Lelaki Tua dan Sebungkus Kretek (cerpen)

Oleh Ardi Mulyana H.
Cahaya rembulan menembus rindangnya dedaunan dan jatuh menimpa sebuah tempat yang rimbun oleh pepohonan bambu serta semak belukar. Di tempat itu pohon beringin berdiri kokoh dengan akar-akar yang menjuntai dari dahan-dahannya seperti tali. Yang sepertinya akar-akar yang menyerupai tali itu tampak digelantungkan oleh sesosok makhluk yang tak kasat mata. Memang jarang orang yang sudi melewatinya. Meskipun ada sebuah jalan setapak yang hanya cukup untuk dilalui sebuah sepeda motor.
Lelaki tua itu sedang bersandar di pohon beringin. Raut wajahnya tidak menampakkan ekspresi seseorang yang telah menang lotre. Sebatang kretek dimainkan jemari keriputnya, tetapi terampil sekali dalam memutar-mutar kreteknya itu. Dihisapnya dalam-dalam untuk memenuhi paru-paru dengan asap sebagai tanda mengusir kedinginan. Di saku kemejanya terlihat sebuah bungkusan yang dibungkus rapi dengan kertas khas sampul buku-buku tulis anak sekolah ketika tahun ajaran baru dimulai. Warnanya coklat dengan sedikit sentuhan garis-garis halus.
Angin semakin saja gundah gulana tak mau diam. Meronta-ronta seperti anak kecil yang menolak untuk diimunisasi. Menebak dedaunan kering yang berserakan di tanah sehingga berlarian tak karuan dan membuat daun-daun bambu bergemerisik kencang. Sayup-sayup suara jangkrik serta burung hantu bagaikan paduan suara yang membuat keadaan semakin tak betah saja. Sekali lagi, dia menghembuskan asap yang terakhir karena kreteknya telah pendek. Lalu dibuangnya tanpa perasaan. Entah ke mana.
Cahaya dari api yang kecil terlihat menerangi wajahnya. Ternyata dia menyulut kretek yang baru. Sudah setengah bungkus dia menghabiskan kreteknya itu. Dari kejauhan matanya tampak silau oleh sebuah sinar. Semakin lama, sinar itu menjadi terang-benderang disertai deru dari mesin yang gahar. Ternyata, penunggang motor itu yang dia tunggu. “Wah lama sekali kau Bang! Aku di sini sudah hampir sejam.” dia memulai membuka kalimat. “Maaflah kawan, aku tadi ada urusan dulu. Ngomong-ngomong macam mana hah barangnya?” jawabnya. “Mantap Bang, seperti biasa.” kata dia. “Okelah, sip.” jawab si penunggang motor. Memang tak banyak cerita dan cakap-cakap antara keduanya. Yang ada hanyalah peristiwa pertukaran sesuatu. Usik punya usik, dia menyerahkan bungkusan itu pada si penunggang motor. Dan penunggang motor itu pun menyerahkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan. Transaksi itu selesai. Kurang dari satu menit. Dia dan penunggang motor itu tampak sudah akrab melakukan aktivitas seperti itu.
Setelah berlalu. Dia melangkahkan kakinya untuk segera menuju rumah. Dia berjalan kaki, kira-kira butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai. Uang dari si penunggang motor itu agaknya sedikit membuat gemuk dompetnya. Dalam perjalanan pulang pikirannya terbang tak karuan. Mungkin karena diajak melayang oleh semilirnya angin malam. Akan tetapi, pikirannya menjatuhkan pilihan pada anak semata wayangnya itu.
Namanya Niskala Wastukencana. Nama yang indah pemberiannya tujuh belas tahun silam—seperti nama raja Sunda yang hidup dan memerintah antara tahun 1371-1475. Niskala adalah pelajar kelas XII jurusan otomotif di SMK favorit (yang hampir putus sekolah). Dan beberapa bulan lagi akan mengikuti UN. Anak semata wayangnya itu prestasinya tidak di atas dan tidak di bawah. Tetapi, semangatnya itu yang tak bisa diremehkan bagaikan semburan api di buritan jet tempur keluaran Rusia milik TNI AU.
Kira-kira, beberapa langkah lagi sampai rumah. Tepat sekali. Rumahnya sudah terlihat. Atapnya dari seng yang telah karatan. Dan diapit oleh kebun singkong. Besarnya tak lebih besar dari ukuran lapang voli. Dindingnya lapuk dimakan waktu. Sampai-sampai di kamar Niskala terdapat retak yang cukup membuat angin bisa masuk ke dalam. Penerangan rumahnya seperti kunang-kunang karena semuanya menggunakan bohlam ukuran kurang dari sepuluh watt. Di depan rumahnya tampak dua buah kursi butut dengan kulit imitasi berwarna merah. Dan robek-robek sehingga lembaran ijuk-ijuknya menjulur keluar.
Tepat tengah malam. Dia menginjakkan kakinya di depan pintu yang terbuat dari triplek. Sayang, sudah bolong-bolong dan itu hanya ditutupi sebuah gambar poster iklan kretek kesukaannya. Dia mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Agak lama rupanya dia menunggu. Selang beberapa waktu, istrinya menjawab salamnya dan membukakan pintu. Istrinya menyambut dengan sunggingan senyum yang tak kalah manis dari senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci.
Kemudian istrinya berkata, “Bapak kelihatannya capai sekali. Mau Ibu buatkan kopi dulu serta sepiring nasi dan ikan asin, sambal serta jengkol. Atau mau Ibu memanaskan air untuk mandi Bapak?” Dia yang telah duduk di kursi dari bambu tanpa meja yang terlihat berkilap karena sering diduduki. Di ruangan itu hanya ada rak usang tempat televisi tanpa ada televisinya. Dan di dinding atasnya ada dua buah foto. Yang satu, foto pernikahannya. Dan yang satu lagi foto dia dengan gagah berkacamata hitam sedang memegang kemudi bus. Dia memandang istrinya penuh kelembutan dan berujar, “Bu, buatkan kopi saja dulu, makan dan mandi bagaimana nanti saja.” Hanya tersenyum, istrinya bergegas menuruti perintah suaminya.
Di sisi lain. Di kamar Niskala yang hanya ada sebuah lemari yang berisi pakaian dan buku-buku serta sebuah dipan. Lantainya dari semen yang terlihat bening karena mungkin sering dipel. Dan dinding retak itu terlihat jelas. Serta bisa dipakai mengintip keluar dari tembok itu. Niskala sedang terlelap di dipan yang kasurnya tidak memakai seprei. Kain kasurnya sudah robek-robek. Sehingga kapuk-kapuknya berdesakan ingin keluar. Meskipun begitu agaknya Niskala sedang memimpikan sesuatu yang indah.
Suasana di depan masih tetap tidak berubah. Hanya saja dia kembali menyulut kretek kesukaannya. Sekali-sekali asap yang dihembuskannya memanjang pertanda dihembuskannya kuat-kuat. Seperti hendak membuang sesuatu karena teringat memori setahun yang lalu diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sopir bus jurusan Banda Aceh-Surabaya. Mungkin karena umur yang dianggap sudah lewat. Dan mungkin inilah yang mencabik-cabik hatinya itu ketika dia kehilangan pekerjaan. Niskala terkena lever dan harus dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Tetapi di saat itu. Dia tak punya uang sehingga dengan berat hati meminjam kepada rentenir dengan bunga setengah dari pinjamannya. Bak buah simalakama. Namun demi anak tak apalah. Dengan usahanya, Niskala masih mempunyai umur. Hidupnya kembali tercatat dalam naskah takdirnya.
Saat itu. Belum lagi setelah hilang satu urusan. Hadir kembali satu dilema. Sepulang sekolah Niskala dengan kepala tertunduk menyerahkan surat dari sekolah karena empat bulan menunggak SPP. Belum habis kalimatnya itu, tercantum lagi sebuah kalimat berita, “Syarat untuk mengikuti PKL harus bebas tunggakan SPP dan membayar biaya PKL-nya.” Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang tepat. Tetapi dia tak mengucurkan air matanya dan terus tersenyum. Tidak mau menyurutkan semangat anaknya yang ingin menjadi sarjana mesin dari kampus yang telah memberi gelar insinyur kepada Sang Proklamator Bung Karno. Cita-cita yang indah laksana air terjun jatuh menimpa dasar sehingga membuat riak-riak kecil dan dihantam oleh sinar mentari sehingga membentuk tujuh warna.
Dengan sangat berat hati. Untuk kedua kalinya dia meminjam uang lagi kepada rentenir sebelumnya. Dan sekali lagi. Demi anak dia berjuang kembali. Anehnya. Istri serta anaknya itu tak pernah diberi tahu pekerjaan apa yang dia lakukan setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai sopir bus. Yang mereka tahu, dia sanggup membayar cicilan utang ke rentenir walau tersendat-sendat
Dia terhenyak dari lamunannya karena istrinya menyuguhkan segelas kopi dan berkata, “Pak, kemarin rentenir itu datang ke sini. Rentenir itu bertiga bersama tukang pukulnya. Dan menagih utang yang kita tunggak beserta bunganya. Namun Ibu tak ada uang. Rentenir itu memaki-maki Ibu dan mengambil televisi kita. Kita dihinanya, “Hei miskin, tujuh turunan kau takkan bisa membayar utangmu padaku.” Niskala anak kita hendak memukul rentenir itu. Belum sempat, memukul, anak kita sudah ditampar oleh tukang pukulnya. Dan sampai kapan kita miskin dan dihina terus Pak?”
Dia menghisap kreteknya lantas menghembuskan asapnya seraya berkata dengan nada tak biasa, “Bu, biar kita ini miskin! Tak punya pekerjaan tetap! Tetapi Bapak bisa bayar utang Bapak!” Istrinya menimpal, “Lalu Bapak ini kerja apa? Ibu tak pernah tahu apa sebenarnya yang Bapak kerjakan. Aku ini istrimu Pak.” Suasana seperti samudra yang bergelombang dengan percakapan keduanya. “Ini urusan Bapak, Ibu tak usah tahu, yang penting demi anak kita. Bapak tak mau melihat Niskala putus sekolah. Dan hutang-hutang pada rentenir keparat itu biar Bapak yang bayar. Ingin rasanya aku bunuh rentenir laknat itu.” Dia membantingkan kreteknya. Terlihat air mata istrinya mengalir membasahi kedua pipinya seraya berpaling dan berjalan menuju kamar.
Dia kembali duduk dan menyulut kretek yang baru. Dengan lihai, asap dari kreteknya dia hembuskan dengan bentuk yang bulat-bulat khas peroko berat. Jemarinya pun tak kalah lincah memutar-mutar kretek itu. Detak jam terus berdetak hingga hampir menghayutkan lamunannya. Dalam pikirannya itu, dia berkata, “Uang ini untuk bayar utang dan untuk biaya sekolah Niskala. Ah, cukup rasanya.”
Badan yang kurus itu setengah terlentang. Namun masih agak tegak karena punggungnya disangga bantal sembari menghisap kreteknya. Dan masih ada dua batang lagi dalam bungkusnya. Tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara gaduh di luar. Tak lama pintu rumahnya diketuk-ketuk keras. Dengan badan yang lemas dia membukakan pintu. Ternyata setelah dibuka, dia melihat perawakan tinggi besar dengan jaket kulit. Dia melihat moncong pistol mengarah pada keningnya. Dia digeledah. Benar saja, dari saku kemejanya ternyata masih ada bungkusan yang serupa dengan bungkusan yang diberikannya pada si penunggang motor. Dia ditangkap polisi berdasarkan keterangan si penunggang motor tersebut yang terkena razia malam. Istrinya dan Niskala tidak terganggu oleh kejadian itu.
Di pagi hari istrinya hanya melihat dua batang kretek dalam bungkusnya tanpa banyak tanya. Karena tahu suaminya suka sudah tidak ada pada subuh hari. Matahari mulai tersenyum di ufuk timur. Lazuardi menawan sang awan dengan rona birunya. Embun meloncat-loncat di dedaunan pertanda hari itu kembali syahdu. Seragam putih abu-abu telah tersemat balam badan Niskala. Siap berangkat.
Dan Niskala berjalan keluar rumah hendak berangkat sekolah dengan menengok dua batang kretek di meja yang tak sempat dihabiskan Bapaknya itu. Di luar Ibunya sedang menyapu halaman. Berhenti sejenak memberikan restu dan doa pada Niskala karena mengesun tangannya dan berucap salam. Niskala berangkat sekolah dengan harapan yang berpelangi. Tanpa tahu Bapaknya takkan pulang dalam waktu yang relatif lama.
***

Wanaraja, Agustus 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer