Awan Kecil di Langit Garut (sebuah cerpen)


Oleh Ardi Mulyana H.
Kepada s.f.c.
            Seperti ada raungan kecil yang memekik di sudut malam ketika rembulan enggan menjatuhkan cahyanya pada bumi. Dan malam seakan mesra membelai perasaan jiwa yang merindu. Angin pun bergemerisik menerpa dedaunan bagai berlarian laksana anak-anak yang bermain riang. Di atas, lazuardi sepi bersama gelapnya. Bintang pun tak mau bernyanyi. Dan anehnya di malam sunyi. Di malam yang hanya ada aku beserta harapan nan beku. Aku pun mendengar irama yang menyayat. Seperti nada-nada kematian. Nada itu datang dan pergi. Mengiang dan jelas. Nada itu hendak memukuli hatiku. Ya seperti hendak membasahiku dengan kehidupan pahit. Nada itu melambat naik mengayun seperti iringan gemuruh angin meniup sebuah debu-debu basah. Laksana harapan yang menggelora tiada akhirnya. Dan alam pun tersenyum menyaksikannya.
            Ah, akankah sebuah nada akhir dalam kehidupanku. Meski angin tetap berhembus. Dan jantungku masih tetap berdetak kencang bak sebuah letupan gunung Papandayan. Demikianlah malam-malam aku lewati dan tetap begini. Sama saja. Begini dan begini. Seperti mimpi naik menjulang ke langit angkasa, melintasi gugusan bima sakti semesta. Kemudian menuju jutaan tahun cahaya. Banyaknya angan tersebut seperti mimpi nyata saja. Ah aku pun tak tahu. Galaksi-galaksi seakan bantal-bantal yang empuk. Aku ingin tidur rasanya. Harus kutuliskan dengan apa ketika aku terlelap tidur dan bermimpi tentang kekasih? Seakan rindu yang datang membayang wajah kekasih. Bagai bunga-bungan di tengah padang pasir nun luas. Seakan suci putihnya awan di langit kota Garut.
            Pagi memancar. Mentari menawan senyuman. Embun meriak enggan menetes. Arfa masih tetap saja berdiri di teras rumahnya. Wajahnya tampak risau menyapukan pandangannya ke arah hamparan sawah yang menguning. Rambutnya terurai tertiup angin laksana anggrek bulan bergoyang tertimpa hujan. Akan tetapi matanya berbinar laksana lazuardi yang mendung. Sesekali telepon genggamnya dilihat. Dilihat dan dilihat. Seperti sedang menunggu sesuatu. Ya mungkin sedang berharap dan cemas. Benar saja, telepon genggamnya berdering. Arfa menjawabnya, “Assalamualaikum Radi”.  Tampak terdengar jawaban dari si penelpon itu. “Waalaikumsalam, Fa hari ini Radi jadi berangkat ke Belanda hendak memenuhi panggilan dari Rijkuniversiteit Leiden. Radi tunggu di Simpang Lima sekarang.” Arfa terdiam sesekali tak percaya kekasihnya itu benar-benar jadi pergi. Dengan nada lemas Arfa pun menjawab kembali, “Baiklah, Fa segera ke sana menemui Radi.”
            Surya terbang kian tinggi. Detik waktu mulai menjulang. Laksana pesawat yang tinggal landas. Arfa menuju ke Simpang Lima hendak menemui kekasihnya, Radi. Radi terlihat di sudut dekat pos polisi. Di punggungnya terlihat tas penuh dengan barang-barang. Tampak seperti tukang sulap. Kaus dan celana jeans, itulah Radi. Selalu apa adanya. Dia agak beda dengan lelaki lain. Pakaiannya kurang rapi. Akan tetapi tatapan matanya itu yang membuat Arfa menjatuhkan cintanya.
            “Radi….” dari seberang jalan Arfa memanggil.
            “Arfa, aku di sini.” Radi seraya melempar senyuman.
Debu berbuih ketika dua insan yang saling mencinta itu mulai bersua. Di Simpang Lima, Tarogong Garut. Ah wanginya rindu antara Radi dan Arfa laksana wangi sedap malam naik ke udara. Seperti aroma sedapnya masakan Sunda bagi Kabayan dan Nyi Iteung. Bak wanginya cinta yang benar-benar datang dari benua asing, ya benua asing itu adalah hati Radi dan Arfa yang terdalam. Amboi, Arfa mengesun tangan Radi seraya mengucap salam. Dan berdua di Simpang Lima mereka berbincang.
            “Fa, sudikah kiranya engkau menungguiku kala aku pergi jauh darimu dan jarak seakan membatasi pertemuan kita?”
            “Radi, aku tahu akan luasnya dunia, aku tahu akan kekuatan cinta kita. Tetapi apakah aku sanggup menahan rinduku padamu Radi.” Arfa berkata dengan nada tak wajar.
            “Arfa dengar dulu Radi bicara”
Arfa tak kuasa. Meleleh pula  dari kedua matanya. Pipinya yang halus laksana sutra putih itu dialiri air mata,
            “Radi, aku tak sanggup jika harus jauh”
            “Tapi Fa, Radi ke sana hendak menuntut ilmu”
            “Ilmu apa?”
            “Arfa, tahukah cita-citaku dalam hasrat hatiku ini?”
            “Ya, aku tahu Radi”
            “Arfa, aku setiap malam berdoa agar impianku ini tercapai.”
            “Mimpi apa Radi?”
            “Ya mimpi menjadi seorang ahli bahasa. Tahukah, di Leiden aku mendapat beasiswa pada jurusan linguistik. Dan sekarang aku akan membuatnya nyata.”
            “Tapi Radi” Arfa menimpal dan Radi langsung memeluknya erat.
Percakapan itu sepertinya terputus sementara. Arfa dan Radi terlihat duduk berdampingan.
            “Radi, aku pasti mengizinkanmu pergi kuliah di negeri orang. Dan aku akan menungguimu. Biarlah aku akan menungguimu di Lampung di tempat Kakakku.”
            “Apa” Radi tersedak.
            “Ya Radi, di sana aku akan menungguimu”
            “Tapi Arfa, Radi di Belanda cuma dua tahun.”
            “Ya, dua tahun itu serasa dua abad bagiku” timpal Arfa seperti terbakar emosi.
Dengan rasa penuh tanggung jawab Radi berbicara pada Arfa.
            “Arfa, yakinlah sayang. Jauhku adalah dekatmu. Rindumu adalah torehan puisi yang akan selalu kutulis. Di negeri Belanda sana aku hanya menuntut ilmu. Maka ketika aku membawa gelar M.A, itu semata terwujud oleh semangat yang kau berikan padaku Arfa.”
            “Radi, aku tahu sebentar lagi kita akan terpisah oleh samudra nun luas. Aku ingin kau menjadi “at rimpeltje in de ocean” atau buih kecil di lautan.”
            “Apakah itu merupakan sinyal untuk merelakan kepergianku Arfa?”
            “Ya aku rela Radi” Arfa menjawabnya seperti hendak melemas.
            “Arfa, aku rasa kita mulai selangkah ke depan, ‘levenself is horgote de school’ kehidupan adalah sekolah yang tertinggi.”
            “Apa maksudmu?”
            “Ah sudahlah jangan dibahas.”
Langit Garut masih benderang dengan kilatan cahaya mentari. Radi dan Arfa masih duduk berdua. Radi belum berangkat karena masih memadu rindu bersama Arfa, kekasihnya atau bisa dibilang calon istrinya.
            Arfa menyandarkan kepalanya pada Radi. Seperti anak tertunduk di pangkuan ibunya. Arfa menghela nafas dan berkata.
            “Radi, aku akan setia menungguimu.”
            “Ah, kasihku, dengan seperti sayap kiri dan sayap kanan aku akan setia padamu Arfa”
            “Radi, aku percaya padamu”
            “Ya, Arfa, aku juga akan menjaga amanat darimu”
Keduanya tak mau beranjak. Masih tetap saja diam dan diam. Seperti patung saja tak mau beranjak. Mereka mesra bagai dua merpati putih memadu kasih di atas ranting.
            “Arfa, masih ingatkah cerita tentang pertemuan kita berdua? Pertama kali kita bertemu di sawah dekat rumahmu itu? Aku kala itu basah kuyup karena hujan.”
            “Oh, iya aku ingat sekali. Itu waktu di mana kita berhujan-hujan ria.”
            “Ya, tahukah saat itu aku mulai merasa. Kaulah cintaku. Dan ternyata benar juga.”
Arfa tersenyum dengan bibir merahnya yang tipis. Memandang mata radi penuh kelembutan.
            “Radi.”
            “Ya, Arfa.”
            “Ingatkah juga waktu kita berdua di Santolo. Pameungpeuk?”
            “Ya tentu saja aku ingat Arfa.”
            “Di Santolo aku mengucapkan cinta padamu, tapi kau tak lekas menjawabnya. Akan tetapi jawabanmu aku ketahui saat di batu kita duduk berdua dan ombak membelai kita. Kau pun memeluk diriku. Kita basah oleh air laut Pantai Selatan. Dari sanalah aku tahu bahwa kau pula menaruh cinta padaku. Biarlah di Santolo kita menjadi pelaku utama cerita cinta kita.”
Wajah Arfa sumringah. Beda dengan tadi. Padam laksana pelita kehabisan minyak.
            “Radi, aku ingin kau kelak menjadi suamiku!”
            “Ya. Semoga kita jodoh. Dan sampaikan rasa percayamu untuk kusimpan dalam hatiku ini.”
            “Radiku.”
            “Apa sayang. Sebentar lagi aku berangkat. Nanti aku selepas magrib sudah harus lepas landas.”
            “Sejam lagi ya kita di sini.”
            “Ya baiklah, Arfa, sebenarnya berat meninggalkanmu.”
            “Mengapa?”
            “Ah kau bertanya tentang hal yang kau sendiri mengetahuinya. Aku cinta padamu.”
Debu semakin beterbangan meriuh. Seakan-akan hendak membisiki sesuatu. Deras dan mengalir di antara Radi dan Arfa. Sederas aliran Cimanuk kala penghujan datang menyapa. Laksana musik dari anak gembala di padang rumput. Mereka berdua tetap pada posisi yang sama. Masih tak mau beranjak. Rasanya masih ada yang mengganjal di hati mereka. Akan tetapi, itulah mereka. Kisah cintanya seperti pada cerita saja. Seperti ada sesuatu yang membuat mereka menjadi semesra Rama dan Sinta. Pohon-pohon di Simpang Lima mulai menggugurkan daunnya. Dedaunan tersebut menyerbu bagai pasukan Pandawa Lima. Tampaknya angin yang menggelitik dua insan tersebut tak bisa membuat mereka bergerak. Meski hanya sebentar.
            Rasanya tak ada sesuatu yang bisa berhenti. Seperti waktu. Ya waktu. Kisah Radi dan Arfa mengajari sebuah nada dan pemetiknya. Atau seperti Bethoven dan karyanya. Atau pun seperti penyair dan puisinya, Rumi dengan Masnawinya.
            Surya kian meninggi. Pertanda Radi harus lekas pergi. Tampak Radi mulai berdiri disusul Arfa. Mereka berdua berpegangan tangan.
            “Arfa, kini saatnya aku pergi”
            “Radi, setialah padaku seperti setiaku menungguimu di Lampung.”
            “Baiklah Arfa, sepulang dari Belanda aku akan menikahimu.”
Bibir tipis nan merah Arfa melemparkan senyuman yang manis. Seperti gula saja.
            “Baiklah Arfa, aku akan selalu menghubungimu. Dan aku pun akan selalu menulis puisi untukmu”
            “Radi, jagalah kesehatanmu di sana, awas jangan merokok!”
            Radi memeluk Arfa sebelum berangkat karena dua tahun bersiap untuk tak berjumpa. Lantas Arfa mengesun tangan Radi. Bagai tanda bakti seorang istri pada suaminya saja.
            “Arfa, baiklah, aku pamit, jagalah dirimu di sini, assalamualaikum”
            “Waalaikumsalam Radi, hati-hati, kabari aku dan rindukan aku!”
Radi menengoknya seraya menyunggingkan senyumannya. Arfa terdiam melihat kekasihnya berjalan menjauhi dirinya. Hatinya mulai sendu. Kabut rindu mulai mengelabu karena tak akan bertemu dalam waktu yang lumayan lama. Dan Radi melambaikan tangannya kepada Arfa bagaikan temaram tanpa rembulan. Laksana bayangan-bayangan semu. Dengan sedih Arfa berkata dalam hatinya
            “Radi, aku sungguh mencintaimu.”

*****

catatan: Arfa adalah kekasih hatiku...

Garut, Januari 2011



2 komentar:

iyep irul ramdan mengatakan...

luar biasa............

Ardi Mulyana Haryadi mengatakan...

wah...terima kasih...salaam

Posting Komentar

Tulisan Populer