Nada dan Dawai Kematian (drama bersajak/poetic drama)

Ardi Mulyana H.

Pelaku Drama
Aku, diriku sendiri
Ruh Hitam, arwah penyair kerajaan Lamunan
Ruh Putih, arwah penyair kerajaan Lamunan
Cinta, permainan bawah sadar
Rindu, kedalaman hati

—bagian pertama—

Ketika sastra menjembatani sebuah rasa dan keindahan, maka datanglah ke dalam penaku untuk kulontarkan dengan hasratku yang luhur.
Rasa adalah permainan hati—manusia jua pemainnya.
Engkau tampakkan padaku sebuah kehangatan, maka hadirlah pada sketsa hari-hariku yang sunyi untuk sekadar mengisi rajutan rindu—oh, malaikat malam yang datang pada Tiga perempat malam—memberikan kesyahduan antara jiwa dan rasa.
Katakan padaku dengan gemerisik bambu yang saling mengadu serta tinggi menjulangnya pohon salamander yang kian hilang untuk ditemui jikalau lara hati mulai memasuki tingkatan tertinggi.
Seperti malam yang mulai tenggelam dalam tidurnya.
Nyatakan aku seperti peraduan dewi kelam yang datang dan berbaring dengan segala keistimewaannya.
Aku hadir: dalam dunia yang tak pernah untuk kuhadiri dan takkan pernah kuselami.
Malam, malam apakah ini?
Aku bak sepotong roti yang mengambang di tengah samudra lamunan.
Sendiri dan hening: apakah keheningan itu yang mulai membuat tanganku ini menarikan sebuah pena keabadian?
Ah tak tahu rupanya duhai jiwa-jiwa manusia yang penuh candu-candu perasaaan.
Bermain; tak pula aku berteman dengan sebuah kata-kata.
Namun, sebelum kumulai mereka berkeliling di sekitar saraf-sarafku ini.
Gelombangnya meluluhlantakkan ketiadaanku dalam dunia ini.
Dan nyatakan aku hadir dalam nafas-nafas kehidupan manusia.
Memang, dunia penuh urat ini bersatu padu dengan hawa-hawa nafsu dan amarah; meskipun aku sendiri nafsu dan amarah itu.
Maka apakah kita akan bertanya pada diri kita sendiri: tentang siapakah kita ini?
Maka dari itu kenalilah dirimu agar senantiasa berjalan pada rel-rel yang benar.

—bagian dua—

Desir angin lemah menyapu ruangan yang tak begitu luas ini dengan sedikit denyut nadinya.
Aku yang tenggelam bersama penaku dikejutkan lewat sesosok bayangan yang hitam.
Aku sontak berkata, “Hei, siapa gerangan dikau yang menyelinap dalam relung pikiranku?”
Jawabnya, “Aku adalah Ruh Hitam. Malammu begitu syahdu kulihat dari alam nun jauh di sana. Izinkan gemerincing logam mulia kuhaturkan untuk sekadar ingin mengenal lebih jauh tentang apa-apa yang kau tuliskan itu.
Bait-baitmu sontak membuat geger di kerajaan Lamunan. Aku ditugaskan oleh Sang Raja untuk menjemput ruhmu.”
Aku seperti setumpuk debu di ruangan ini yang tetap tak mau beranjak dari tempatnya. Menghiasi rembulan yang terang meski hanya sepotong.
Aku tak mengetahui dan mengerti dengan misimu itu wahai Ruh Hitam.
Meski aku hanyalah seorang manusia yang renta dengan penaku ini.
Kehidupan mengajariku tentang suatu pertanyaan: aku hanyalah aku sendiri; dan aku adalah ciptaan Mahakuasa.
Ingin sekali kutasbihkan pepujian untuk-Nya demi memaniskan kesunyian ini.
Dan mengapa kulihat kau hanyalah terdiam diri mendengar kata-kataku hah?
Jawab Ruh Hitam, “Rasanya aku melihat pada diriku sendiri kala bintang-gemintang bertalu dengan gugusan asteroid di angkasa luar.
Seperti kawah-kawah yang berada di rembulan itu menunggu untuk dijamah oleh lantunan kata-katamu.
Maka sudikah engkau menularkan sedikit kebijaksanaanmu untuk kuceritakan pada Rajaku di alam nun jauh di sana.
Meski engkau tak kubawa ke sana.”
Perkataanmu ialah dirimu.
Perbuatanmu ialah cermin hatimu.
Maka tak pantaskah dikau berbohong pada dirimu sendiri.
Aku pun mengetahui bahwa dikau adalah seorang penyair di alammu.
Dan mengapa dikau bersikeras menggetarkan kesunyianku ini?
Ruh Hitam berkata, “Dan mengapa engkau bertalu hanya seorang diri?
Saat gelap bersangkut-paut dengan jiwa manusia yang tertidur lelap.
Engkau tak pernah berkata.
Duniamu memang gelapmu.
Hatimu telah engkau sampaikan pada pena dan sehelai kertas yang putih bersih itu.
Maka tidakkah engkau merasa kesepian?
Ataukah hanya pura-pura dalam kepura-puraan dunia ini?
Aku hadir untuk sekadar memperingatimu.
Bahwa: engkau ialah abadi dengan goresan-goresanmu—meski nyawamu takkan kekal.”
Maafkan aku wahai Ruh Hitam.
Aku bukanlah seperti karang yang kokoh bertahan.
Melalui waktu yang tak bertepi.
Aku hanya maujud di alam ini.
Aku tak kekal.
Aku tak abadi.
Dan hanya kepada-Nya kita kembali.
Pun aku sering menembangkan lagu-lagu kematian ini:
“Dawai cinta, hadirlah duhai kekasih.
Bau jejakmu menyeruak merobek saraf ini.
Dengus nafas peperanganmu bagai hawa nafsu.
Ah, aku selalu terbunuh oleh hawa nafsuku sendiri.
Maka, hampirilah pada pena ini untuk kulantunkan kala sakaratul maut datang.
Seperti pula permainan, ada awal; ada pula akhirnya.
Seperti pula pertemuan dan perpisahan.
Maka, jamahlah hatiku ini dengan isi perasaan yang manusia miliki.
Sesungguhnya, aku lahir dan aku mati.”

—bagian tiga—

Aku dan Ruh Hitam terkejut mendengar suara:
“Nyanyian malam tak pernah mengajariku tentang arti sebuah rasa.
Daku hanya melihat dua makhluk berbeda alam sedang bercengkrama.
Yang satu manusia.
Dan yang satu sama denganku.”
Ruh Hitam menimpal,
“Lama tak jumpa pulanya wahai Ruh Putih.
Hadirmu bagai petir di siang hari, mengejutkan.
Marilah, isi perbincangan kami dengan seribu rasa—entah rasamu, rasaku atau rasa manusia.
Untuk kita tulis menjadi sebuah syair-syair yang begitu syahdu”
Aku pun berkata,
“Ruh hitam, engkau ada; Ruh Putih, engkau pun ada.
Bertiga kita berjumpa pada terang yang terampas oleh gelap.
Di Tiga perempat malam ini.
Aku, kau dan kau.
Inilah jawaban salamku untuk kalian berdua.”
Ruh Putih berkata,
“Wahai manusia, senyumku ini tak terlupa kala engkau menyambutku dengan ketulusan.
Di sini di tempat ini, marilah kita berbicara tentang sebuah rasa.
Laksana sebuah permadani yang begitu luas.
Dan kalian duduk di atasnya.
Maka aku melengkapinya dengan membuat permadani itu terbang menjulang tinggi ke angkasa.”
Kami bertiga telah berbincang terlampau larut.
Namun aneh ketika waktu tak kunjung beranjak.
Tetap saja di Tiga perempat malam.
Saat Ruh Putih dan Ruh Hitam pamit; tinggalah aku seorang diri kembali.

—bagian empat—

Kala masa berpegang erat pada pikiran yang mengangkasa, turunlah hujan.
Begitu deras dan deras seperti buliran anak panah yang melesat bagaikan petir.
Dan airnya seberupa darah merah; darah yang merah.
Terhenyak, pandanganku menyapu lazuardi malam ini melihat Cinta dan Rindu merangkak bersimbah darah.
Aku berkata,
“Duhai Cinta; duhai Rindu—sakitkah kau dalam peperanganmu itu.
Bukankah engkau seharusnya ada di dalam hatiku?
Mengapa di saat aku terjaga di Tiga perempat malam ini; engkau berdua pun ikut terjaga?
Tidakkah engkau tega membiarkan rerumputan tumbuh di antara bunga yang selalu kusiram?
Apakah kalian lupa dengan syairku ini:
“Permulaan malam menjadikan lantunan indah di hadapan-Nya dalam doa ini.
Kesyahduan sebuah rasa terjamah dari kalbu kala pejamku melihat sesosok lahir.
Yang menjiwai jiwaku dengan jiwanya.
Jadikan, kami berdua seperti ini adanya.
Aku seperti telaga yang menemui muara untuk kureguk dalam nafas-nafas Ilahi-Nya.
Mengalir dan mengalir berteriak dengan lirih.
Cinta haqiqi adalah kerinduan pada-Nya.
Maka, ikatlah kami dengan Rindu dan Cinta.”
Ingatkah kau Cinta, ingatkah kau Rindu!
Ataukah aku ini Cuma khayalan bagi kalian berdua!

—bagian lima—

Aku kemudian menulis sebuah sajak.
“Kenangan yang terjerumus kala desau nafas dimadu perih pengalaman silam

Kupandangi jauh ke dalam

Yang ada hanya cermin seolah diri dibui oleh ketidaklekangan waktu

Kian saja kian terluka lirih oleh sayatan-sayatan perasaan

Itu dialah ketakziman yang menelikung sukma terdalam

Hatiku berkata:

“Jikalau mengemis cinta, bukan pula aku yang berbentuk ragawi.

Aku hanyalah sehelai angin yang terdampar di riuhnya padang hati.

Hingga, tak nampak pula aku terjerumus dalam permainan bawah sadar.

Semakin kujauhi, semakin pula menjadi gelora yang menafikkan dirinya.

Di malam seraut kerinduan, ada pula jiwa yang menikam sudut peristirahatan alam raya.

Hingga dirinya mengupas kulit ariku sampai aku tersungkur di wajah malam.

Cukuplah aku sendiri yang tahu tentang apa yang terpendam dalam lubuk qalbu.

Biar aku sendiri yang menggembalakan nyanyian sunyi yang selalu kutembangkan
jika gemuruh pembaringan jasad-jasad perkasa terbangun dan tersedak karena mimpi buruknya.

Merdeka pula di pucuk harapan tentang sebuah kidung yang ingin kulantunkan.

Namun, tunggulah waktu yang akan terkenang.

Ketika sepasang wajah saling melempar senyuman pada hatiku.

Yang satu adalah cintaku di dunia.
Dan yang satu lagi rinduku di akhirat,
Kelak kugenggam kedua tangan mereka.
Seraya kubawa pada puncak lamunan tertinggi yang manusia pernah miliki.

Dan kan kupersembahkan sepotong hatiku untuk mereka berdua.

Kala seraut tubuh tergerak oleh sepoinya angin yang membawanya padaku.

Untuk kupeluk sampai ajalku datang menjemput.”

—bagian enam—

Lazuardi murung; horizon termenung; cakrawala menganga; angkasa terluka.
Ketika Cinta menghunus belati tanpa kusadari.
Masuk, menusuk jantung ini, aku terkapar di ruangan ini—di Tiga perempat malam.
Darah dari ragaku memancar laksana air pancuran.
Matilah aku; hilang tiada bersisa nyawaku.
Kini, aku hanyalah sebuah tubuh yang terbujur kaku—aku mangkat dari dunia ini.
Cinta berkata,
“Matilah jahanam, manusia yang penuh dosa—laknat.
Engkau taburkan aku pada sebuah raga yang Maksiat.
Aku sekarang puas.”
Gemuruh angin datang—dan anak puting beliung pun menghampiri ketika Rindu pun berkata:
“Hai Cinta, nasi telah menjadi bubur.
Dan mengapa engkau membunuh manusia itu!
Sesungguhnya yang aku lihat engkau telah membunuh dirimu sendiri.
Tak pantas pula aku melihatmu masih hidup di dunia ini.
Inilah untukmu, sebuah jalan Kematian—matilah.”
Rindu pun merajah dada cinta dengan sebilah trisula dan kemudian mati.
Tinggalah Rindu seorang diri, dia terbang pergi dan entah ke mana: tak tahu rimbanya.

***


Garut, Juni 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer