Eh Salira 2 (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ardi M. H.

Salira seuri dina kasusah kuring
Saenyana, salira baranang dina langit nu katutup mega
Teu katenjo sok sanajan kukumahaan oge
Teu katenjo sok sanajan kukumahaan oge

Na jero manah, aya rasa nu rongkah nyeredet
Na jero manah, gugupayan kapait jeung kahese
Caritakeun ku salira!
Kuring bakal sopan kalayan teu leungeus

Hese cape kaluar tina kaayaan kieu
Hese cape kaluar tina kaayaan kieu
Salira seuri dina kasusah kuring
Salira seuri dina kasusah kuring

Tapi tenjo ke jaga
Jaga ke tenjo ku salira
Kuring jadi sinatria kalawan laku lampah nu sajati
Caritakeun ku salira, kuring datang mawa ngaran nu seungit tur wangi


Garut, Agustus 2010

Salahlah

Ardi Mulyana H.

Ke manakah engkau slama ini?
Laksana tertelan bumi
Dawai-dawai kecapi berguruh tertiup nada-nadanya
Maka, sekarang tidak lagi
Hanya lenggang tanpa swara
Katakan dengan pribadimu yg luhur
Naskah-naskah dulu yg sempat tidur
Kini menjadi cerita-cerita inspirasi penaku yg tertulis dalam sesuatu yg tak pernah tertulis
Ke manakah engkau slama ini?
Horison melamun kata tersenyum, mengukir silaturahmi dengan salam wahai saudariku
Ibarat roda yg tak pernah berhenti terputar
Maka, saksikan goresan-goresanku kini mulai tersebar
Karena laku yg lalu
Untuk itu, kuhaturkan salam jabat serta kenangan


Garut, Agustus 2010

Eh Salira (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ardi M. H.

Tresna, nu dihuripkeun ku salira tiheula ayeuna geus pareum.
Siga katumiri pegat kababuk cemeti.
Raray salira nu kawas bentang.
Ayeuna teu jadi soal.
Kuring nenjo kana diri yen jelma teu boga.
Tapi, enyage sangsara raga hate mah beunghar ku kata jeung makna.
Salira tos teu sapagodos deui.
Katarik haliah dunya.
Inget, hirup mah moal anger.
Heup Nyai, ulah ngadagoan kuring.
Jung indit!

Garut, Agustus 2010

Lelaki Tua dan Sebungkus Kretek (cerpen)

Oleh Ardi Mulyana H.
Cahaya rembulan menembus rindangnya dedaunan dan jatuh menimpa sebuah tempat yang rimbun oleh pepohonan bambu serta semak belukar. Di tempat itu pohon beringin berdiri kokoh dengan akar-akar yang menjuntai dari dahan-dahannya seperti tali. Yang sepertinya akar-akar yang menyerupai tali itu tampak digelantungkan oleh sesosok makhluk yang tak kasat mata. Memang jarang orang yang sudi melewatinya. Meskipun ada sebuah jalan setapak yang hanya cukup untuk dilalui sebuah sepeda motor.
Lelaki tua itu sedang bersandar di pohon beringin. Raut wajahnya tidak menampakkan ekspresi seseorang yang telah menang lotre. Sebatang kretek dimainkan jemari keriputnya, tetapi terampil sekali dalam memutar-mutar kreteknya itu. Dihisapnya dalam-dalam untuk memenuhi paru-paru dengan asap sebagai tanda mengusir kedinginan. Di saku kemejanya terlihat sebuah bungkusan yang dibungkus rapi dengan kertas khas sampul buku-buku tulis anak sekolah ketika tahun ajaran baru dimulai. Warnanya coklat dengan sedikit sentuhan garis-garis halus.
Angin semakin saja gundah gulana tak mau diam. Meronta-ronta seperti anak kecil yang menolak untuk diimunisasi. Menebak dedaunan kering yang berserakan di tanah sehingga berlarian tak karuan dan membuat daun-daun bambu bergemerisik kencang. Sayup-sayup suara jangkrik serta burung hantu bagaikan paduan suara yang membuat keadaan semakin tak betah saja. Sekali lagi, dia menghembuskan asap yang terakhir karena kreteknya telah pendek. Lalu dibuangnya tanpa perasaan. Entah ke mana.
Cahaya dari api yang kecil terlihat menerangi wajahnya. Ternyata dia menyulut kretek yang baru. Sudah setengah bungkus dia menghabiskan kreteknya itu. Dari kejauhan matanya tampak silau oleh sebuah sinar. Semakin lama, sinar itu menjadi terang-benderang disertai deru dari mesin yang gahar. Ternyata, penunggang motor itu yang dia tunggu. “Wah lama sekali kau Bang! Aku di sini sudah hampir sejam.” dia memulai membuka kalimat. “Maaflah kawan, aku tadi ada urusan dulu. Ngomong-ngomong macam mana hah barangnya?” jawabnya. “Mantap Bang, seperti biasa.” kata dia. “Okelah, sip.” jawab si penunggang motor. Memang tak banyak cerita dan cakap-cakap antara keduanya. Yang ada hanyalah peristiwa pertukaran sesuatu. Usik punya usik, dia menyerahkan bungkusan itu pada si penunggang motor. Dan penunggang motor itu pun menyerahkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan. Transaksi itu selesai. Kurang dari satu menit. Dia dan penunggang motor itu tampak sudah akrab melakukan aktivitas seperti itu.
Setelah berlalu. Dia melangkahkan kakinya untuk segera menuju rumah. Dia berjalan kaki, kira-kira butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai. Uang dari si penunggang motor itu agaknya sedikit membuat gemuk dompetnya. Dalam perjalanan pulang pikirannya terbang tak karuan. Mungkin karena diajak melayang oleh semilirnya angin malam. Akan tetapi, pikirannya menjatuhkan pilihan pada anak semata wayangnya itu.
Namanya Niskala Wastukencana. Nama yang indah pemberiannya tujuh belas tahun silam—seperti nama raja Sunda yang hidup dan memerintah antara tahun 1371-1475. Niskala adalah pelajar kelas XII jurusan otomotif di SMK favorit (yang hampir putus sekolah). Dan beberapa bulan lagi akan mengikuti UN. Anak semata wayangnya itu prestasinya tidak di atas dan tidak di bawah. Tetapi, semangatnya itu yang tak bisa diremehkan bagaikan semburan api di buritan jet tempur keluaran Rusia milik TNI AU.
Kira-kira, beberapa langkah lagi sampai rumah. Tepat sekali. Rumahnya sudah terlihat. Atapnya dari seng yang telah karatan. Dan diapit oleh kebun singkong. Besarnya tak lebih besar dari ukuran lapang voli. Dindingnya lapuk dimakan waktu. Sampai-sampai di kamar Niskala terdapat retak yang cukup membuat angin bisa masuk ke dalam. Penerangan rumahnya seperti kunang-kunang karena semuanya menggunakan bohlam ukuran kurang dari sepuluh watt. Di depan rumahnya tampak dua buah kursi butut dengan kulit imitasi berwarna merah. Dan robek-robek sehingga lembaran ijuk-ijuknya menjulur keluar.
Tepat tengah malam. Dia menginjakkan kakinya di depan pintu yang terbuat dari triplek. Sayang, sudah bolong-bolong dan itu hanya ditutupi sebuah gambar poster iklan kretek kesukaannya. Dia mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Agak lama rupanya dia menunggu. Selang beberapa waktu, istrinya menjawab salamnya dan membukakan pintu. Istrinya menyambut dengan sunggingan senyum yang tak kalah manis dari senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci.
Kemudian istrinya berkata, “Bapak kelihatannya capai sekali. Mau Ibu buatkan kopi dulu serta sepiring nasi dan ikan asin, sambal serta jengkol. Atau mau Ibu memanaskan air untuk mandi Bapak?” Dia yang telah duduk di kursi dari bambu tanpa meja yang terlihat berkilap karena sering diduduki. Di ruangan itu hanya ada rak usang tempat televisi tanpa ada televisinya. Dan di dinding atasnya ada dua buah foto. Yang satu, foto pernikahannya. Dan yang satu lagi foto dia dengan gagah berkacamata hitam sedang memegang kemudi bus. Dia memandang istrinya penuh kelembutan dan berujar, “Bu, buatkan kopi saja dulu, makan dan mandi bagaimana nanti saja.” Hanya tersenyum, istrinya bergegas menuruti perintah suaminya.
Di sisi lain. Di kamar Niskala yang hanya ada sebuah lemari yang berisi pakaian dan buku-buku serta sebuah dipan. Lantainya dari semen yang terlihat bening karena mungkin sering dipel. Dan dinding retak itu terlihat jelas. Serta bisa dipakai mengintip keluar dari tembok itu. Niskala sedang terlelap di dipan yang kasurnya tidak memakai seprei. Kain kasurnya sudah robek-robek. Sehingga kapuk-kapuknya berdesakan ingin keluar. Meskipun begitu agaknya Niskala sedang memimpikan sesuatu yang indah.
Suasana di depan masih tetap tidak berubah. Hanya saja dia kembali menyulut kretek kesukaannya. Sekali-sekali asap yang dihembuskannya memanjang pertanda dihembuskannya kuat-kuat. Seperti hendak membuang sesuatu karena teringat memori setahun yang lalu diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sopir bus jurusan Banda Aceh-Surabaya. Mungkin karena umur yang dianggap sudah lewat. Dan mungkin inilah yang mencabik-cabik hatinya itu ketika dia kehilangan pekerjaan. Niskala terkena lever dan harus dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Tetapi di saat itu. Dia tak punya uang sehingga dengan berat hati meminjam kepada rentenir dengan bunga setengah dari pinjamannya. Bak buah simalakama. Namun demi anak tak apalah. Dengan usahanya, Niskala masih mempunyai umur. Hidupnya kembali tercatat dalam naskah takdirnya.
Saat itu. Belum lagi setelah hilang satu urusan. Hadir kembali satu dilema. Sepulang sekolah Niskala dengan kepala tertunduk menyerahkan surat dari sekolah karena empat bulan menunggak SPP. Belum habis kalimatnya itu, tercantum lagi sebuah kalimat berita, “Syarat untuk mengikuti PKL harus bebas tunggakan SPP dan membayar biaya PKL-nya.” Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang tepat. Tetapi dia tak mengucurkan air matanya dan terus tersenyum. Tidak mau menyurutkan semangat anaknya yang ingin menjadi sarjana mesin dari kampus yang telah memberi gelar insinyur kepada Sang Proklamator Bung Karno. Cita-cita yang indah laksana air terjun jatuh menimpa dasar sehingga membuat riak-riak kecil dan dihantam oleh sinar mentari sehingga membentuk tujuh warna.
Dengan sangat berat hati. Untuk kedua kalinya dia meminjam uang lagi kepada rentenir sebelumnya. Dan sekali lagi. Demi anak dia berjuang kembali. Anehnya. Istri serta anaknya itu tak pernah diberi tahu pekerjaan apa yang dia lakukan setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai sopir bus. Yang mereka tahu, dia sanggup membayar cicilan utang ke rentenir walau tersendat-sendat
Dia terhenyak dari lamunannya karena istrinya menyuguhkan segelas kopi dan berkata, “Pak, kemarin rentenir itu datang ke sini. Rentenir itu bertiga bersama tukang pukulnya. Dan menagih utang yang kita tunggak beserta bunganya. Namun Ibu tak ada uang. Rentenir itu memaki-maki Ibu dan mengambil televisi kita. Kita dihinanya, “Hei miskin, tujuh turunan kau takkan bisa membayar utangmu padaku.” Niskala anak kita hendak memukul rentenir itu. Belum sempat, memukul, anak kita sudah ditampar oleh tukang pukulnya. Dan sampai kapan kita miskin dan dihina terus Pak?”
Dia menghisap kreteknya lantas menghembuskan asapnya seraya berkata dengan nada tak biasa, “Bu, biar kita ini miskin! Tak punya pekerjaan tetap! Tetapi Bapak bisa bayar utang Bapak!” Istrinya menimpal, “Lalu Bapak ini kerja apa? Ibu tak pernah tahu apa sebenarnya yang Bapak kerjakan. Aku ini istrimu Pak.” Suasana seperti samudra yang bergelombang dengan percakapan keduanya. “Ini urusan Bapak, Ibu tak usah tahu, yang penting demi anak kita. Bapak tak mau melihat Niskala putus sekolah. Dan hutang-hutang pada rentenir keparat itu biar Bapak yang bayar. Ingin rasanya aku bunuh rentenir laknat itu.” Dia membantingkan kreteknya. Terlihat air mata istrinya mengalir membasahi kedua pipinya seraya berpaling dan berjalan menuju kamar.
Dia kembali duduk dan menyulut kretek yang baru. Dengan lihai, asap dari kreteknya dia hembuskan dengan bentuk yang bulat-bulat khas peroko berat. Jemarinya pun tak kalah lincah memutar-mutar kretek itu. Detak jam terus berdetak hingga hampir menghayutkan lamunannya. Dalam pikirannya itu, dia berkata, “Uang ini untuk bayar utang dan untuk biaya sekolah Niskala. Ah, cukup rasanya.”
Badan yang kurus itu setengah terlentang. Namun masih agak tegak karena punggungnya disangga bantal sembari menghisap kreteknya. Dan masih ada dua batang lagi dalam bungkusnya. Tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara gaduh di luar. Tak lama pintu rumahnya diketuk-ketuk keras. Dengan badan yang lemas dia membukakan pintu. Ternyata setelah dibuka, dia melihat perawakan tinggi besar dengan jaket kulit. Dia melihat moncong pistol mengarah pada keningnya. Dia digeledah. Benar saja, dari saku kemejanya ternyata masih ada bungkusan yang serupa dengan bungkusan yang diberikannya pada si penunggang motor. Dia ditangkap polisi berdasarkan keterangan si penunggang motor tersebut yang terkena razia malam. Istrinya dan Niskala tidak terganggu oleh kejadian itu.
Di pagi hari istrinya hanya melihat dua batang kretek dalam bungkusnya tanpa banyak tanya. Karena tahu suaminya suka sudah tidak ada pada subuh hari. Matahari mulai tersenyum di ufuk timur. Lazuardi menawan sang awan dengan rona birunya. Embun meloncat-loncat di dedaunan pertanda hari itu kembali syahdu. Seragam putih abu-abu telah tersemat balam badan Niskala. Siap berangkat.
Dan Niskala berjalan keluar rumah hendak berangkat sekolah dengan menengok dua batang kretek di meja yang tak sempat dihabiskan Bapaknya itu. Di luar Ibunya sedang menyapu halaman. Berhenti sejenak memberikan restu dan doa pada Niskala karena mengesun tangannya dan berucap salam. Niskala berangkat sekolah dengan harapan yang berpelangi. Tanpa tahu Bapaknya takkan pulang dalam waktu yang relatif lama.
***

Wanaraja, Agustus 2010

Rumah Sakit-Rumah Sakit

Ardi Mulyana H.

Buliran waktu terasa menjemukan
Bagi orang-orang yang mempertahankan kelangsungan hidupnya
Berjuang melawan sesuatu yang tak pernah diharap
Isak tangis, kalang kabut, bau obat serta kejamnya jarum suntik
Bercampur dengan bau amis darah
Denyut jantung masih memberikan tugasnya
Pada raga-raga yang slalu terus berusaha
Dan tanpa pernah menyerah
Dan tanpa pernah menyerah

Ruang hati selalu terenyuh kala kalimat, “Maaf, kami sudah berusaha maksimal”
Semua, adalah jalan-jalan yang yang tlah digoreskan-Nya
Lewat naskah yang bernama “takdir”
Kekuasaan-Nya yang terbentang di alam semesta ini
Kehidupan dan kematian adalah rahasia yang tak pernah terjamah akal sehat
Maka, tidakkah kita merasa malu, siapa kita ini?
Maka, tidakkah kita merasa malu, siapa kita ini?
Aku seperti patung di lorong-lorong rumah sakit ini
Tercenung sendiri dalam khusyu laksana kaktus di padang pasir

Batin ini diajari cara melihat
Melihat lukisan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya
Tersenyum sebagaimana kita menderita
Menangis sebagaimana kita bahagia
Dan tancapkan dalam hati-hati yang berikhtiar
Lantas selipkan doa-doa pada Sang Khalik
Tiada, ada, lahir, mati; tiada, ada, lahir, mati;
Dia yang menjadikan kami sebagai Khalifah di muka bumi
Tiada daya tiada upaya, pada-Mu kami kan kembali

Garut, Juni 2010

Hymne untuk Sang Pemilik Waktu

Ardi Mulyana H.

Derai waktu kian tak terbatas
Pepujian untuk-Mu begitu indah mengalun
Hakikat manusia adalah beribadah
Dan memaniskan pepujian untuk-Mu

Subhanalloh,
Begitu damainya hatiku kala cahya-Mu menerangi tiga perempat malam
Maha Suci Engkau Ya Alloh
Kuhaturkan jiwa dan raga ini ke hadirat-Mu
Wahai dzat pemilik hidup; wahai dzat yang tak pernah tidur

Tak kuasa air mata ini melihat indahnya ayat-ayat suci-Mu
Tiada tuhan selain Alloh
Dan, penaku meng-goreskan kesyahduan
Membuka rahasia yang tak terbatas di dalam hati manusia

Daku hanyalah hasrat dan keinginan
Tiada daya dan tiada berpunya
Segala puji itu hanya kepunyaan-Mu Ya Alloh yang Maha Besar
Jadikanlah bait-bait ini sebuah doa

Untuk yang membaca, bercahya di dunia; bercahya di akhirat
Untuk yang menulis, bercahya di dunia; bercahya di akhirat
Semoga selaksa malaikat meng-amini
Hymne dan doa hamba-Mu yang khilaf ini
Amin

Garut, Juni 2010

Di Terminal

Ardi M. H.

dedaunan kering menangisi mereka
hadirin, mereka itu tak lanjut
lihat, mereka menjual suara, jadi tukang semir
matanya terlihat mengerling

angin yang meraung di terminal menambah semangatnya
bu, pak, mereka seharusnya belajar!
bu, pak, mereka nyata ada
dengarlah, kami dua kali menulis tentang mereka

dan, mereka lebih banyak lagi
tiap detik mungkin bertambah satu
apa yang salah?
tak ada yang salah?

tahun dua ribu sepuluh
mungkin mereka bertambah lagi dua ribu sepuluh
ah, mereka tampak girang
di pelataran tempat menyemai harapan

Garut, Agustus 2010

Karam, Yang Kandas, dan Terhempas

Ardi mulyana H.

--untuk mereka--

kami melihat dari jendela
mereka kehilangan segala
anak-anak, ibu-ibu tua muda bercengkrama
adakah di antara kita?

tak banyak dari kami pertolong
selain kata dan hanya kata
mereka memandang pencakar-pencakar langit
tinggi, setinggi lamunannya

kami berharap pada suatu waktu, bisa mengenal mereka
bukan apa-apa
hanya ingin sekadar memanjangkan tali silaturahmi
mereka sama dengan kami

kesedihan mereka kerap menjadi
semakin lama tiada bertepi
hampir-hampir hendak mati
dalam raga tak bermateri

sudah empat kali kami menulis untuknya,
ah, bukan, sudah beberapa dan sering
mereka kini jadi sebuah nada dan dawai dalam syair ini
mereka kini kaya dengan maknanya


Garut, Agustus 2010

Kutub-kutub Si Ut dan Si Sel

Ardi Mulyana H.

demi harapan hidup
kelangsungan fana
samudra biru menerjang
lumba, penguin, pesut, dan si beruang kutub

mereka bersimfoni dalam nada ini
mereka kehilangan rumah dan daratnya; bahkan lautnya
meleleh seperti lilin
kalau diam saja, hampir tumpur habis menenggelamkan dataran

kelak, dalam buku pelajaran mereka kita lihat
almarhum si ut dan si sel, pakutub-kutub menangis
laksana mimpi yang tertunda
atau buah yang masak tapi tak bisa dimakan

miris dan bengis
ibarat meriam kutukan
meleleh seperti agar-agar
agar-agar yang lembek

si ut dan si sel menggergaji nalar manusia
tangannya cekatan menampar para ahli geologi dan umat manusia
di dalamnya ada nada dan rasa
kini nanti, kelak, dan esok mungkin mereka tumpur


Garut, Agustus 2010

Cat. Tumpur= binasa

Nada, Yang Digugu, dan Ditiru, Terang Bulan

Ardi mulyana H.

rembulan, dia yang keji
memandikan dengan sinarnya yang lembut
bau nafasnya seperti kolak pisang atau kolang-kaling
dan bau pandan juga

kejinya, sering merupakan suatu kelembutan yang nikmat
suara mengkeriknya jangkrik serta buayan angin dari alam
menambah pertempuran seperti perang dalam badai
menambah cahyanya selembut sutra namun mematikan

yang digugu telah tidur
semakin membuat sepi
yang ditiru tlah bangun tapi tlah pulang
kulihat, rembulan itu ada di matamu duhai kaum hawa

seperti hellen dari troya membisiki tentang kecantikannya
"aku datang duhai pengelana"
ah, mesra sekali tuturnya itu
namun tetap saja membunuh perasaaan

ada dawai dengan segelas tuba
ada sampah dengan madunya
menafsirkan sebuah bunyi-bunyian rintihnya alam
menarik putri malam, duhai rembulan

kemarilah dengan pesona gaibmu!
mari kita melukis tentang kejahatan ataupun kematian
atau tentang romeo julietnya shakespeare
atau tentang ernest hemingway, si lelaki tua dan laut

seperti juru pantun di atas kain kafan
mengucap decak tiada dan tanpa kata
menembus bumi memotong langit
mari berkata, "nada tanpa gugu; tanpa tiru dengan terang rembulan"


Garut, Agustus 2010

Dur Bedug (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Dangdang dingding
Haleuang ti beurang
Dulurdulur hayu batur
Leumpang ka leuwi
Urang nyucikeun diri

Garut, Agustus 2010

Sajak Katresna 2 (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Tangkal jengjen gugupayan
Mega beureum nyalimutan
Har, angin sore aaclogan
Mapaes hate kuring nu mikasono si indung budak

Ayeuna, isukan, jeung enjing
Kuring nancep patekadan
Ngaropea tresna nu kungsi tumpur
Naha?
Ah, kuring mah jalma teu boga

Dina nenjo, ngabengbat lamunan
Narajang babasan
Bari poek ningali caang
Duh, indung budak

Gusti nu Agung,
Menta tulung pangnuduhkeun ayana di mana?
Urang mana?
Saha ngarana?

Ci mata teu daek ngeclak
Ngeclak kana manah kuring nu garing
Garing bari teu eling
Eling anu kabeurangan

Ya Alloh pangeran kuring
Kuring menta tulung
Tulung Gusti kuring
Kuring palid kabawa caah kasono taya katepi


Garut, Agustus 2010

Pituin Hirup (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Lir ibarat suung marentis di usum hujan
Seug bae manehna teu hurip di usum halodo
Naon maksad dina sawatara eta?
Si suung ngarti kana panempatan dirina

Komo deui jalma
Boga akal jeng pangarti
Estuning ngarti kana palakiah hirup sangkan hurip
Jejer carita heman manusa kudu saluyu ucap, laku, jeung lampah

Heug tenjo,
Katumiri endah dina mangsana
Mun euweuh cai
Arek kumaha

Gusti Alloh nu Maha Agung
Ges negesken yeng sagala kahirupan teh aya papadanana
Hade jeng goreng
Tresna jeung baeud

Hirup, mun melak hade tangtu hade
Hirup, mun melak goreng tangtu goreng
Sok teuleuman jeung talungtik
Yen papatah kolot moal nyalahan

Kuring simpe dina gandeng
Kuring baseuh dina garing
Kuring edan dina eling
Kuring bodo dina ngarti

Cag!


Garut, Agustus 2010

Piano Jepang (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Jreng, tret, jreng, tret
aya si kuntet keur joget
jreng, tret, jreng, tret
aya si karet keur dahar diempet-empet

cag, ah!

Garut, Agustus 2010

Pepetasan (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Di hiji poe
aya budak meuli pepetasan
tuluy ku manehna diseungeut
kumaha tah terusna?

Kieu, "belegug" disadana

Garut, Agustus 2010

Kunyuk (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

"Abah, sieun dikerewes ku monyet" ceuk incuna
si Abah ngawaler, "moal nanaon, moal ngerewes"
"naha Bah?" temal incuna.
"Apan silaing monyetna"
Ah bae, "Abah kunyuk atuh" ceuk incuna bari seuri ngadahar rujak

cag ah, pangersa!

Garut, Agustus 2010

Teu Eling Aeh-aeh (kumpulan sajak nu sakaeling)

Ku Ardi M. H.

Elekesekeng,
hol deui si manehna
ngajirim dina kokolebat
estu tateh kudu kitu

aeh, kuring milu ngajirim ngababuk rasa nalaktak reuhak nu matak balangsak
aeh, hol deui si manehna
noroweco kana hate
reuheus deuheus hareuas heuras
har, tugening matak cangcaya

kuring teu eling
nyieun sajak teu make tumis suling
aeh, ah sabodo
make licentia puitika sabada harita
aeh, hol deui si manehna

tapi kieu, kuring ngagending karesmen
prung ah ngigel
cul dogdog tingal igel
kieu, "lir bentang caang ku lilin, estu eta pamohalan rongkah, tapi katumiri anu matuh ngagolosorkeun meumeut tresna nu baheula, aeh aeh teu eling na sastra nyieun warta, kuring teh masih tresna ka manehna, tapi na ngimpi"
aeh, da duka laksana duka kalaksana

cag, juragan!

Garut, Agustus 2010

Tulisan Populer