarakat bahasa) berkaitan dengan budayanya. Jika berbicara mengenai bahasa, itu
sekaligus berbicara mengenai budaya. Bahasa dan budaya merupakan temali yang
saling menyambung. Dengan kata lain, bahasa dalam budaya tertentu mempunyai
idiosinkrotisnya sendiri
antarpenggunanya. Tiap-tiap bahasa mempunyai caranya sendiri dalam
realisasi tindak tutur (penolakan). Ini bisa jadi bahwa budaya yang mempengaruhi bahasa
sebagaimana sarjana Jerman Wilholm Von Humbolt kemukakan—kontradiksinya dengan
Sapir-Whorf yang mengemukakan bahasa
mempengaruhi cara pandang dan berpikir suatu masyarakat bahasa. Dalam suatu
masyarakat budaya memiliki beragam cara untuk bertindak tutur. Barangkali
karena berbudaya itulah kita sebagai masyarakat bahasa memiliki beragam bentuk
atau cara mengungkapkannya. ‘Kata-kata yang
diungkapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus, yaitu makna
proposisional atau makna lokusioner (locutionary meaning) dan makna
ilokusioner (illocutionary meaning)’ (Abdurrahman, 2006).
Tindak
tutur merupakan suatu konsep linguistik sebagaimana Austin (1962) mencetuskannya dalam How To Do Things with Words. Dan kemudian gagasan tersebut
dikembangkan kembali oleh muridnya, Searle enam tahun kemudian dalam Speech Act and Essay in Philosophy of Language.
Austin
(1978:101 dalam Wiryotinoyo, 2006)) membedakan adanya tiga macam tindak tutur,
yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi. Ide Austin ialah
“ialah tuturan-tuturan performatif (singkatnya ‘performatif’) pada umumnya
berbeda dengan tuturan-tuturan konstatif (constative)
atau deskriptif” (Leech, 1993: 280). “What
are we call a sentence or an utterance of this type? I propose to call it a performative
sentence or a performative utterance , or, for short, a performative” (Austin,
1968: 6).
Penolakan merupakan salah satu bentuk dari realisasi tindak tutur.
Timbulnya penolakan karena adanya ketidaksesuaian atau keengganan sebagai
reaksi mitra tutur dari penutur. Penolakan juga termasuk tindak negasi terhadap
ajakan, tawaran, dan permintaan/permohonan. Namun, penolakan alangkah lebih
baiknya dengan mengindahkan kaidah-kaidah kesopanan. Hadirnya kesantunan
penolakan untuk menjaga perasaan dari penutur. Dengan kata lain mitra tutur mesti memegang prinsip tenggang rasa (lihat Aziz, 2001b). Salah
satu tindak komunikasi yang memungkinkan seorang mitra tutur kehilangan muka
adalah dalam tindak tutur penolakan, yaitu ketika seorang penutur
mesti mengatakan TIDAK kepada mitra tuturnya (Aziz, 2001a).
Berbagai bentuk penolakan bisa
mengancam wajah jika struktur bahasa yang digunakan ‘kasar’ atau ‘langsung’. Sebenarnya, kemungkinan ‘hilang wajah’
akibat sebuah permintaannya ditolak adalah hal yang harus diantisipasi sejak
awal oleh seorang penutur (Aziz, 2003). Itu akan lain halnya jika
penolakan menggunakan strategi santun, sehingga bisa menjaga atau menyelamatkan
muka penutur atau mitra tutur karena penolakan dekat sekali jaraknya dengan
pengancaman muka. Dengan demikian, penggunaan strategi kesopanan dalam
penolakan bisa menjadi salah satu etika moral dalam sebuah komunitas bahasa. Studi
penolakan juga berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh pelibat dalam
komunikasi. Pelibat (penutur dan mitra tutur) dipengaruhi oleh usia, status
sosial, dan power distance. Aziz
pun (2001a:15) menyatakan bahwa ada realisasi kesantunan yang berbeda antara
penutur ditinjau dari jenis kelamin, usia, jarak sosial (peranan penutur dalam
percakapan). Strategi penolakan akan berbeda
ketika memasuki ranah-ranah tersebut. Hal tersebut bisa diidentifikasi
berdasarkan pilihan diksi serta konstruksi bahasa yang berbeda—baik
atasan-bawahan; tua-muda. ‘Tipe
ungkapan penolakan tersebut dapat berupa penolakan yang sopan (positif) maupun
penolakan yang tidak sopan’ (Rijadi, 2001).
2. Isi
Jurnal
Dalam jurnal “Strategi Kesantunan Tindak Tutur
Penolakan dalam Bahasa Makasar” ini mengemukanan strategi tindak tutur
penolakan dalam bahasa Makasar. Penelitian tersebut beranjak dari hubungan
berbahasa dengan kaidah atau norma sosial (lihat Arisnawati, 2012). Berdasarkan
itulah, bahwa penutur menghadapi mitra tutur sebagaimana manusia memandang
manusia—bukan manusia dengan mesin. Dengan kata lain habluminannas. Dalam penelitian mengenai kesantunan dalam penolakan
yang dilakukan oleh Arisnawati (2012) ini mempunyai rumusan penelitian yaitu
bagaimana strategi penolakan dalam bahasa Makasar.
Penelitian itu juga
mengedepankan aspek sosiopragmatik. Sebelum lebih jauh, Tarigan (2009)
memerikan pragmatik umum dibagi menjadi, pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
Namun kerangka pemikiran dalam penelitian Arisnawati mengedepankan aspek
sosiopragmatik karena erat kaitannya dengan kondisi sosial. Itu juga menandakan
bahwa penggunaan bahasa pada ragam masyarakat bahasa. Selain itu, penelitian
ini juga mengutip dari Aziz (2001b) mengenai prinsip saling tenggang rasa.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diberikan kutipan mengenai prinsip tenggang
rasa.
Prinsip Saling Tenggang Rasa
‘The Principle of Mutual Consideration’ (PMC) dapat dirumuskan sebagai berikut
a)
Terhadap
mitra tutur Anda, gunakanlah bahasa yang Anda sendiri pasti akan senang
mendengarnya apabila bahasa itu digunakan orang lain kepada Anda;
dan
sebaliknya
b)
Terhadap
mitra tutur Anda, janganlah menggunakan bahasa yang Anda sendiri pasti tidak
akan menyukainya apabila bahasa tersebut digunakan orang lain kepada Anda.
(Aziz, 2001b).
Oleh karena itu, prinsip tenggang rasa merupakan salah satu
teori penting terhadap pendekatan pragmatik (khususnya kesantunan). Prinsip
tersebut tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga mengindahkan mitra
tutur. Sekaitan dengan hal penolakan, masyarakat Makasar sangat
mempertimbangkan tatanan masyarakat dan hubungan antarpribadi, sehingga
prinsisp saling menghargai dan menghormati secara langsung tampak dalam
realisasi pertuturan menolak yang mereka buat (Arisnawati, 2012). Dan metode
yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskripif kualitatif. Data
yang dikumpulkan dengan teknik menyimak, wawancara, teknik pencatatan,
perekaman, dan libat cakap (bandingkan dengan Aziz, 2001a; Santoso, Widayanti,
Astuti, 2010; dan Mukhamdanah, 2011).
Penelitian mengenai penolakan pada kelompok berbahasa
pertama Indonesia, Sunda, Jawa, Minang, Batak, dll pernah dilakukan oleh Aziz
(2001c). Penelitian lain mengenai penolakan dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia menghasilkan penolakan dengan satu sampai lima macam tindak tutur
penolakan (Nadar, Wijana, Poedjosoedarmo, dan Djawanai, 2005). Penelitian
serupa mengenai penolakan dalam bahasa Banjar secara umum berupa kalimat
imperatif dan kalimat deklaratif (Jahdiah, 2011). Lantas, dalam
pembahasan penelitian ini mengidentifikasi enam cara tindak tutur penolakan
yang digunakan dalam bahasa (orang) Makasar yaitu didahului ‘permintaan maaf’,
‘terima kasih’, ‘ usulan’, ‘implisit’, ‘memberi syarat’, dan ‘menyandarkan
alasan pada pihak ketiga’ (Arisnawati, 2012). Pertama, untuk penolakan dengan
‘permintaan maaf’ dalam bahasa Makasar didahului dengan kipamopporangak yang artinya
‘maafkan saya’. Dalam bahasa Sunda ‘hapunten … (dengan pronomina)’, ‘hapunten
pisan Bapa’, ‘hapunten pisan Bapa mugia teu janten renggat panggalih … ’ ‘alah
hapunten’, ‘punten’, dan ‘hapunten nya’. Beberapa ungkapan maaf dalam bahasa
Sunda tersebut memiliki derajat kesantunan yang berbeda. Untuk lebih jelas di
bawah ini akan diperikan contoh penolakan dalam bahasa Makasar yang didahului
oleh permintaan maaf.
(1) Kipamopporangak, ka niak kujama.
‘maafkan saya, ada saya kerja’
(Saya mohon maaf, saya ada kerjaan.)
(2) Tabek, tena nakukaluruk.
‘maaf, tidak saya merokok’
(Maaf, saya tidak merokok)
(3) Sori, tena nakungerang kado.
‘maaf,tidak saya bawa kado’
(Maaf, saya tidak bawa kado.)
(Arisnawati, 2012).
Menurut penulisnya, penolakan yang didahului oleh permintaan
maaf memiliki tingkat kesantunan yang tinggi. Kedua, untuk penolakan yang
didahului dengan ucapan terima kasih atau tarima
kasik. Dalam bahasa Sunda ‘hatur nuhun’, ‘ngahaturkeun nuhun’, dan ‘nuhun’.
Ucapan terima kasih bisa dikatagorikan sebagai kompensasi perasaan dari negasi.
Penolakan ini menurut penulisnya dikatagorikan sebagai penolakan yang santun.
Untuk lebih jelas di bawah ini akan diperikan contoh penolakan dalam bahasa
Makasar yang didahului oleh terima kasih.
(4) Tarima kasik ,ammanimi
ballakku.
‘terima kasih, dekat sudah rumahku’
(Terima kasih, rumahku sudah dekat.)
(5) Tarima kasik, niakmo bokbokku singkamma antu.
‘terima kasih, ada sudah bukuku seperti itu’
(Terima kasih, bukuku sudah ada yang seperti itu.)
(Arisnawati, 2012).
Ketiga, penolakan dengan menggunakan usulan. Cara penolakan
seperti ini terbilang setengah karena ada kemungkinan tidak menjadi negasi
apabila usul yang disampaikan oleh mitra tutur dipenuhi. Cara ini memiliki
kadar kesantunan normal. Dalam bahasa Sunda ‘kumaha upami’, ‘saleresna mah
kieu’, ‘sakedahna’, dan ‘saena’. Untuk lebih jelas di bawah ini akan diperikan
contoh penolakan dalam bahasa Makasar yang didahului oleh usulan.
(8) Antekamma punna allo
sannengmo bawang.
‘Bagaimana kalau hari senin saja’
(Bagaimana kalau hari senin saja.)
(9) Kattemo bawang mange ammalliangngi susu.
‘kamu saja pergi belikan dia susu’
(Kamu saja yang pergi membelikannya
susu.)
(Arisnawati, 2012).
Keempat, penolakan dengan menggunakan cara implisit. Dengan
kata lain struktur bahasa tidak langsung bermakna menolak—misal strukturnya
satu maknanya tidak melulu satu tetapi dua. Dalam bahasa Sunda cara seperti ini
lazim dengan ‘katawisna sesah hurung’, ‘muhun abdi oge milari’, dsb. menurut
penulisnya, cara seperti ini seringkali dilakukan terhadap sesame/sebaya. Untuk
lebih jelas di bawah ini akan diperikan contoh penolakan dalam bahasa Makasar
yang menggunakan cara implisit.
(10) Erok tongi kupakei
jappa-jappa.
‘mau juga saya pakai jalan-jalan’
(Saya juga mau pakai jalan-jalan.)
(11) Nalakbusuk tommi doekku.
‘mau habis juga uang saya’
(Uangku juga sudah mau habis.)
(12) Erok tonga Massetterika
‘mau juga saya menyetrika.’
(Saya juga mau menyetrika.)
(Arisnawati, 2012).
Kelima, penolakan dengan memberi syarat atau kondisi. Cara
seperti ini sepertinya hampir sama dengan penggunaan ususan. Menurutnya cara
seperti ini dalam bahasa Makasar terbilang cukup halus. Dalam bahasa Sunda
lazim ‘upami dicumponan’, ‘kedah kieu mah’, dsb. Untuk lebih jelas di bawah ini
akan diperikan contoh penolakan dalam bahasa Makasar yang menggunakan syarat
atau kondisi.
(13) Cobak teai fisika, kullejak
kutadeng anjamai.
‘seandainya bukan fisika, bisa saya barangkali
mengerjakannya.’
(Seandainya bukan fisika, barangkali saya bisa
mengerjakannya.)
(14) Punna gassing-gassingjak.
‘Kalau sehat-sahat saya.’
(Kalau saya sehat-sehat.)
(15) Anu, punna tettereki lekbak jamangku ri ballak.
‘anu, kalau cepat dia selesai kerjaan saya di rumah’
(Anu, kalau kerjaan saya di rumah cepat selesai.)
(16) Anu, punna tetterekjak ammoterek battu r sikolayya.
‘anu, kalau cepat saya pulang dari sekolah’
(Anu, kalau saya cepat pulang dari sekolah.)
(Arisnawati, 2012).
Keenam, penolakan dengan menyandarkan alasan pada pihak
ketiga. Dengan kata lain melemparkan kepada lain pihak. Cara seperti ini dalam
paling banyak dilakukan oleh masyarakat Makasar. Dalam bahasa Sunda bisa ‘cobi
ka dinya’, ‘ke sakedap urang taroskeun heula’, ‘alah saur pun …’, dsb. Untuk
lebih jelas di bawah ini akan diperikan contoh penolakan dalam bahasa Makasar
dengan menyandarkan alasan pada pihak ketiga.
(17) Teai otoku, mingka anjo
otona Ridwan.
‘bukan mobil saya, tetapi itu mobilnya Ridwan’
(Bukan mobilku, tetapi itu mobilnya Ridwan.)
(18) Teai payungku Daeng, mingka payungnya Besse.
‘bukan payung saya Kak, tetapi payungnya Besse’
(Bukan payungku Kak, tetapi payungnya Besse.)
(19) Lekbak nainrang rioloangi otowa i Tina.
‘sudah dia pinjam duluan dia mobil si Tina’
(Mobilnya sudah dipinjam duluan oleh Si Tina.)
(Arisnawati, 2012).
3.
Komentar
Simpulan
dari penelitian Arisnawati (2012) mengenai “Strategi Kesantunan Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Makasar” berhasil
mengaitkan argument-argumennya antara teori dan analisisnya. Akan tetapi, perluasan dari teori sosiopragmatik kurang terlihat
dalam penganalisisan data. Dengan demikian, kiranya akan lebih sempurna
andaikata bagaimana perilaku berbahasa masyarakat tutur dengan kondisi latar di
mana bahasa tersebut digunakan.
Dalam pembahasan, penulis juga tidak
menyertakan konteks kapan, di mana, siapa, dan tujuannya untuk apa. Lebih
tepatnya tidak terlihat SHUC atau speaker,
hearer, utterance, and co(n)text. Selain itu ada beberapa hal yang bersifat
umum yakni penentuan keenam kategori tersebut tidak diidentifikasi berdasarkan
jenis kelamin dan usia (bandingkan dengan Aziz, 2001a; dan Sukma, Agustina,
Usman, 2012).
4.
Penutup
Penelitian
ini mengidentifikasi enam jenis penolakan dalam bahasa Makasar. Barangkali bisa
lebih jika dilakukan dalam bahasa daerah lainnya. Dalam penelitian ini pula ada
penolakan yang mengambang, samar-samar/ragu-ragu seperti sinampekpi
nicinikki ‘nanti dilihat’, kutadeng ‘mungkin’ (lihat Arisnawati,
2012). Strategi samar-samar dalam membuat penolakan juga ditunjukkan oleh orang
Thailand (Deephuengton, 1992 dalam Aziz, 2001b).
Penolakan secara langsung dalam bahasa Makasar hanya akan
terjadi ketika dalam keadaan yang mendesak. Ada juga strategi penolakan yang
terkesan samar-samar. Itu bisa dilihat dan dijelaskan dengan pendekatan yang
diberikan oleh Aziz (2001b) ‘akan dapat dijelaskan dengan mudah manakala kita
berpaling pada PMC/prinsip saling tenggang rasa’. Agaknya tindak tutur
penolakan merupakan serangkaian tanda bahwa kita sebagai manusia selalu
mempunyai sebuah pilihan. Antara ‘ya’ dan ‘tidak’ seperti pasangan yang sesuai
dengan semestinya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman.
2006. Pragmatik: Konsep Dasar Memahami Tuturan. Lingua edisi-2006/5-vol-1-no-1/31.Tersedia:http://www.jurnallingua.com/edisi-2006/5-vol-1-no-1/31-pragmatik-konsep-dasar-memahami-konteks-tuturan.html
Arisnawati,
Nurlina. 2012. Strategi Kesantunan Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Makasar.
Sawerigading, No1, April 2012, pp. 113-120.
Austin,
J.L. 1968. How to Do Things with Words.
United States of America: Harvard University Press.
Aziz,
E. Aminudin. 2001a. Gaya Ki Sunda mengatakan “TIDAK”: Sebuah Telaah Sosiolinguistik terhadap Variabel Sosial yang
Mempengaruhi Realisasi Kesantunan dalam Pertuturan Menolak oleh Orang Sunda.
Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I,
Bandung, 22-25 Agustus 2001.
Aziz,
E. Aminudin. 2001b. “Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam Praktek
Pengajaran Bahasa Asing”. Makalah pada KIPBIPA IV, Denpasar, 1-3 Oktober 2001.
Aziz,
E. Aminudin. 2001c. Realisasi Tindak Tutur Menolak dalam
Masyarakat Indonesia: Kajian dari Perspektif Kesantunan Berbahasa. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni, Vol 1, no.1, 2001.
Aziz, E.
Aminudin. 2003. Pragmatik Lintas Budaya. In A. Chaedar Awalsilah & Hobir Abdullah (editor). 2003. Revitalisasi
Pendidikan Bahasa: Mengungkap tabir bahasa demi peninkatan SDM yang kompetitif.
Bandung: Andira
Jahdiah. 2011. Ungkapan Penerimaan dan
Penolakan dalam Bahasa Banjar. Sawerigading, No. 3, Desember 2011,
pp. 405-412.
Leech,
Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Mukhamdanah.
2011. Realisasi Kesantunan Berbahasa pada Etnik Jawa Saat Menyampaikan
Penolakan. Metalingua, Vol.
9, No. 1, Juni 2011, pp. 59—72.
Nadar, F. X., Wijana, I Dewa Putu., Poedjosoedarmo, Soepomo., Djawanai,
Stephanus. (2005). Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Humaniora
Vol. 17, No. 2 Juni 2005, pp. 166-178.
Rijadi,
Arief. 2001. “Ungkapan Penerimaan dan Penolakan dalam Bahasa Indonesia”.
Makalah pada KIPBIPA IV, Denpasar, 1-3 Oktober 2001.
Santoso,
W. J., Widayanti, D. V. & Astuti, D. 2010. Bentuk, Strategi, dan Kesantunan
Tindak Tutur Menolak dalam Interaksi Antarmahasiswa Prodi Sastra Prancis FBS
Unnes. Lingua VI, Juli 2010.
Sukma,
F. R., Agustina, & Ngusman. 2012. Kesantunan Berbahasa Mingangkabau dalam
Tindak Tutur Menyuruh di Kenagarian Tambang Kecamatan IV Jurai Kabupaten
Pesisir Selatan. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1 No. 1
September 2012; Seri G 515 - 599 532, tersedia:
ejournal.unp.ac.id/index.php/pbs/article/download/449/373
Tarigan,
H.G. 2009 . Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung.
Wiryotiyono,
Mujiyono. 2006. Analisis Pragmatik dalam Penelitian Penggunaan Bahasa. Bahasa dan Seni, Tahun 34, No. 2,
Agustus 2006, pp. 153-163.
0 komentar:
Posting Komentar