Hermeneutik Prosa Fiksi pada Cerpen “Kenangan” karya Korrie Layun Rampan

Hermeneutik Prosa Fiksi pada Cerpen “Kenangan” karya Korrie Layun Rampan

Ardi Mulyana H.


I.                    Unsur Intrinsik

A.      Latar (setting)
Latar atau setting yang terdapat pada cerpen “Kenangan” karya Korrie Layun Rampan ini bisa dikategorikan sebagai latar yang bersifat psikologis serta fisikal. Berdasarkan kategori tersebut maka latar dalam cerpen “Kenangan” dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
1.      Sanatorium
Sanatorium merupakan peristirahatan untuk menyembuhkan orang yang berpenyakit tertentu. Seperti tampak pada kutipan berikut ini.
…”Tak baik terlalu banyak melamun, Sri. Hari telah gelap. Nanti ditegur suster…
Ada kehampaan yang tiba-tiba menyeruak datang melanda dadaku. Kini aku terdampar di tempat ini. Di sanatorium ini. Kematian mas Heru sehari sebelum hari pernikahan kami, dan kematian kedua orang tua kami saat tepat hari pernikahanku membuat dadaku menjadi ringkih. Duka yang menyekat dalam hidupku membuat hidupku jadi berantakan…”

B.      Latar Psikologis
Dalam mendeskripsikan latar psikologis cerpen ini. Di bawah ini mencoba untuk diungkapkan.
1.      Senja Hari
Laksana harapan yang mulai menipis. Senja hari menjadi latar psikologis dalam cerpen ini kala Sri sedang berdialog dengan kenangan-kenangan yang mungkin pahit dalam dirinya. Sri melamuni kejadiankejadian silam yang membuatnya terpusuk secara psikologis. Dengan kata lain, masa lalunya membuat ia terpaksa harus beristirahat di sanatorium.

C.      Penokohan dan Perwatakan
Tokoh-tokoh dalam cerpen ini dapat diidentifikasi berdasarkan dua kategori yakni tokoh utama dan tokoh tambahan.
1.      Tokoh Utama
Tokoh utama dalam cerpen “Kenangan” ini yaitu Sri. Ia mendapatkan perhatian yang besar dalam cerpen ini karena dominasinya dalam jalur utama cerita ini. Ia pun tokoh yang muncul dengan dialog-dialog yang penuh kemisterian ketika ia sendiri bermonolog dengan masa lalunya. Yang seakan Mas Heru (calon suaminya yang meninggal sehari sebelum hari pernikahannya) itu masih hidup. Dan kenangannya seakan jelas menyayat hatinya Sri.
Untuk itu berikut kutipannya.

“Cinta itu saling memahami,” kata Mas Heru suatu kali.
“Dengan perasaan yang bergelora, begitu?? Aku bertanya.

Dialog-dialog dalam kenangan Sri begitu penuh rasa syahdu.

“Bersama Mas Heru hidupku memang selalu penuh harapan. Penuh bunga. Penuh kisah dan cerita. Penuh rancangan. Selalu ada hari. Selalu ada waktu. Selalu penuh suka. Walaupun sering kami berselisih paham. Tetapi semuanya dapat diselesaikan dengan saling pengertian.
‘Tiga hari lagi, tiba pernikahan kita. Dik Sri harus hati-hati…’ Mas Heru mengingatkan aku. ‘Jangan sampai…’
‘jangan sampai apa?’
‘Jangan sampai terjadi apa-apa dengan dirimu.’
‘Juga Mas Heru.’
‘Juga aku..”
Di sini Mas Heru mengingatkan Sri agar selalu berhati-hati karena tiga hari lagi akan menikah. Akan tetapi kenyataan berkata lain, Mas Heru meninggal sehari sebelum hari itu datang. Dan keesokan harinya kedua orang tuanya ikut meninggal.
2.      Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan dalam cerpen ini adalah Surti. Berikut kutipannya.
“Jangan banyak melamun Sri…’ suara Surti mengagetkanku’
‘Aku memikirkan anakku…’
‘Anak?’
Tentu Surti tak bisa membayangkan anak. Karena ia belum mempunyai suami. Apalagi hamil dan beranak.”
3.      Perwatakan
a.      Dalam cerpen ini tokoh protagonis jatuh kepada Surti.
b.      Sedangkan antagonis dalam cerpen ini tersirat kepada situasi beban mental yang dihadapi Sri.
D.     Alur (plot)
Dalam sebuah karya sastra (cerpen) alur merupakan suatu susunan kejadian-kejadian yang tersusun dengan logis. Dan di dalam cerpen ini pun mempunyai tahapan-tahapan tertentu seperti eksposisi, komplikasi, konflik, klimaks, revelasi, dan konklusi.
1.      Eksposisi, yakni tahapan dimulainya suatu cerita. Ibaratnya gerbang masuk. Seperti pada kutipan di bawah ini.
“Matahari telah terjatuh di atas bukit. Warna kungingnya yang tadi seperti melukiskan bianglala di atas dedaunan dan hamparan sawah, kini telah berubah menjadi jingga yang pupus”
….
2.      Komplikasi dan konflik, yakni suatu tekanan-tekanan yang berkembang menjadi sebuah konflik. Seperti pada kutipan di bawah ini.
….
“Tapi hidup tak berhenti pada cinta?’
‘Jika hidup berhenti, hidup itu sudah mati.’
‘Mati?’
‘Setiap yang hidup selalu bergerak. Cinta pun bergerak. Cintalah yang mengerakkan kehidupan.’
‘Jadi cinta bukan hanya bersifat jasmani?’
‘Ada yang jasmani. Ada yang rohani. Kekuatan cinta yang bersifat jasmani dan rohani harus seimbang.’
‘Seimbang?”

3.      Klimaks, yakni puncak dalam suatu cerita. Seperti kutipan di bawah ini.

“Apa artinya dunia?’
‘Seluruh yang ada punya dunia. Makhluk hidup atau mati sama-sama punya dunia sendiri-sendiri. Punya misteri masing-masing. Dunia artinya kehidupan…’
4.      Revelasi, terbukanya tabir cerita yang mendasar. Seperti pada kutipan di bawah ini.

“Setiap orang harus mencari dan kemudian memilih. Dalam perkawinan, pilihan harus yang terakhir. Apakah yang pertama dan terutama, tetapi yang pasti, haruslah yang terakhir, dan hanya satu. Dari situ akan muncul suata kesatuan.’
“Tetapi lelaki punya sifat cepat bosan, dan karena lelaki lebih merdeka, seringkali lelaki lupa pada sumpah setia”
5.      Konklusi, yakni penyelesaina cerita yang berupa rasa senang, sedih, dan lain sebagainya. Seperti kutipan di bawah ini.

“Ada kehampaan yang tiba-tiba menyeruak datang melanda dadaku. Kini aku terhantar di tempat ini. Di sanatorium ini. Kematian Mas Heru sehari sebelum pernukahan kami, dan kematian kedua orang tuaku saat tepat hari pernikahanku membuat dadaku menjadi ringkuh…”

E.      Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Dan sebagai cara atau pandangan yang dipergunakan oleh sang pengarang. Dan di dalam cerpen ini, pengarang menempatkan dirinya sebagai sudut pandang persona pertama “aku” (first-person point of view). Pengarang adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita ini. Seperti kutipan di bawah ini.

“Aku jadi sama sekali tak berarti setelah aku berusaha untuk member arti kepada hidupku. Aneh rasanya. Apa yang kuidamkan bahkan berbuah pahit maja. Seperti tak mampu kutelan kenyataan. Semuanya sepahit empedu.”
F.       Tema
Tema, yakni pokok utama atau gagasan yang terdapat pada cerita. Dan di dalam cerpen ini mengemukakan tema “romantika” sepertinya kasih yang tak pernah tersampoaikan karena ada suatu peristiwa yang membuat tokoh utama mengalami konflik batin. Seperti pada kutipan di bawah ini.

“‘Tiga hari lagi, tiba pernikahan kita. Dik Sri harus hati-hati…’ Mas Heru mengingatkan aku. ‘Jangan sampai…’
‘jangan sampai apa?’
‘Jangan sampai terjadi apa-apa dengan dirimu.’
‘Juga Mas Heru.’
‘Juga aku..”
G.     Amanat
Amanat, yakni seberupa pesan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca dalam sebuah cerita. Seperti pada kutipan di bawah ini.

“Setiap orang harus mencari dan kemudian memilih. Dalam perkawinan, pilihan harus yang terakhir. Apakah yang pertama dan terutama, tetapi yang pasti, haruslah yang terakhir, dan hanya satu. Dari situ akan muncul suata kesatuan.”

II.                  Analisis Mimesis
Mimesis, merupakan jiplakan atau tiruan. Beragam pendapat orang mengenai mimesis tersebut. Akan tetapi sebuah karya sastra harus mempunyai tenaga untuk menciptakan kenyataan dalam sebuah fiksi. Meski sebuah cerita, tetapi keorisinalitasan sebuah kaya terletak pada bagaimana karya tersebut mampu menciptakan dunia yang sama dengan dunia nyata. Dengan demikian, konsep mimesis dapat dikatakan sebagai “roh’ dalam sebuah karya sastra. Seperti dalam cerpen “kenangan” karya Korrie Layun Rampan ini mengisahkan romantika yang sering terjadi pada dunia nyata. Dengan kata lain, cerpen ini mempunyai kekuatan untuk mencipta dunia khayal secara riil atau konkret.


III.                Pragmatik
Pragmatik, yakni pemakaian bahasa sebagai sarana kominikasi. Dan dalam linguistik, posisi pragmati merupakan salah satu tolok ukur untuk menelaah bahasa yang digunakan (speech event). Komunikasi dalam bahasa inilah yang memungkinkan terjadinya sebuah cerita. Dan dalam cerpen ini dialog-dialog pragmatis mendominasi (meski gaya bahasa Korrie Layun Rampan begitu mendominasi dengan metaphor-metafornya yang tulus) setiap tahapan-tahapan yang ada. Dengan demikian antaa gaya bahasa serta kepragmatisan berdiri salaing harmonis. Dan di situlah cerpen ini mempunyai ketepatan dalam bercerita sehingga pembaca seolah-olah dibuat menjasi “aku”. Seperti pada kutipan di bawah ini.

“Seperti api yang membakar tanah…’
‘Membakar tanah?’
‘Ya. Api yang membakar tanah yang telah dicetak menjadi bata. Batanya keras. Dibuat menjadi bahan membangun rumah.’
‘tempat bercinta?’
‘Ya, tempat bercinta. Melahirkan anak-anak dan generasi.”

Tampak pada kutipan tersebun tindak tutur antara Sri dan Mas Heru yang penuh filosofi kehidupan.

IV.                Pengarang
Pengarang cerpen “Kenangan” ini adalah Korrie Layun Rampan. Dari karya-karyanya yang ada terbukti dengan gaya bahasanya yang khas. Dengan metafora yang mudah dan sederhana namun menggairahkan. Boleh dibilang Korrie Layun Rampan seorang cerpenis yang kharismatik. Di dalam cerpen ini Korrie menempatkan dirinya sebagai persona pertama “aku”. Memang jalijnan ceritanya mudah dicerna, panta rei, mengalir apa adanya. Dengan gayanya yang “memukau” Korrie menonjolkan tokoh-tokohnya dengan keadaan yang konkret. Dan suasana kehidupan yang kerap laksana “badai prahara”. Akan tetapi, Korrie dengan cermatnya memotivasi lewat karyanya sehingga dapat memberikan cerminan pada kehidupan. Suka atau duka pun dilukiskan sebegitu membumi dengan gaya bahasanya. Sekali lagi perlu ditekankan di sini bahwa Korrie “gaya bahasanya” memukau.

V.                  Tiruan Alam
Dalam cerpen ini. Korrie berusaha melukiskan sebuah kisah “romantika” yang tak pernah ada penyelesaian. Ceritanya dibiarkan menggantung dan membuat rasa penasaran pembaca. Dan itulah cerpen yang bagus. Pembaca dibiarkan menjadi dewasa karena bisa menginterpretasikan jalan akhir pada sebuah cerita. Cerpen “Kenangan” ini Sri tak pernah mendapatkan apa yang ia harapkan. Mas heru yang bakal menjadi suaminya meninggal. Ditambah kedua orang tuanya menyusul. Di sini perasaan yang menjadi antagonis. Yakni perasaan Sri sendiri yang depresi karena menghadapi tekanan yang datang silih berganti. Cerita ini pun kerap ditemui di dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, universalnya di-mimesiskan Korrie dalam cerpen “Kenangan” ini.

VI.                Ekspresif
Dalam sebuah karya sastra (cerpen) ada unsur intrinsik. Dan ada pula unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik telah diterangjelaskan di atas. Tetapi di sini akan dicoba untuk menerangjelaskan unsur ekstrinsiknya cerpen “Kenangan” ini. Unsure ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme dalam karya sastra. Bagaimanapun unsur ekstrinsik dapat mengisi kekosongan budaya dalam sebuah karya sastra. Dalam cerpen “Kenangan” ini, kondisi sosial serta psikologis yang membawa pembaca terhanyut dan bisa saja membuat pembaca berempati terhadap Sri selaku tokoh utama. Ketika keadaan yang disangka akan bahagia namun beujung kemalangan. Seperti pada peribahasa, “Hendak memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.” Nah di sini kita dapat memetik pembelajaran bahwa bagaimanapun manusia berencana, pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan.

***

Daftar Bacaan

Aminuddin. (2009). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Baru Algensindo.
Esten, Mursal. (1981). Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung. Angkasa.
Keraf, G. (1984). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Layun Rampan, Korrie. (1991). Ratapan. Jakarta. Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Rani, A., Arifin, B. dan Martutik. (2004). Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing.
Suriasumantri, Jujun S. (2001). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Tarigan, Henry Guntur. (1984). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung. Angkasa.

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer