PENDIDIKAN DAN BEBERAPA ASPEK DI DALAMNYA



Ardi Mulyana H.


A.     Pengantar
Sebelum lebih jauh, mari kita cerna, apakah pendidikan itu? Di sini perlulah kiranya diterangkan mengenai dua istilah, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, ssedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan (Purwanto, 1998: 3). Sejak zaman dahulu para filsuf meramalkan tentang pendidikan jauh-jauh ke depan. Hal ini dapatlah dimaklumi karena pendidikan tidak hanya berjalan statis dalam suatu kurun waktu tertentu saja (sinkronik). Akan tetapi pendidikan itu berubah mengikuti perkembangan zaman ke zaman (diakronik). Dengan kata lain pendidikan itu dinamis. Selalu berubah dan berubah menuju ke arah yang lebih baik. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mengubah serta membentuk pola pikir masyarakat akan betapa luasnya perhelatan segala aspek kehidupan. Membantu manusia menyelesaikan beberapa problema yang ada. Baik secara sosial, ekonomi, politik, budaya, bahasa, psikologi, serta beragam hubungan antarmanusia. Dengan kata lain peran pendidikan boleh diibaratkan sebagai air hujan ketika kemarau tiba. Pendidikan hadir karena manusia sendiri membutuhkannya. Dengan pendidikan, manusia mempunyai otak untuk didayagunakan sebagai acuan dalam menyikapi hal yang ada. Oleh karena itu, sebagai salah satu unsur terpenting yang ada dalam kehidupan, pendidikan tidak boleh berjalan di tempat. Manusia berusaha keras untuk terus berpikir sehingga terjadilah apa yang dinamakan dengan “dinamisme pendidikan.” Dalam Dictionary of Education, pendidikan sendiri diartikan (a) proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat di mana ia hidup, (b) proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehinggga mereka dapat memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan yang optimum.

B.      Pendidikan yang  Direncanakan
Sejatinya, segala sesuatu memerlukan sebuah perencanaan yang matang agar apa yang diharapkan berjalan dengan hasil yang seberupa tujuan yang diinginkan. Begitu pula mengenai pendidikan yang memerlukan sebuah perencanaan. Pada hakikatnya  perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menyiapkan mengenai apa yang diharapkan terjadi dan apa yang akan dilakukan (Syaefudin Sa’ud dan Makmun, 2009: 3-4). Apalah artinya segala sesuatu hal tanpa adanya perencanaan. Semuanya akan menjadi buram dan kabur tak jelas. Ini juga jelas berlaku bagi pendidikan. Pasalnya perencanaan dalam pendidikan adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Mengingat pendidikan selalu dinamis dan berkembang dalam kurun waktu tertentu (1, 3, 5, 10, 20, 40, dan 50 tahun selanjutnya) yang akan datang. Pendidikan merupakan suatu hal yang kompleks. Baik dari hal konsep manajemen, administrasi, proses, isi, kurikulum, tujuan, peserta didik, monitoring, evaluasi, dan sebagainya. Hal tersebut sekian dari beberapa elemen yang ada dalam pendidikan serta harus memerlukan perencanaan yang matang untuk menyelesaikannya secara lugas dan tepat. Para ahli pun telah ramai berpendapat mengenai kebermaknaan perencanaan dalam pendidikan tersebut. Di antaranya.
1.      Menurut Prajudi Atmosudirdjo perencanaan adalah perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam mencapai tujuan tertentu, oleh siapa, dan bagaimana (Abin, 2000 via Syaefudin Sa’ud dan Makmun, 2009).
2.      Perencanaan dalam ari seluas-luasnya tidak lain adalah proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu (Bintoro Tjokroamidjodjo, 1977 via Syaefudin Sa’ud dan Makmun, 2009).
Beberapa pendapat di atas tidak dimaksudkan untuk membingungkan. Akan tetapi sedikitnya diharap mampu menerangjelaskan mengenai betapa harusnya konsep tentang perencanaan dalam pendidikan. Seperti halnya sebuah acara, jika tanpa adanya perencanaan, mungkin acara tersebut bisa bubar. Hal tersebut yang dijaga oleh para ahli pendidikan. Oleh karenanya perencanaan hadir sebagai harga mutlak. Adapun fungsi perencanaan adalah: (a) sebagai pedoman sumber daya, (b) menghindari pemborosan sumber daya, (c) alat bagi pengembangan quality assurance, dan (d) upaya untuk memenuhi accountability kelembagaan (Syaefudin Sa’ud dan Makmun, 2009: 5).

C.      Inovasi dalam Pendidikan
Inovasi berarti menemukan hal yang baru (lihat konsep dinamis di atas). Segala sesuatu yang baru bolehlah disebut inovasi asalkan bersifat konstruktif. Namun dalam mengenai inovasi pendidikan, di sini harus dibedakan tentang diskoveri, invensi, dan inovasi. Berikut akan disajikan secara sederhana mengenai pengertian-pengertian di atas.
1.      Diskoveri  adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang.
2.      Invensi adalah suatu penemuan sesuatu yang benar-benar baru, artinya hasil kreasi manusia.
3.      Inovasi ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invention maupuin diskoveri (Syaefudin Sa’ud dan Suherman, 2006: 2).
Jadi, menyoal pembaharuan di dalam pendidikan memanglah bukan barang baru lagi. Namun dalam hal membarukan, jalan berliku masih tampak merintang dengan jelas. Seperti halnya sarana dan prasarana yang kurang merata antardaerah. Ketimpangan sosial serta perkembangan teknologi informasi yang sangat ketinggalan (dalam hal ini pemerintah mencanangkan program “internet masuk desa”). Oleh karena itu, diperlukan adanya peran sera masyarakat untuk mengawasi serta membantu segala hal yang berbau inovasi demi majunya pendidikan. Hal ini adalah tantangan bagi kita semua. Sudah barang tentu ini merupakan fenomena sosial. Sebetapa peliknya pendidikan pasti sedikitnya mempunyai imbas terhadap perkembangan bangsa, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Maka dari itu inovasi pendidikan adalah jawabannya.



D.     Budaya Literasi
Pendidikan diniati untuk mengubah dan membentuk peradaban anak bangsa. Dan jika berbicara tentang pendidikan. Itu semua tidaklah lepas dari “budaya literasi.” Hal tersebut merupakan suatu keharusan. Dan ini berkaitan dengan caturtunggal keterampilan bahasa. Yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak dan berbicara kita pelajari sebelum memasuki sekolah, sedangkan membaca dan menulis dipelajari di sekolah (Tarigan, 2008: 1). Menyimak dan membaca termasuk reseptif, karena sifatnya menyerap. Sedangkan berbicara dan menulis termasuk poduktif, karena sifatnya menghasilkan. Dan setiap keterampilan itu erat sekali berhubungan dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pikirannya (Tarigan, 2008: 1). Keempat keterampilan tersebut mempunyai pola reseptif-produktif. Dengan kata lain menyerap sekaligus harus menghasilkan. Dewasa ini, perkembangan pendidikan sudah sangat pesat. Namanya juga pendidikan tidaklah lepas dari penyerapan pengetahuan. Dan bagaimana cara mencarinya? Ya, itu tadi, baca. Akan tetapi mereka yang tidak menulis—hanya membaca saja—berupaya pintar untuk dirinya sendiri tapi melupakan khalayak. Mereka itu layak disebut ilmuwan asosial (Alwasilah, 2007: 59). Dengan kata lain, keempat keterampilan itu haruslah disinergikan agar menunjang “budaya literasi” masyarakat (pendidikan).

E.      Memensiunkan Otak, Mau Dibawa ke Mana?
Bertolak dari hal di atas bahwa untuk meningkatkan produktivitas pendidikan. Segenap warganya haruslah berbudaya “baca-tulis” dan jangan saja “dengar-ucap”. Apalagi para sarjana-sarjana yang terdidik haruslah produktif dalam menulis. Bangsa Indonesia yang sejak kecil melalui pendidikan dan lingkungan dididik supaya praktis dan pragmatis menganggap bahwa membaca buku itu secara umum tidak memberi manfaat apa-apa kepadanya. Buang waktu (Ajip Rosidi 2001: 50 via Alwasilah, 2007: 217). Dan jangan menjadi “sarjana salon” (kredo Prof. Amin Rais). Jangan sampai pula orang yang berpendidikan tinggi, katakanlah sarjana, produktivitasnya rendah. Dan sebaliknya lulusan SD atau yang tak mengenyam pendidikan memiliki produktivitas yang tinggi (Alwasilah, 2007). Itu semua bergantung pada diri mereka masing-masing. Apakah memensiunkan otak atau otak yang pensiun sebelum waktunya? Mau tidak mau, para lulusan (sarjana) mempunyai peran dalam usaha meningkatkan pendidikan ke arah yang lebih baik. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Baik formal maupun informal. Jadi, mau dibawa ke mana?

F.       Masyarakat Wacana sebagai Praktisi Pendidikan
Bagi sebagian masyarakat yang menggeluti dunia pendidikan adalah wakil dari suatu kesatuan dalam masyarakat tersebut. Baik mewakili tingkat lokal, regional, dan nasional. Semuanya diharap mampu bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakatnya (meskipun seluruh lapisan masyarakat merupakan penanggung jawab terhadap pendidikan). Hal tersebut bertolak berdasarkan pencapaian kualitas (quality achievement). Kualitas inilah yang kelak mempengaruhi elemen-elemen kehidupan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut seluruh lapisan masyarakat wajib berpartisipasi guna mendorong serta mengawasi dari belakang (lihat konsep Tut Wuri Handayani). Jadi semuanya ikut bergandengan tangan dalam mengantarkan serta mau di bawa ke mana pendidikan di negara kita. Ya bergantung kepada kita. Dalam konteks kewarganegaraan, pendidikan perlu terus-menerus dipermantap (self-reinforcing). Agar apa yang disebut “mendongkrak SDM” bisa terus dikreasikan sebagaimana yang telah direncanakan melalui pendidikan. Wacana masyarakat sebagai praktisi pendidikan tiada lain adalah sebagai wujud lain dari sebuah perencanaan. Mungkin kita bertanya-tanya di dalam hati mengenai konsep ini. Akan tetapi janganlah khawatir. Semuanya bisa terjawab pada kondisi riil yang ada di lapangan. Bahwa kita sekarang bukan lagi menekankan kualitas, tetapi condong terhadap kuantitas (ini bukan lantas mengecilkan arti kuantitas). Antara kualitas dan kuantitas harus diselaraskan agar tidak terjadi ketimpangan yang bisa menghambat laju dari pendidikan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat harus mempunyai kekuatan untuk mengontrolnya (people power of control).

G.     Refleksi Akhir
Adalah tugas berat bagi kita semua ketika berhadapan dengan zaman yang serba cepat ini. Maka dari itu, kita selaku masyarakat bangsa ini haruslah memiliki tekad kuat dalam membentuk karakter. Oleh karena itu, pendidikan adalah jawabannya. Pendidikan yang mana? Ya sudahlah, seperti pada paparan di atas. Tentulah kita masih bisa bersikap dewasa dan kritis dalam menyikapi fakta di lapangan. Dan dengan kita menerima hal yang baru haruslah bersikap hati-hati. Karena tidak segala hal yang bersifat baru itu bersifat konstruktif. Dengan kata lain, pendidikan bisa memilah dan memilih mana yang baik dan buruk. Dengan demikian, kesatuan gagasan dalam membangun budaya bangsa ini tergantung pada kita. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Daftar Bacaan
Alwasilah, A. Chaedar. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, A. Chaedar dan Senny S. Alwasilah. 2007. Pokoknya Menulis. Bandung. Kiblat.
Gunardi, H. Thamrin dan Wijaya, Juhana. 1997. Perkembangan Pendidikan di Jawa Barat. Bandung. Armico.
Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan.
Koentjaraningrat. 1990. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia.
Purwanto, M. Ngalim. 1998. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Sa’ud, Udin Saefudin dan Suherman, Ayi. 2006. Inovasi Pendidikan. Bandung. UPI Press.
Sa’ud, Udin Saefudin dan Makmun, Abin Syamsuddin. 2009. Perencanaan Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung. Angkasa.

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer