Otobiografiku

Otobiografi: Aku Kala Gemuruh dalam Jiwaku

Oleh Ardi Mulyana H.

Perasaan ini berkecamuk, entahlah aku tidak pernah tahu. Aku ini gelap dalam siang. Aku ini hitam dalam putih. Ribuan kertas merayu bersama semilir angin dengan nafasnya yang agak terengah-engah itu datang tanpa aku sadari. Aku menoleh ke kanan kulihat sinar surya tertidur lelap. Kembali kutoleh ke kiri, kulihat cahaya rembulan sepi merindu seraut paras yang pernah tertulis di hatiku. Samar gelap mega mendung terburai oleh raga cakra gemulai jiwaku. Kulangkahkan kaki ini sudah 48 sekian rembulan mesra membalut meluruskan tingkah laku-ku. Dan aku tidak menyadari, beban berat kupikul sebagai anak bangsa. Kelak sekarang dan nanti. Tanda baca itu harus kupertanggungjawabkan. Demi engkau anak-anakku segores tinta dari madukara kulukis anggun di otakmu. Walau aku tidak pantas untuk kou gugu dan tiru. Kian asa melagu mengiang dalam gurat rindu dia menyambang. Tampak malu-malu hampiriku. Di kampus itu aku digodog dengan selaksa derajat panas bara api. Apakah dia yang kucari? Antara tanda baca, aku, paras itu, anak-anakku kian-kah nyata? Segenap raga beku kian mencair dalam aliran kanal-kanal telaga sewindu mawar bersolek desa. Lazuardi tampak kekar dengan kebiru-biruannya. Camar kecil diam terpaku mewarna cakrawala horizon Nusantaraku. Aku ini cuma abstrak yang lalu terus berlalu. Merah lambang kartu as itu mulai hinggap kembali di jantungku. Kala kupercik air putih berwarna zamrud dalam relung-relung akar cintamu terasa indah main-main di kulitku. Aku gundah jiwa, gundah rasa, gundah segala hingga aku bermain-main dengan sedikit sastra-ku. Ini sekedar meluapnya darah dari nadi sesekali pandai menari-nari dengan kata-kata. Tidak ada tanah yang keras tersiram air mata alam Nusantara-ku. Aku cinta Nusantara-ku, anak-anak-ku, paras mawar kelurahan tempat aku tinggal. Tanda baca itu kian semarak meledak dalam rongga paru-paruku. Ah, aku tahu tidak sempurnanya catatan syarat tanda baca itu. Catatan itu kurebus dengai air deskriptif kualitatif. Kuaduk dengan studi pustaka, pengamatan, dan parafrase, interpretasi, analisis data. Catatan itu kian rapi kala besok 10 Oktober aku pertanggungjawabkan. Aku rindu ruang jurusan yang sekali (pun) naik tangga. Di ruang itu, meja ketua, sekertaris, dan satu meja komputer kian terkenang. Apalagi itu, sebuah rak kaca berisi kertas-kertas pengetahuan. Aku ingin, kelak namaku tercatat sebagai riwayat hidup penulis dalam bungkus sampul ilmu pengetahuan. Ruang jurusan itu aku meninggalkan jejak baik-burukku. Letak ruang itu terfotokopi dalam tinta-tinda pengabdian maha-guru-ku. Terima kasih kampus-ku, kelak kan kuharumkan namamu dengan uraian-uraian air mata ini hingga aku mampu berteori. Rasanya seribu triliun melanda ria gegap gempita dalam alunan simfoni-simponi buku-buku cabang kebahasaan. Aku anggap ini sejarah awal perjalananku. Dariku untukmu Nusantaraku dan cinta-ku. Tunggu aku cita-citaku. Dan alam (pun) tersenyum melihatku.



[dipetik dari gundah segala jiwaku]

Garut, 09-10-2009

0 komentar:

Posting Komentar

Tulisan Populer