Otobiografi: yang Mengalir, Sunyi, dan tak Kunjung Padam


Oleh Ardi Mulyana H.
            Sebermula kisahku dimulai ketika malam seperti mengurai keheningan, sepi, padam, dan mencekam. Seperti itulah keadaanku kala kehidupan mulai menerjang serta menamparku. Aku tak pernah menyadarinya—kuliah yang kusia-siakan—hingga pada akhirnya aku pun lulus dan mulai menempa diri di perkuliahan yang sejatinya (kehidupan bermasyarakat). Seperti pepatah Belanda mengatakan, "Levenself is horgote de school"kehidupan adalah sekolah yang tertinggi. Baiklah, mari kita mengikuti alur perjalanku dari awal sampai titik nadir.
            Aku tak menyangka dilahirkan untuk menjadi seorang guru. Mengajar serta mendidik. Ah, baiklah beginilah gambarannya. Sewaktu SMA, aku pernah dihukum dan dimarahi karena aku mempermainkan guru di kelas. “Kamu ini mempermainkan guru saja, bagaimana kalau kamu jadi guru” begitu ucap guruku yang sampai sekarang tak pernah hilang dari ingatan ini. Pada akhirnya setelah lulus SMA—entahlah mengapa aku masuk ke sekolah keguruan padahal sebelumnya aku tak pernah membayangkannya—aku melanjutkan studiku. Dan aku masuk jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Berkuliahlah aku mulai saat itu.
            Semester demi semester aku lalui tanpa aku tinggalkan catatan halus, lembut, dan indah pada lembaran nilai-nilai. Di kelas aku dicap sebagai tukang bercanda. Tiap kuliah tak pernah serius. Duduk pun selalu paling belakang. Kadang-kadang suka tidur juga. Mungkin aku di kampus sebagai orang yang paling bahagia karena sering tertawa dan bercanda. “Dorcicit” itulah kata ciri khas aku yang sudah tak asing lagi bagi rekan-rekan seperjuanganku.
            Langit pun serasa mau runtuh. Awan mendung bersambut kilat yang menggaduh. Hatiku terasa gelap bagaikan temaram tanpa rembulan. Di saat tiap akhir semester, nilai-nilaiku hancur seperti buih ombak menerjang karang. Luluh lantak berantakan. Rekan-rekanku kuliah secara normal tanpa ada mata kuliah yang ketinggalan. Bahkan ada juga yang akselerasi, mengontrak mata kuliah selanjutnya dengan para senior. Aku hanya diam membisu karena terpaksa kuliah dengan mengontrak mata kuliah sedikit. Karena nilai yang pas-pasan.
            Aku berhutang beberapa mata kuliah selama empat semester. Terpaksa aku ikut mengontrak mata kuliah yang belum sempat aku ambil. Dan berkuliah dengan adik tingkatku. Aku terdegradasi. Dari sini aku sempat berpikir. Aku sangat bodoh dan ceroboh. Setelah beberapa lama. Rekan-rekanku sudah menyelesaikan mata kuliahnya semua. Sedangkan aku masih harus berkuliah. “Ketemu Ardi lagi Ardi lagi” ucap seorang dosen yang selalu aku kenang. Maklumlah aku banyak mengontrak mata kuliah dengan adik tingkat. Dari saat itu aku berkata dalam hati, “Biarlah, aku ingin membuktikan di masa depan, aku pun bisa.”
            Aku tak mengerti, kelabu hari-hariku. Pelita di hatiku redup. Hitam, seakan kegelapan merajai jiwaku. Gelap perlahan berubah menjadi mencekam. Lidahku mulai merasakan pahitnya kehidupan. Aku terasing dan terbuang bersama kebodohanku sendiri. Tanganku tengadah, air mataku mengalir. Aku berdoa kala malam bercumbu gelap. Pada-Nya aku mengadu. Tubuhku bagaikan kerikil jalanan yang terserak di jalanan. Aku sepi dan hancur. Pada malam itu tanpa sengaja aku menyalakan radio dan mendengar lagu Opick, “Tombo Ati”. Begitu mengalir syairnya dalam aliran darah ini. Sunyi dan tak kunjung padam menenangkan hatiku yang tak karuan. Yang gundah ibarat badai di tengah samudra.
            Yang pertama, baca Quran dan maknanya. Yang kedua, shalat malam dirikanlah. Yang ketiga berkumpullah dengan orang shaleh. Yang keempat, perbanyaklah berpuasa. Yang kelima, zikir malam perpanjanglah. Itulah di antaranya yang memotivasi aku dalam melanjutkan perjuangan hidup. Aku pun bersimpuh pada-Nya. Angin seperti menyentuh hatiku dengan lembut. Membelai laksana tangan lembut membelai rahasia wanginya mawar. Yang menguncup kala embun beradu sapa di pagi hari. Mengumumkan kekalnya gelora untuk melukis indahnya panorama nikmat-nikmat dari-Nya. Bahwa Alloh pun menyediakan air manis dari perahan tebu untuk kulantunkan lewat tulisan. Dari titik ini aku bangkit.
             Subhanalloh, Alloh pun membuka jalan-Nya padaku. Dan pada saatnya di akhir aku menyelesaikan studiku. Dosen pembimbing skripsiku menyarankan untuk menulis dan menulis. Dan aku ingat betul kalimat dari beliau, “Ardi, kamu memang biasa-biasa saja ketika kuliah, tetapi cobalah untuk menulis!”
            Ah, aku tak mengerti. Aku tahu beliau paham benar dengan keadaan nilaiku yang pas-pasan. Tetapi mengapa aku disuruhnya untuk menulis padahal kemampuanku nihil.  Dan mengapa pula aku tak mencobanya. Ya benar, aku akan mencoba menulis. Dari sini aku mulai menulis dan terus menulis. Sampai pada akhirnya aku pun lulus membawa gelar yang sangat berat untuk dipertanggungjawabkan. Tak salah kiranya aku mendedikasikan diri menjadi guru Sekolah Dasar. Ya, aku seorang guru SD. Guru honorer.
            Kubaktikan sepenggal ilmu untuk generasi negeri ini. Di samping menjadi guru. Malam pun kujadikan waktu untuk menulis. Aneh, mengapa aku jadi suka menulis. Ah, dari fonem, morfem, frasa, klausa, kalimat, dan wacana kurangkai dengan perlahan bak keong mas berjalan di pematang sawah. Sedikit demi sedikit. Dan tiap hari aku gagal dan gagal. Dan memang aku mencari kegagalan untuk berjalan menuju keberhasilan. Sebab aku lahir di hari kematianku. “Man jadda wajada” demikianlah siapa yang bersungguh-sungguh, dia yang akan berhasil. Aku pun ingin membuktikan, aku ini bisa. Tak berlebihan kiranya jika aku bermimpi bisa melanjutkan studiku ke pascasarjana linguistik.
            Waktu kian berlalu bak abu diterbangkan angin. Deras dan cepat. Seperti mimpi saja. Ah aku sering bermimpi, sebab jika aku berhenti bermimpi. Cita-citaku tak akan pernah tercapai. Aku menulis, menulis, dan menulis. Aku banyak menampilkan tulisanku di blog/internet. Dan Alhamdulilah, kumpulan tulisan (sajak-sajak) pertamaku dibukuelektronikkan, judulnya, “Menulis di Atas Badai”. Kumpulan tulisan (sajak-sajak) keduaku, judulnya, “Ketika Guru Menggugat” Dan kumpulan tulisan (sajak-sajak) ketigaku—yang kutulis dalam bahasa Sunda—judulnya, “Diudag Kinasih”. Kumpulan sajakku yang keempat judulnya, “Soneta-soneta dari Garut Swiss van Java” (80 buah puisi soneta). Kumpulan sajakku yang kelima judulnya, “haiku-haiku Hejosuku” (kumpulan haiku basa Sunda).
            Dan itu semua adalah kerja kerasku. Aku ingin berubah. Aku ingin mengganti masa laluku yang pergi terbuang sia-sia. Kini dunia akan kutulis seperti cinta antarhati yang bertaut. Yang satu rindu. Yang satu benci. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Aku ingin menebar benih dari pohon yang telah mati untuk melanjutkan tanaman harapan. Laksana pohon apel berdiri di atas tanah bekas peperangan. Kegagalan adalah keterpurukan yang indah. Ranum dan menghidupi orang banyak dengan manisnya. Dan aku punya kalimat psikologis, “Dengan usaha yang terus menerus, niscaya mampu memutarbalikkan fakta”.
            Akan sangat indah pula kata-kata dari Ali bin Abi Tholib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Maka dari itu, biarlah masa lalu indah untuk diseduh dengan gelora cahaya dari benua antariksa. Tuliskan lantas ikat cahaya tersebut, karena “Nur” adalah cahaya dan ilmu. Demikianlah, semoga di lain waktu kita dapat berjumpa pada hari terang benderang di padang rumput dan tetaman bunga bumi Nusantara ini. Amin.


 Garut, Swiss van Java

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer