Hembus Napas Akhir di Ujung Senja



Hembus Napas Akhir di Ujung Senja

Oleh Ardi Mulyana Haryadi

            Pagi itu matahari menyinari kapal gagah dengan persenjataan rudal permukaan-ke-permukaan aerospatiale MM-38 Exocet : 4 pucuk (2 x 2). Serta Meriam Bofors 57 mm/70 : 1 pucuk, kecepatan tembakan 200rpm, berjangkauan maksimum 17 km (9,3 mil laut) dengan berat amunisi 2,4 kg, anti kapal, pesawat udara, helikopter, rudal balistik, rudal anti kapal, berpemandu tembakan Signaal WM28. Semua menempati penjuru kapal yang terlihat gagah di atas kapal perang Republik Indonesia, ya KRI Adipati namanya di bawah Komando Armada Barat dengan nomor lambung 814, kapal perang jenis  perusak kawal berpeluru kendali yang mutlak diperlukan dalam operasi pertempuran di laut.
Hari serasa bersemangat seperti deru mesin kapal yang tengah beranjak memanas! Tentara angkatan laut yang menjadi awak kapal  calon kesuma bangsa yang bersiap dalam menjaga keutuhan Republik Indonesia. Indonesia,  negara yang indah nian bak sebuah mutiara terhampar di antara relung-relung tanah selembut sutra yang kaya dengan segala karunia Tuhan seakan memacu derasnya pembuluh darah para tentara untuk menjaganya sampai hembusan nafas terakhir. Ya, semangat Nasionalisme mereka tidak perlu diragukan lagi, semangat mereka kuat laksana semangat matahari terangi alam ini. Sekuat suara lantang sumpah Sapta Marga untuk berbakti terhadap ibu pertiwi asri nan permai. “Tabah Sampai Akhir “ ya, itu perinsip mereka awak KRI Adipati.
 Terlihat seorang Letnan Kolonel Masturi, Komandan KRI Adipati yang berambut cepak berseragam putih berdiri di ujung  haluan yang lengkap dengan atribut kepangkatannya sedang memantau luasnya hamparan samudra. Tak lama berselang datang Kapten Marwoto perwira navigasi tempur menghampirinya dengan sedikit napas setengah terengah-engah. “Lapor  Komandan, harap memberi komando, mesin sudah memanas siap untuk melaksanakan tugas mulia menjaga negara” katanya. Dengan penuh wibawa sang Letkol berbicara pada anak buahnya. “Kapten, segera siapkan serta kumpulkan awak kita di dek kapal dengan senjata lengkap dan perintahkan kepada perwira bagian amunisi Letda Mulyana untuk mempersiapkan seluruh persenjataan kapal ini dengan lengkap” kata komandan. Jawab Kapten Marwoto, ”Siap perintah dilaksanakan.” Tidak lama berselang seluruh awak kapal telah berkumpul. Sang komandan yang berdiri di bawah kibaran Merah Putih berbicara lantang ”Wahai seluruh calon kesuma bangsa, hari ini kita akan berangkat mempertahankan kedaulatan Indonesia dari serangan bangsa lain yang telah lancang mengusik kedaulatan  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini. Di tengah samudra nanti, kita akan berperang menghadapi armada laut musuh, marilah kita sejenak merenung dan berdoa kepada  Tuhan semoga kita diberi kemudahan serta syahid, berdoa dimulai” perintah sang komandan. Terlihat tegar para awak kapal dengan keringat mengucur di dahi salah seorang awak kapal. Tak lama selesai berdoa, sang komandan menerima kabar dari Panglima Komando Armada Barat di bawah komando mabes TNI untuk segera berangkat menghalau kapal perang musuh pada 200 mil laut perairan barat bersama KRI-KRI lainnya dalam formasi tempur dengan sandi yuda “Gemuruh Samudra.”. Kapten Marwoto berteriak agar semua bersiap menuju tempat tugas masing-masing  “Komando siap sedia, dua menit menjelang pemberangkatan” lalu seluruh awak kapal menempati posisi masing-masing.
            Mayor Atmaja selaku nakhoda kapal menyalakan sirine tanda kapal mulai berangkat. Letkol Masturi duduk satu tingkat di atas kursi Mayor Atmaja agar sang komandan bisa memandang luasnya samudra medan pertempuran di dalam ruang kendali kapal. Kemudian Letkol Masturi menerima pesan dari istrinya yang berisi “Ayah, istrimu ini sedang mengandung anak pertamamu, berjanjilah untuk pulang dan menang, aku sangat mencintaimu.” Lalu Letkol Masturi membalas pesan dari istrinya sembari menyeka air matanya, “Ibu, tabahkan hatimu itu, ayah mendapat tugas mulia, jika sampai ayah tak kembali pulang, ceritakan pada anak kita bahwa ayahnya adalah seorang perwira laut yang gagah berani.” Sesudah mengharu biru suasana tersebut Kapten Marwoto sudah bersiap di posisinya bagian navigasi tempur KRI Adipati. Berselang kapal sudah berjalan maju membelah laut seperti Arjuna maju dalam bratayuda membawa panah melawan Adipati Karna.
“Kapten, sudah terlihatkah dalam radar kapal musuh? Tanya Letkol Masturi. “Belum komandan, musuh belum terlihat” jawab Kapten Marwoto. Awak kapal yang telah menempati posisi masing-masing terlihat tabah menunggu perintah Letkol Masturi selaku komandan kapal.
Terlihat empat tentara Kelasi Satu dan Kelasi Dua yang bermandikan sinar surya mengoprasikan rudal jarak dekat yang tetap tabah dalam tugasnya. Di bagian belakang kapal lima tentara berdiri mengoprasikan senapan anti-kapal terbang bersiaga penuh keberanian. Lima tentara operator meriam utama yang tugasnya mengisi amunisi meriam kelihatan sedang  berdoa. KRI Adipati terus melaju dengan gagahnya membelah ganasnya samudra. Setelah sekian lama melaju Mayor Atmaja berteriak “Komandan! Itu kapal musuh”, kapal perang musuh keluaran terbaru berjenis korvet kelas sigma dan berteknologi beberapa tingkat di atas KRI Adipati milik Indonesia.  Sontak Letkol Masturi segera memerintahkan siap kepada awaknya seraya di iringi sirine tanda bahaya. “Peran tempur; peran tempur; peran tempur” Letkol Masturi memberi kabar ke Armada Barat.
            Saat itu hamparan samudra yang lenggang dan tenang berubah seketika bagai gemuruh air ketika hujan deras karena manuver senjata masing-masing. “Prajurit siaga di tempat masing-masing” kata sang komandan. Kapten Marwoto dalam radar melihat kapal musuh berada pada jarak sekitar 2 km. Terhenyak sang komandan melihat  musuh menembakan rudal permukaan-ke-permukaan. Letkol Masturi berkata “Tangkis segera seraya lancarkan serangan balasan dengan satu torpedo AEG SUT.” Kapten Marwoto sebagai navigasi tempur segera memberikan koordinat kepada operator torpedo, “ 56 LU, 25 BT luncurkaan” teriaknya. Di permukaan laut terlihat 1 buah rudal di hadang oleh satu torpedo dari KRI Adipati sebagai tangkisan serta serangan balasan dan rudal tersebut berhasil dihadang.
Dhuaarrrrrrr…. Suara menggelegar akibat tangkisan berhasil sesuai target. Jarak kedua kapal semakin mendekat seiring hari semakin siang, pertempuran tersebut ibarat Arjuna melawan Adipati Karna karena sama-sama kuat walaupun KRI Adipati kalah ukuran dan teknologi, tapi itu semua tidak menyurutkan semangat para tentara kita. Para awak sebagian saling tembak memakai senapan oerlikon 20mm/70, masing-masing korban pun mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Tak lama sang komandan memerintahkan ”Luncurkan meriam utama yang dua buah” dua operator meriam langsung mengarahkan tembakan ke arah musuh. Rentetan tembakkan keluar dari meriam bofors 57 mm/70 menuju musuh. Kapal musuh kelabakan karena KRI Adipati mengecoh kapal sekutu dengan taktik  memutar sambil menembak, tak kalah sampai di sini, musuh menyerang serta menangkis dengan intensitas tinggi sehingga KRI Adipati terkena pada sisi lambung, Mayor Atmaja segera menghindar tapi tetap mengenai sisi lambung kapal, pada keadaan terdesak seperti itu komandan berkata “Segera siapkan semua torpedo AEG SUT yang kita miliki dan tembaaaaaaaak” teriak komandan. Semua awak yang menjadi operator senjata segera mematuhi perintah sang komandan. KRI Adipati yang tidak lama lagi akan tenggelam segera memuntahkan segala amunisi yang dimilikinya. Tetapi meskipun berada pada jarak dekat serangan dari KRI Adipati bisa di tangkis musuh. Hari semakin senja, KRI Adipati kehabisan amunisi, yang ada hanya para tentara Indonesia saling tembak dengan senapan. Senja semakin merona, kapal musuh berada di atas angin karena KRI Adipati akan segera tenggelam. Letkol Masturi memberi perintah ”Tabrakan kapal ini segera dan para awak bersiap untuk gugur” dengan sisa tenaga akhir KRI Adipati melaju dengan kekuatan penuh. Letkol Masturi, Mayor Atmaja, Kapten Marwoto serta seluruh awak kapal tersenyum seranya berdzikir karena akan gugur dalam pertempuran itu. Tapi sebelum KRI Adipati mengenai kapal musuh untuk ditabrakan,  sebuah rudal balistik berhulu ledak 250 kg sudah terlihat menuju geladak KRI Adipati dan “ Buuuuuummmmmmm” suara menggelegar pertanda KRI Adipati hancur lebur meski tak lama kapal musuh pun tenggelam telak terkena rudal permukaan-ke-permukaan aerospatiale MM-38 exocet berhulu ledak 165 kg amunisi terakhir dari KRI Adipati.

Epilog
            Mereka semua awak KRI Adipati sah menjadi kesuma bangsa yang gugur pada hamparan samudra di senja hari citranya semerbak mewangi tertanam dalam sanubari rakyat Indonesia sesuai dengan prinsip mereka Tabah Sampai Akhir”.
Senandung Amunisiku
Kesuma bangsa, tanpa peluru engkau jadi apa, dengan sedikit tenaga  kou baktikan darahmu itu yang mengalir sederas tangis ibu pertiwi di malam hari, renung suci menggugah jasa baktimu seindah bunga melati menguncup memekar di pagi hari, hanya meriam lusuh yang kou punya, tapi mampu menembakkan pengabdian tiada tara kepada ibu pertiwi, lihatlah pengorbananmu mendarah daging dalam qalbu sesejuk embun menetes pada kulit insan yang terluka, semangatmu laksana gemuruh ombak yang menerjang segala aral, jasamu tak akan hilang terhapus waktu karena selalu tertulis abadi dalam hati

Walaupun begitu Indonesia masih memiliki semangat para awak KRI-KRI Adipati lainnya yang diharapkan semangat itu kita semua yang memilikinya. Amin
***



Jalasveva Jayamahe
                                                           
KRI Ki Hajar Dewantara
Spesifikasi pada cerita fiksi di atas adalah sebagian dari spesifikasi KRI Ki Hajar Dewantara dengan no lambung 364.

Cerita fiksi sederhana  ini saya dedikasikan untuk mengenang jasa besar para pahlawan yang gugur di medan pertempuran (laut Aru) demi membela Tanah Air agar sedikitnya bisa menggugah kembalinya  rasa NASIONALISME kita. Jayalah Indonesiaku. Jalasveva Jayamahe.


Catatan: Cerpen ini seperti yang saya sampaikan pada Dr. Abdul Hasim untuk tugas Apresiasi Prosa Fiksi dengan beberapa perubahan--sewaktu saya masih kuliah.




0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer