Mental Bangsa dan Pendidikan


Oleh Ardi Mulyana Haryadi

Sejatinya bangsa kita belumlah terbebas dari kungkungan imprealisme. Sejak abad 16 tahun 1596 perusahaan dagang Belanda VOC menginjakkan kakinya di tanah air tercinta ini. Suasana kolonialisme sudah terasa dan penjajahan berlangsung selama ratusan tahun. Sampai pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah itu nuansa Japanisasi pun dimulai dengan propagandanya, “Asia untuk bangsa Asia.” Hingga pada akhirnya bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Impreliaslisme fisik pun sudahlah usai melalui berbagai perjuangan para patriot bangsa. Yang ada sekarang adalah imprealisme mental. Di dalam realita yang ada, bangsa kita kerap kali dihadapkan pada beberapa isu-isu mengenai eksistensinya sebagai wadah yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia telah ditempa dalam kawah candradimuka sebagai negara jajahan bangsa asing. Memang semua itu telah berlalu dengan meninggalkan catatan historis yang panjang. Dahulu, hanya anak demang, wedana, dan anak-anak yang berdarah biru saja yang bisa merasakan bangku sekolah. Selebihnya hanyalah kumpulan anak-anak cacah kuricakan yang buta aksara. Alhasil, bangsa kita yang ketika itu dijajah semakin saja mudah untuk dibodohi oleh para penjajah. Akan tetapi, lahirlah beberapa tokoh dari berbagai golongan yang peduli pada pendidikan bangsa kita. Sebut saja di antaranya Bung Hatta, M. Yamin, dan Ki Hajar Dewantara. Beliau-beliau boleh dikata sebagai perintis kemajuan dalam dunia pendidikan. Pada waktu itu pendidikan masih dipandang sebagai barang langka.

Kontradiksi Pendidikan Zaman Sekarang

Meskipun pendidikan sekarang jauh lebih baik dari zaman kolonialisme, pendidikan sekarang sebenarnya mengalami beberapa kemerosotan. Hal ini diyakini sebagai dasar dari kesemrawutan sistem pemerintahan di negara kita. Padahal negara kita secara mental dahulu telah digodok dalam berbagai jenis kolonialisme penjajah. Serta konsep nenek moyang kita yang mewariskan faham bhinneka tunggal ika dengan adat ketimurannya telah menunjukkan bangsa kita mampu meraih kemerdekaan. Akan tetapi, mental bangsa dan pendidikan kita sekarang jauh panggang dari api. Alih-alih setara dengan keadaan pendidikan di negara-negara maju malah kita mulai disalip oleh negara tetangga. Ini menjadi PR kita semua. Bukankah tidak mungkin konsep pendidikan kita sekarang yang tampak dari luar begitu mulus. Tetapi di dalam mengalami keborokan-keborokan. Ini bisa jadi karena fenomena berikut ini. Pertama, aplikasi dari konsep bhinneka tunggal ika yang sering disalahartikan. Penerapan yang tidak tepat kerap menimbulkan kerawanan sosial yang dapat saja menimbulkan pertikaian, egoisme, salah paham, sentimen kelompok, SARA, dan sebagainya. Kedua, aparatur pemerintah yang menutup mata mengenai kesenjangan sarana prasarana pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan. Ketiga, guru sebagai garda utama yang luput dari perhatian (terlebih para guru sukarelawan yang tidak mendapat honor yang layak). Keempat, lemahnya budaya literasi di kalangan pendidik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para guru mayoritas tidak berkarya tulis. Kelima, derasnya pilihan budaya (teknologi) asing yang memanjakan anak didik kita. Oleh karena itu, peran serta orang tua diperlukan di sini sebagai pembimbing. Beda dengan dahulu sebelum teknologi masuk anak-anak tidak mempunyai pilihan lain selain membaca dan menulis. Sehingga banyak melahirkan penulis-penulis yang hebat di masa kini. Keenam, biaya pendidikan semakin tidak terjangkau. Ini sama ubahnya seperti pendidikan zaman kolonialisme. Bedanya sekarang hanya orang yang mampu yang bisa sekolah—khususnya pada jenjang pendidikan tinggi.

Salah Satu Solusi

Herialeiktos berkata, “Panta rei”, semua mengalir. Begitu pula dalam pendidikan yang merupakan sebuah sistem yang terus bergulir. Jika sistem yang satu tidak tepat maka akan berimbas pada sistem yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintah wajib oper perseneleng. Dengan artian mengubah paradigma lama mengenai pendidikan di negara kita. Salah satunya, universitas-universitas wajib menghasilkan lulusan-lulusan yang kreatif. Terlebih yang kreatif dan produktif dalam menulis. Seringkali lulusan-lulusan universitas menjadi pengangguran terdidik. Bahkan ada istilah sarjana salon—kredo Amin Rais, yang tidak mau berkarya tulis. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan yang sedang berjalan saat ini tidak ubahnya seperti pendidikan yang terkungkung oleh kolonialisme. Seperti apa artinya sebuah gelar akademik bila tidak kreatif dan selalu berpikiran sempit. Itu semua niscaya mempengaruhi mental bangsa dan pendidikan negara kita.


Garut, 18 September 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer